Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kota 1000 Kedai Kopi

16 Januari 2021   02:40 Diperbarui: 30 Januari 2021   00:35 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.dekoruma.com/

https://acehdigest.blogspot.com/2021/01/budaya-dalam-secangkir-kopi.html

Diplomat kawakan Agus Salim pernah membikin sedikit kegemparan dalam sebuah jamuan diplomatik di London, lantaran musabab kretek, seperti dinukilkan dalam catatan Mark Hanusz ; Kretek, The Culture and Heritage of Indonesia's Clove Cigarettes. Bayangkan jika "kopi" yang menjadi inti kegemparan, bisa jadi nilai  kopi Indonesia akan melejit.  

Ketika itu, komoditas kopi memang belum menjadi "product for future" seperti kata Pemerintah Belanda di tahun 1933 ketika membuka 13.000 hektar lahan di Takengon. Karena sembilan tahun sebelumnya di tahun 1924, Belanda dan investor Eropa memulai babak baru menjadikan tanaman kopi, teh dan sayuran sebagai komoditas unggulan. Terutama ketika antara tahun 1925-1930 Kampong Belang Gele menjadi sentra kebun kopi, sebagaimana dicatat John R. Bowen, dalam "Sumatran Politics and Poetics, Gayo History 1900-1989". (tengkuputeh.com)

Sebuah Kilas Balik

Dalam babak sejarah Aceh yang jauh lebih tua umurnya-pun tak ada catatan yang spesifik, baik dalam kunjungan Ibnu Battuta di tahun 1345 ketika era Sultan Malik az-Zahir maupun lawatan Marcopolo di tahun 1293 yang dinukilkan dalam "Hikayat Raja-raja Pasai" yang menceritakan tentang kopi sebagai komoditas unggulan.(Ross.E.Dunn; 2011;xii).

Bahkan ketika menelisik urutan varietas kopi unggulan dunia, Kopi Gayo belum masuk dalam urutan daftar tersebut. Sebuah literasi hanya menyebutkan Kopi Kolombia (Colombian coffe) yang dikenal sejak 1800, meliputi  kultivar Maragogype, Caturra, Typica dan Bourbon yang menguasai 12 persen kopi dunia, kedua setelah Basilia. Berikutnya Colombian Milds, Costa Rican Tarazzu, Guatemala Huehuetenango, Ethiopian Harrar, Ethiopian Yirgacheffe, Hawaiian Kona coffee, Jamaican Blue Mountain Coffee, Java coffee hingga Sumatera Mandheling dan Sumatera Lintong. (Redaksi Health Secret;2012; 9).

Sialnya lagi, merk Kopi Gayo ternyata telah 'dibajak' dan terdaftar dalam undang-undang Belanda atas nama Holland Coffe yang melarang siapapun menggunakan kata "Gayo" pada merek kopinya. Saat ini indikasi Geografis Indonesia belum ada yang terdaftar di Uni Eropa, bahkan satu pengusaha Eropa mendaftarkan "Gayo Mountain Coffee" sebagai merek dagang mereka, namun karena bertentangan dengan hukum sejak 2010 trademark tersebut telah dicabut. Padahal Indikasi Geografis Indonesia seperti "Arabica Coffee Gayo" (Kopi Gayo), "White Pepper Muntok" (Lada putih), dan "Carving Furniture Jepara" (kerajinan ukir) memiliki nilai lebih yang dapat memenuhi pasar Eropa yang memiliki lebih dari 500 juta penduduk dan pendapatan per kapita 25.000 dollar AS. (antaranews.com). Konon lagi Indonesia adalah negara peng-ekspor biji kopi keempat terbesar dunia dan Aceh memasok 40 persen kopi Arabica premium Indonesia.

Tak banyak gambaran tentang kopi di era lama dengan latar belakang kultural yang bersifat trans-hemisferik (tinjauan berdasarkan belahan bumi) mengenai kopi Aceh itu sendiri yang kemudian menjelaskan bagaimana Arabica dan Robusta menjadi pilihan komoditas dan memiliki wilayah tumbuh ideal masing-masing sesuai kemampuan tumbuhnya. Karena sejarah mencatat sejak jaman kesultanan Aceh Darussalam, selain padi, tanaman Lada merupakan komoditas utama, bukan kopi. Tome Pires (1512-1515) mencatat pelabuhan Pidie dan Pasai memperdagangkan komoditas lada hingga 2.718 ton (atau 16.000 bahar dalam ukuran ketika itu) per tahunnya, sehingga mencatatkan Aceh sebagai produsesn utama lada dunia. Dan panjangnya sejarah perang hingga tahun 1942 kemudian menenggelamkan kejayaan lada sebagai komoditas utama. Sedangkan kopi baru diinisisi Belanda di tahun 1908 dengan memilih menanam kupi Arabica di Utara Danau Lut Tawar, dan utamanya di dataran tinggi Gayo. (tengkuputeh.com)

Sementara kopi robusta tumbuh subur di area Kabupaten Pidie (Tangse dan Geumpang serta Aceh Barat). Tak ada batasan soal penanaman, bahkan Belanda memerintah masyarakat sendiri mengkonsumsi kopi jenis robusta, sedangkan Arabica dikonsumsi dan diekspor oleh Belanda. Kondisi ini menyebabkan kopi begitu cepat berkembang karena mendapat respon positif dari semua orang terutama di Kampong Belang yang menjadi sentra kopi yang terkenal hingga sekarang sebagai penghasil kopi dengan kualitas prima. Apalagi tak banyak debat soal baik-buruk kafein kopi, sehingga tak harus membuat larangan  layaknya catatan peringatan di kemasan rokok di Italia-'vietato a minori' (dilarang untuk anak-anak di bawah umur). Sejak tahun 1925-1930 setidaknya terdapat empat kampong di Belang Gele yang menjadi sentra kopi Arabica, Kampong Belang Gele, Paya Sawi, Atu Gajah dan Pantan Peseng.

Budaya dan kopi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun