Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kepulauan Talaud, Merawat Keindonesiaan di Pulau Terluar

31 Juli 2020   16:35 Diperbarui: 23 Agustus 2020   21:57 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nyiur Melambai, di sebuah pantai di Pulau Buida, Kepulauan Talaud. Sumber: Balai Arkeologi Sulut

Orang Talaud yang jauh berada di pulau terpencil di wilayah perbatasan dengan wilayah Filipina itu, sangat bersahaja. Seorang Indonesia tulen dan cinta tanah airnya, cinta pulau dan segala kekayaannya, juga sangat mencintai budayanya. Saya dapat melihat dan belajar langsung bagaimana Orang Talaud merawat budayanya, jati dirinya, merawat Keindonesiaannya.

Suatu saat, saya yang baru setahun bertugas di Manado, diundang oleh organisasi dewan adat, Pantua Adat Banua, untuk menyampaikan hasil-hasil penelitian arikeologi, warisan budaya di Talaud. 

Sebagai orang yang baru bekerja di wilayah Sulawesi Utara, tentu saja saya minim pengetahuan tentang Sulawesi Utara, apatah lagi tentang Talaud. Namun kesempatan itu membuat saya banyak belajar. 

Pertemuan dengan Pantua Adat Banua, Dewat Adat Kep. Talaud. Sumber: Dok Pribadi/Balar Sulut
Pertemuan dengan Pantua Adat Banua, Dewat Adat Kep. Talaud. Sumber: Dok Pribadi/Balar Sulut
Lembar demi lembar laporan penelitian arkeologi di wilayah Talaud, yang disiapkan oleh senior peneliti Ipak Fahriani, saya pelajari. Sambil tentu saja saya menganalisa, aspek-aspek kebudayaan Talaud lainnya, yang perlu saya kaji lebih dalam lagi, jika memungkinkan. Juga, memperlajari berbagai artikel imiah arkeologi, yang menyinggung soal Talaud.

Namun, kedatangan saya ke Talaud, tentu saja bukan hanya menyampaikan materi tentang potensi warisan budaya Orang Talaud. Sebaliknya, justru saya banyak belajar dari mereka. Budaya mereka, kesahajaan mereka dan cara mereka merawat rasa cinta dan kepedulian terhadap budayanya. 

Saya memahami sungguh, melihat Talaud dari seluruh penjuru nusantara, maka yang terlihat adalah pulau nun jauh di utara Pulau Sulawesi, atau di sebelah utara Sulawesi Utara yang ratusan kilometer jaraknya. 

Meskipun jauhnya jarak, bukan lagi halangan, mengingat moda transportasi laut dan udara tersedia setiap harinya. Namun cara masyarakatnya memahami dirinya sebagai bagian dari Keindonesiaan, adalah pelajaran yang sangat penting bagi saya sendiri.

Kabupaten Kepulauan Talaud terdiri dari 19 (Sembilan belas) kecamatan, dimana kecamatan terluas adalah Kecamatan Beo Utara (144.85KM2) dan kecamatan terkecil adalah Kecamatan Miangas (2.39KM2). 

Kabupaten Kepulauan Talaud merupakan pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Sangihe (pada saat itu masih Kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud), berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 2002. Sebagai daerah kepulauan, Kabupaten Kepulauan Talaud merupakan daerah bahari dengan luas lautnya sekitar 37800 km2 dan luas wilayah daratan 1251.02 Km2.

Situs Gua Buide, Pulau Melonguane, Kep. Talaud. Sumber: Balar Sulut
Situs Gua Buide, Pulau Melonguane, Kep. Talaud. Sumber: Balar Sulut
Kita tahu, mungkin setiap harinya, hubungan antara orang-orang Talaud, dengan orang Filipina bagian selatan, setiap harinya dapat saja terjalin. Bahkan konon, banyak pula komoditi barang dari Filipina, dengan mudah masuk ke wilayah Talaud. 

Saya menjumpai, beberapa kenyataan, bahwa beberapa minuman beralkohol, dengan lebel made in Filipina, bisa dijumpai dengan mudah disana. Meski demikian, semua itu sama sekali tidak mempengaruhi cara Orang Talaud memahami dirinya, memahami budayanya, bahwa masyarakat Kepulauan Talaud adalah bagian satu kesatuan dari Indonesia, yang beribukota di Jakarta, yang berjarak ribuan kilometer dari Talaud.

Memang, secara kasat mata saya sendiri bisa menjumpai kesahajaan masyarakat Talaud sehari-hari. Pada suatu kesempatan, saya berkeliling, meskipun hanya sebentar. 

Saya melihat, ada masyarakat yang masih menanam padi ladang, meski lahan yang terbatas, jagung dan umbi-umbian ciri khas pertanian lokal yang sudah turun temurun. Ohya, khusus padi ladang misalnyaa, tradisi bercocok tanam ini, sudah dikenal sejak masa bercocok tanam awal, yang diperkenalkan oleh para penutur Austronesia, ribuan tahun lalu.

