Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tradisi Sasapton, Mengungkap Diplomasi Kultural Masa Keemasan Banten

6 Desember 2022   09:41 Diperbarui: 7 Desember 2022   01:30 1150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pelataran Masjid Agung Banten, Sumber; Rismawidiati/Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban (PRKKP), BRIN

Kisah sejarah tentang Kesultanan Banten, memang panjang. Banten di abad 16-17 M, adalah kerajaan penguasa maritim di wilayah nusantara bagian barat. Kesultanan Banten adalah, wilayah pemerintahan Islam yang dikenal sebagai kota kyai, santri dan jawara. 

Banten juga dikenal atau identik debus nya, yakni tradisi olah batin dan jiwa masyarakat Banten yang kini menjadi pertunjukan olah kanuragan. Banyak kisah sejarah tentang bagaimana cikal bakal lahirnya debus. 

Banyak catatan panjang, tentang Kesultanan Banten yang dikenal sebagai kota kyai, santri dan jawara. Selain debus, Banten juga identik dengan jawara. Tentang jawara, publik menghubungkan dengan keberadaan para jagoan yang memiliki kesaktian, kemagisan, kewibawaan, kharisma dan sebagainya. Pendek kata, bicara tentang kesejarahan Banten banyak peristiwa dan nilai-nilai budaya yang selalu penting untuk diungkap. 

Belum lagi jika menyinggung soal warisan budaya bendanya, Keraton Surosowan, Benteng Spelwijk, Keraton Kaibon, Masjid Agung Banten, Vihara Avalokiteswara, Menara Pecinan, Meriam Ki Amuk, Situs Megalitik Pulosari di Banten Girang dan sebagainya adalah kekayaan warisan budaya Banten yang masih bisa disaksikan hingga kini. 

Sejarah tetaplah sejarah, ada banyak kisah yang terungkap, namun banyak pula kisah tertinggal dan terlupa. 

Jika jawara dan debus, sudah sangat akrab di telinga publik di nusantara, maka tradisi Sasapton terasa masih asing di telinga. Mungkin orang bisa saja langsung menghubungkan tradisi sasapton yang identik dengan hari Sabtu, karena bunyi bahasanya yang mirip dan mudah dikenal. Benar, Sasapton identik dengan hari sabtu, karena dalam catatan sejarah Banten, Sasapton adalah permainan atau olah raga ketangkasan menggunakan kuda di masa Kesultanan Banten, yang digelar setiap hari Sabtu. 

Sayang sekali, dalam catatan sejarah, narasi tentang sasapton, ditampilkan dengan sangat minimal dan sambil lalu dalam berbagai penulisan tentang kesejarahan Banten, dan lebih banyak diantaranya adalah penggambaran yang berulang dari karya-karya terdahulu.  

Padahal tradisi Sasapton, lahir pada masa keemasan (golden era) Kesultanan Banten di abad 16-17 M. Jika Sasapton berlangsung di era keemasan atau puncak kejayaan Banten, pasti ada nilai-nilai yang sangat berharga di dalamnya. 

Tradisi Sasapton : Diplomasi Politik 'Soft Power' ala Kesultanan Banten

Imajinasi kami langsung ke masa lalu, membayangkan keriuhan dan hiruk pikuknya tournamen Sasapton itu, seperti halnya festival atau pekan olah raga nasional (PON) atau bahkan olimpiade. Demikian pula tradisi Sasapton, adalah turnamen rutin, digelar setiap hari Sabtu. 

Tradisi Sasapton, yang digelar setiap hari Sabtu, di alun-alun kutaraja atau alun-alun kesultanan, melibatkan seluruh rakyat Banten, baik bangsawan (elit) ataupun masyarakat biasa (non elit) adalah sebuah gelaran bukan hanya dalam skema olah raga tradisional biasa, bukan hanya ketangkasan menunggangi kuda, namun di balik itu ada nilai-nilai falsafah dan budaya lokal tentang bagaimana diplomasi kebangsaan masa kesultanan banten. 

Dalam sebuah wawancara, Abah Yadi demikian beliau biasa disapa, yang dikenal sebagai salah satu Budayawan Banten menjelaskan bahwa Tradisi Sasapton itu tentang pertunjukan apapun, misalnya bermain kuda, bermain pedang dan lainnya, bahkan pentas tari-tarian dan sandiwara yang diceritakan dalam sejarah lisan dan manuskrip. 

Dalam permainan itu bahkan melibatkan para saudagar mancanegara yang bermukim di Banten, seperti saudagar Tionghoa, Arab, India bahkan Eropa dan tampil di tengah hiburan masyarakat itu. 

Demikian kata Abah Yadi, yang cukup lincah menceritakan tentang sejarah kebantenan, yang panjang dan kompleks. Setali tiga uang dengan pernyataan Abah Yadi, kami membuka catatatan sejarah, yang walaupun sangat minim, kami temukan penjelasan singkat tetang Sasapton yang ditulis oleh Husein Djayadingrat (1983), bahwa Sasapton permainan tradisional berkuda dilaksanakan oleh seluruh rakyat Banten, tanpa membedakan golongan bangsawan maupun rakyatnya. 

Dalam catatan sejarah, permainan Sasapton dimulai pertama kali dalam episode pemerintahan Sultan Abdul Mufakir. Diceritakan dalam sejarah, bahwa upacara Sasapton ini merupakan ungkapan kegembiraan dari Sultan Abdul Mufakkir Abdul Kadir atas kelahiran cucunya dan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, pada abad 16-17 M.

Mengapa narasi tentang diplomasi kebangsaan, diplomasi politik kekuasaan yang 'soft power' ini tidak banyak diungkap dalam sejarah? Sepanjang menelusuri berbagai catatan, kami hanya menemukan penulisan yang berulang-ulang, sekedar menggambarkan bahwa Sasapton adalah olahraga tradisional ketangkasan berkuda, digelar setiap hari sabtu yang melibatkan seluruh masyarakat baik golongan bangsawan maupun rakyat biasa, selain juga melibatkan saudagar-saudagar manca negara. Titik. Hanya itu saja. Narasi minimal dan sambil lalu saja.

Nah, dari narasi singkat dan berulang-ulang itu, kami  menyimpulkan, bahwa tradisi Sasapton adalah alat atau instrumen diplomasi politik kekuasaan Kesultanan Banten, baik untuk menjaga relasi atau hubungan dengan rakyatnya, maupun relasi dengan bangsa-bangsa lain dalam kerangka kerjasama perdagangan internasional. Bagi kami, Sasapton adalah cara diplomasi politik kekuasaan yang 'soft power' ala kesultanan Banten, khususnya di masa Sultan Abdul Mufakkir (1596-1651) sampai Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672). 

Baca juga : Menapak Banten Lama, Mengungkap Local Jenius Yang Terlupa

Di masa itulah Banten, mengalami puncak kejayaannya. Berdatangan silih berganti kapal-kapal dagang dari Portugis, Spanyol, Perancis, Denmark, Inggris, Belanda, India, Gujarat, Benggala, Persian dan sebagainya. Di wilayah dalam kepulauan Nusantara, silih berganti Lampung, Selebar, Cirebon, Kerawang, Sumedang dan Mataram. Daerah lainnya misalnya Patani, Aceh, Malaka, Ternate, Jambi, Mataram, Palembang, Goa, Makassar, Banda, Sumbawa, Selor, Ambon dan sebagainya. 

Kita bisa bayangkan betapa ramainya Banten dan pelabuhan-pelabuhannya pada masa itu. Juga, kita bisa bayangkan beta ramainya turnamen Sasapton itu digelar. Ada pertunjukan akbar, ada hiburan rakyat yang semarak, namun juga ada praktik diplomasi kultural Sultan Banten, karena di hadapannya seluruh saudagar-saudagar dari berbagai negara turut hadir menyaksikan, betapa kayanya kebudayaan Banten. 

Demikian, maka tradisi Sasapton sesungguhnya adalah bentuk diplomasi budaya, diplomasi politik kekuasaan Banten yang 'soft power'. Secara teoritis Cummings (2009) mendefinisikan diplomasi budaya sebagai pertukaran ide, informasi, seni dan aspek-aspek lain dari budaya antara bangsa dan rakyatnya dapat menumbuhkan saling pengertian, merupakan jalan untuk saling menyatu dan mempertemukan dan bukan dua hal yang saling bertentangan, seperti ketika satu bangsa memusatkan upayanya untuk mempromosikan bahasa nasional, menjelaskan  kebijakannya dan sudut pandang, atau 'bercerita untuk seluruh dunia. 

Tradisi Sasapton Kesultanan Banten: Strategi Diplomasi Kultural dalam Kerjasama Internasional

Pelaksanaan Sasapton yang tidak mengenal golongan, bisa dilakukan oleh kalangan bangsawan dan rakyat biasa di alun-alun kesultanan sebagai simbol pusat otoritas pemerintahan, adalah upaya sultan merangkul sekaligus membuka ruang bagi rakyatnya untuk berbaur dengan kalangan istana.

Selain itu pelibatan para saudagar mancanegara, juga dimaknai sebagai upaya diplomasi kultural politik kekuasaan Sultan, dalam menjalin hubungan diplomatik dengan bangsa-bangsa lain untuk menjaga kerjasama perdagangan.

Penggambaran turnamen olah raga tradisional yang dihadiri pula oleh saudagar-saudagar mancanegara di masa kejayaan Banten dalam era perdagangan rempah, terutama lada, adalah strategi memperkenalkan budaya, semacam propaganda budaya, untuk merangkul pihak luar, negara-negara luar dalam meningkatkan dan mengembangkan jaringan perdagangan lada dan kerjasama internasional di abad 16-17 M. 

Dalam sebuah catatan, Sasapton juga digelar dalam rangka memperingati kemenangan pasukan Banten dalam peristiwa Pagarege atau Pacirebonan. Jalannya pesta kemenangan ini diceritakan sebagai berikut, sepanjang tepi sungai rakyat dan punggawa ditempatkan dalam kemah - kemah kemah dan gamelan - gamelannya sendiri, sebagai tanda - tanda pengenal yang mereka mereka gunakan. 

Penggambaran Sasapton yang demikian, bagi kami semacam seremoni memperingati kemenangan Banten, adalah bentuk diplomasi kultural untuk tujuan legitimasi kekuasaan Banten atas wilayah lainnya dan kedaulatan atas wilayahnya sendiri, atau semacam pernyataan simbolik atas klaim kedaulatan politik kekuasaannya.

Oleh karena itu, tradisi Sasapton perlu dihidupkan kembali. Nilai-nilai diplomasi kultural Kesultanan Banten, perlu direproduksi. Tradisi sasapton perlu direvitalisasi dan ditampilkan kembali di masa pemerintahan sekarang. Kami berharap seraya membayangkan, bahwa di masa depan, gelaran turnamen bermain ketangkasan kuda di Provinsi Banten, bisa dihidupkan atau ditradisikan kembali. Mengenang kejayaan Banten, sekaligus menghidupkan kembali masa kejayaan itu pada konteks masa sekarang. 

Demikian...Salam Budaya...Salam Peradaban...Salam Lestari

Salam Hormat.

Wuri Handoko. Jakarta, 6 Desemeber 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun