Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pesawat "Siap Mati atau Cacat"

17 Januari 2021   00:11 Diperbarui: 30 Januari 2021   00:29 946
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

asional.tempo.co/read/313098/tim-sar-kesulitan-keluarkan-dua-korban-smac

Di ujung Pulau Sumatera, selain Sabang sebagai titik nol kilometer Indonesia, terdapat sebuah pulau lain yang pernah menjadi episentrum dari gempa besar 26 Desember 2004, Pulau Simeulue-Sinabang. Berjarak kurang lebih 332 dari Ibukota Banda Aceh, Simeulue memiliki bandara kecil bernama Lasikin, yang didarati pesawat jenis ATR, Sabang Merauke Air Carter (SMAC) sebagai satu-satunya moda transportasi udara sejak 1982 dan berakhir pada 2010.

Pesawat ATR atau Avions de Transport Regional adalah sebuah pesawat turboprop penumpang sipil (airliner) komuter regional. Teman-teman yang pernah menggunakan pesawat tersebut sering bercanda dengan memplesetkan singkatan SMAC dengan istilah "Siap Mati Atau Cacat". Plesetan tersebut membuat kisahnya berbalut antara mistis dan teknis. karena tentu saja kalau bukan soal tehnis yang membuat pesawat rusak tentu saja faktor X, seperti halnya kisah Segitiga Bermuda yang terkenal itu.

Tentu saja bukan tanpa alasan, karena jenis pesawat ini digambarkan oleh teman-teman layaknya bus terbang. Getaran dan goyangan pesawat ketika terbang terasa sekali, apalagi terbang rendah dekat permukaan laut. Karena banyaknya rumor yang tak jelas, menjadi alasan saya menolak menggunakan moda ini ketika bekerja bersama World Wide Fund for Nature Kantor Program Aceh. 

Namun anehnya, selama saya berkeinginan untuk mencoba transport SMAC, selalu saja ada halangan yang menyertainya, jika bukan karena full booking, faktor badai, maupun pembatalan secara sepihak yang saya duga, ternyata "nilai" komersial saya kalah pamor dengan nilai lobster dalam kiloan yang bisa bernilai jutaan rupiah. sementara tiket kita hanya dalam hitungan ratusan ribu rupiah.

Padahal jika menggunakan moda ini hanya ditempuh dalam beberapa menit, sedangkan jika menggunakan kapal atau feri dari pelabuhan Labuhan Haji, bisa beberapa jam lamanya.

Saya bahkan pernah nekat menggunakan moda perahu motor demi menghindari menggunakan SMAC, padahal didalamnya digabung muatannya antara manusia, barang dagangan dan ternak sekaligus. Fatalnya kami dinahkodai nahkoda pemula, sehingga kami dihantam badai dan tersesat mengikuti arus hingga menuju Pulau Andaman di arah India. Untungnya kami sempat berbalik meski waktu tempuhnya molor lima jam dari jadwal normal.

Meskipun rumornya begitu kuat, namun dalam sejarahnya pesawat SMAC aman-aman saja. Bahkan dalam kondisi sepi penumpang maka para lobster berkualitas ekspor akan mengisi kekosongan kursi penumpang. Bahkan kadang-kadang jika pemintaan pasar membludak, maka lobster lebih bernilai ekonomis daripada manusia, sehingga para penumpang jenis manusia terpaksa harus berada dalam urutan  daftar tunggu (waiting list) menunggu para lobster diangkut terlebih dahulu.

Kini SMAC telah menjadi kisah sejarah penerbangan domestik intersuler di Aceh karena telah non atif sejak 2010 silam. Namun kisahnya sebagai pesawat yang menawarkan pilihan ala plesetan SMAC menjadi kenangan yang tak pernah dilupakan. Bagaimanapun tragedi dan musibah dalam setiap penggunaan moda angkutan baik darat, laut maupun udara adalah sebuah keniscayaan yang bisa menimpa siapa saja.  Sehingga banyak orang harap-harap cemas ketika menggunakan segala jenis moda transportasi, karena umur siapa tahu.  Begitulah, kisah SMAC, meskipun diplesetkan secara aneh, tapi sejarahnya selama 19 tahun ternyata berjalan mulus tanpa insiden.

Dan jika saya berkeinginan untuk mencoba moda penerbangan SMAC itu, tak ada alasan apapun yang logis menjadi alasan mengunjungi pulau itu lagi, kecuali hanya sekedar memuaskan nostalgia. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun