Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tradisi Sasapton, Mengungkap Diplomasi Kultural Masa Keemasan Banten

6 Desember 2022   09:41 Diperbarui: 7 Desember 2022   01:30 1150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tradisi Sasapton, yang digelar setiap hari Sabtu, di alun-alun kutaraja atau alun-alun kesultanan, melibatkan seluruh rakyat Banten, baik bangsawan (elit) ataupun masyarakat biasa (non elit) adalah sebuah gelaran bukan hanya dalam skema olah raga tradisional biasa, bukan hanya ketangkasan menunggangi kuda, namun di balik itu ada nilai-nilai falsafah dan budaya lokal tentang bagaimana diplomasi kebangsaan masa kesultanan banten. 

Dalam sebuah wawancara, Abah Yadi demikian beliau biasa disapa, yang dikenal sebagai salah satu Budayawan Banten menjelaskan bahwa Tradisi Sasapton itu tentang pertunjukan apapun, misalnya bermain kuda, bermain pedang dan lainnya, bahkan pentas tari-tarian dan sandiwara yang diceritakan dalam sejarah lisan dan manuskrip. 

Dalam permainan itu bahkan melibatkan para saudagar mancanegara yang bermukim di Banten, seperti saudagar Tionghoa, Arab, India bahkan Eropa dan tampil di tengah hiburan masyarakat itu. 

Demikian kata Abah Yadi, yang cukup lincah menceritakan tentang sejarah kebantenan, yang panjang dan kompleks. Setali tiga uang dengan pernyataan Abah Yadi, kami membuka catatatan sejarah, yang walaupun sangat minim, kami temukan penjelasan singkat tetang Sasapton yang ditulis oleh Husein Djayadingrat (1983), bahwa Sasapton permainan tradisional berkuda dilaksanakan oleh seluruh rakyat Banten, tanpa membedakan golongan bangsawan maupun rakyatnya. 

Dalam catatan sejarah, permainan Sasapton dimulai pertama kali dalam episode pemerintahan Sultan Abdul Mufakir. Diceritakan dalam sejarah, bahwa upacara Sasapton ini merupakan ungkapan kegembiraan dari Sultan Abdul Mufakkir Abdul Kadir atas kelahiran cucunya dan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, pada abad 16-17 M.

Mengapa narasi tentang diplomasi kebangsaan, diplomasi politik kekuasaan yang 'soft power' ini tidak banyak diungkap dalam sejarah? Sepanjang menelusuri berbagai catatan, kami hanya menemukan penulisan yang berulang-ulang, sekedar menggambarkan bahwa Sasapton adalah olahraga tradisional ketangkasan berkuda, digelar setiap hari sabtu yang melibatkan seluruh masyarakat baik golongan bangsawan maupun rakyat biasa, selain juga melibatkan saudagar-saudagar manca negara. Titik. Hanya itu saja. Narasi minimal dan sambil lalu saja.

Nah, dari narasi singkat dan berulang-ulang itu, kami  menyimpulkan, bahwa tradisi Sasapton adalah alat atau instrumen diplomasi politik kekuasaan Kesultanan Banten, baik untuk menjaga relasi atau hubungan dengan rakyatnya, maupun relasi dengan bangsa-bangsa lain dalam kerangka kerjasama perdagangan internasional. Bagi kami, Sasapton adalah cara diplomasi politik kekuasaan yang 'soft power' ala kesultanan Banten, khususnya di masa Sultan Abdul Mufakkir (1596-1651) sampai Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672). 

Baca juga : Menapak Banten Lama, Mengungkap Local Jenius Yang Terlupa

Di masa itulah Banten, mengalami puncak kejayaannya. Berdatangan silih berganti kapal-kapal dagang dari Portugis, Spanyol, Perancis, Denmark, Inggris, Belanda, India, Gujarat, Benggala, Persian dan sebagainya. Di wilayah dalam kepulauan Nusantara, silih berganti Lampung, Selebar, Cirebon, Kerawang, Sumedang dan Mataram. Daerah lainnya misalnya Patani, Aceh, Malaka, Ternate, Jambi, Mataram, Palembang, Goa, Makassar, Banda, Sumbawa, Selor, Ambon dan sebagainya. 

Kita bisa bayangkan betapa ramainya Banten dan pelabuhan-pelabuhannya pada masa itu. Juga, kita bisa bayangkan beta ramainya turnamen Sasapton itu digelar. Ada pertunjukan akbar, ada hiburan rakyat yang semarak, namun juga ada praktik diplomasi kultural Sultan Banten, karena di hadapannya seluruh saudagar-saudagar dari berbagai negara turut hadir menyaksikan, betapa kayanya kebudayaan Banten. 

Demikian, maka tradisi Sasapton sesungguhnya adalah bentuk diplomasi budaya, diplomasi politik kekuasaan Banten yang 'soft power'. Secara teoritis Cummings (2009) mendefinisikan diplomasi budaya sebagai pertukaran ide, informasi, seni dan aspek-aspek lain dari budaya antara bangsa dan rakyatnya dapat menumbuhkan saling pengertian, merupakan jalan untuk saling menyatu dan mempertemukan dan bukan dua hal yang saling bertentangan, seperti ketika satu bangsa memusatkan upayanya untuk mempromosikan bahasa nasional, menjelaskan  kebijakannya dan sudut pandang, atau 'bercerita untuk seluruh dunia. 

Tradisi Sasapton Kesultanan Banten: Strategi Diplomasi Kultural dalam Kerjasama Internasional

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun