Bahkan dengan kondisi kemiskinan yang akut, mereka berhasil menggerakkan ekonomi kelas bawah. Salah satu rahasia keunggulan kesuksesan Grameen Bank adalah penerapan teknologi informasi berbasis open source. Infrastruktur TI, seadanya dan semurah-murahnya.
Salah satu aplikasi berbasis open source yang menjadi andalan Grameen Bank adalah MIFOS (Microfinance Opensource). Aplikasi tersebut menerapkan konsep web based management information system. Cukup dengan komputer bekas, murah tapi masih bisa dipergunakan.
Koperasi yang Di "Kuperasi"
Tak terbayangkan bahwa skema itu tidak lebih kurang dari apa yang kita kenal sebagai, koperasi-soko guru ekonomi Pancasila kita. Namun dalam perjalanannya, kita kehilangan nilai-nilai ke-Pancasila-an kita, sehingga institusi yang diniatkan sebagai "Koperasi" berubah menjadi "Kuperasi".
Padahal kita juga menjadikan anggota sebagai kekuatan penggerak ekonomi berbasis koperasi. Sayangnya, sejak rintisan pertama, niat pemberdayaan ekonomi secara gotong royong, justru berbelok menjadi kesejahteraan pengelola saja. Pada akhirnya koperasi mati, tidak saja karena kehilangan nilai-nilai sosial-gotong royong yang substansial, koperasi justru menjadi "kendaraan" baru yang tidak berpihak kepada masyarakat sebagai anggotanya. Jika tidak menjadikan rakyat lebih sejahtera, apa bedanya ada atau tidak ada koperasi?. Maka idealisme koperasi mati karena keserakahan kita sendiri.
Kita tidak tahu, apakah Muhammad Yunus, sebagai dosen pernah membaca gagasan Moehammad Hatta, guru besar koperasi Indonesia, namun idenya melahirkan Grameen Bank tidak saja menjadikannya peraih penghargaan Nobel Bidang Ekonomi 2006, namun membuka akses bagi 25 juta orang dibawah garis kemiskinan menjadi kelompok yang berdaya.
Kerja kerasnya melampui dedikasinya ketika menjadi seorang pengajar di kampusnya, ia membuktikan hasil nyata tentang, teori yang pernah digagas CK. Prahalad tentang Bottom of Pyramid (BOP), atau Bagian bawah piramida.
Bagian bawah piramida kekayaan atau bagian bawah piramida pendapatan adalah kelompok sosial-ekonomi terbesar, tetapi termiskin. Dalam istilah global, kelompok ini adalah 2,7 miliar orang yang hidup dengan kurang dari $ 2,50 sehari. Ini yang kemudian di balik oleh Muhammad Yunus dan CK Prahalad, menjadi kelompok potensial yang harus digali dan diberdayakan.
Dengan pemberian "kesempatan" mengelola dana seperti arahan Muhammad Yunus, kelompok miskin yang didominasi perempuan itu menjadi kekuatan ekonomi kelas bawah yang baru.
Belajar dari kekuatan BOP itu, apakah kita akan menyalahkan kemiskinan, kelas bawah yang "tidak berdaya", atau kelakuan kita yang justru memperdaya dan meng-kuperasi institusi ekonomi yang konon sangat Pancasilais itu?.
Daripada bingung mencari alternatif solusi ekonomi paska pandemi, bagaimana jika kita jalankan konsep seperti Grameen Bank atau koperasi atau kombinasi keduanya. Menggunakan Perempuan sebagai basis kekuatan dan dengan dukungan penerapan teknologi informasi berbasis open source yang murah meriah. Apakah pemerintah berani mencobanya?.Â