Iya, memang Kepulauan Talaud tak bisa dilepaskan dengan jalur migrasi para penutur Austronesia. Teori Out of Taiwan, yang diyakini terutama oleh para arkeolog, juga ahli lingustik dan juga antropolog.

Bahwa nenek moyang Austronesia, yang kini menempati sebagian besar wilayah Nusantara, keluar dari daratan Taiwan, ribuan tahun yang lalu. Di Indonesia, Kepulauan Talaud adalah salah satu pintu masuknya. Kemudian menyebar ke wilayah bagian barat Nusantara, juga Sulawasi lainnya bahkan hingga ke wilayah Papua.

Tradisi Pembuatan perahu kayu di Kep. Talaud. Sumber: Balar Sulut
Tradisi Pembuatan perahu kayu di Kep. Talaud. Sumber: Balar Sulut
Bagi Orang Talaud, posisi strategis Kepulauan Talaud, sebagai pintu gerbang masuknya migrasi Austronesia, yang saat ini mendominasi populasi penduduk Nusantara, justru membuktikan bahwa mereka, adalah menjadi cikal bakal dari lahirnya kebudayaan Nusantara, budaya Indonesia. Dari situ, mereka memahami bahwa Talaud, adalah bagian seutuhnya dari Indonesia.

Yang menarik, terdapat catatan ahli linguistik dan antropolog bahwa nenek moyang Orang Talauad, adalah penutur Bahasa Filipina, sebelum kemudian juga melakukan kontak dengan Halmahera Utara. 

Menurut Daud Aris Tanudirjo, seorang arkeolog UGM, kedatangan para penutur Austronesia dari daratan Taiwan, lalu ke Filipina dan singgah di Kepulauan Talaud, sebelum kemudian melanjutkan ke wilayah Kalimantan, Jawa, Sumatra. Bukti adanya jejak masuknya para migran Austronesia itu setidaknya ada sejak sekitar 3600 tahun yang lalu, yang buktinya ditemukan di situs gua hunian, yang disebut Leang Tuwo Mane'e.

Tak bisa dipungkiri, melihat posisi geografis Kepulalauan Talaud, maka hampri dapat dipastikan, bahwa, para penutur Austronesia, keluar dari daratan Taiwan, menuju Filipina, lalu ke Kepulauan Talaud, ribuan tahun yang lalu. 

Bukti-bukti arkaik, di wilayah Pulau Karakelang, dan Salibabu, menurut catatan Balai Arkeologi Sulawesi Utara, yang saat ini saya pimpin, menunjukkan bahwa Kepulauan Talaud, menjadi tempat bermukim ataupun hanya persinggahan para migran Asutronesia dari Taiwan Itu. 

"Sebelum meneruskan perjalanan ke wilayah lain dan sebagian menetap membentuk komunitas-komunitas budaya lokal" demikian menurut Ipak Fahriani, peneliti arkeologi di Balai Arkeologi Sulawesi Utara.

Namun, sebelum kedatangan para migran Austronesia, di Kepulauan Talaud, sudah adalah populasi penduduk yang sudah menghuni jauh sebelum para migran Taiwan itu. Kedatangan para migran Austronesia dari Taiwan itu, lalu membentuk percampuran budaya dengan populasi penduduk yang sudah menghuni Kapulauan Talauad lebih dulu.

Pantai di Pulau Melonguane, Kep. Talaud. Sumber: Balar Sulut
Pantai di Pulau Melonguane, Kep. Talaud. Sumber: Balar Sulut
Para migran Austronesia hadir di Kepulauan Talaud, sekitar 3600 tahun yang lalu itu memperkenalkan pertanian dan juga memelihara binatang, serta hidup menetap dan berkelompok.

Jejak budaya Asutronesia awal di Kepulauan Talaud itu dapat dilihat hingga sekarang. Situs-situs arkeologi menunjukkan beberapa tinggalan budaya Austronesia. Wilayah Kepulauan Talaud sejak sekitar tahunn 1976 sudah menjadi perhatian para arkeolog. 

Seorang Peter Bellwood, yang bisa disebut Begawan nya arkeologi mkawasan Asia Tenggara dan Pasifik, tertartik dengan situs-situs di Pulau Karakelang, Buidan dan Pulau Salibabu, di Kepulauan Talaud. 

Penelitian arkeolog sepuh itu, menghasilkan sejumlah informasi penting yang menegaskan bahwa Kepulauan Talaud, memiliki ciri sebagai bagian dari Budaya Austronesia.

Di kalangan arkeolog, sudah sangat familiar artefak tembikar berpoles merah maupun tembikar polos, beliung persegi dan sebagainya yang menandai budaya Asutronesia awal. Sementara itu, budaya tak benda seperti tradisi cocok tanam, hingga sekarang juga menjadi ciri budaya budaya di Kepulauan Talaud yang masih berkembang.    

Berdasarkan laporan riset, sebelum kedatangan migran Asutronesia dari Taiwan, datang di Kepulauan Talaud, bukti-bukti kehidupan purba yang lebih tua lagi sudah ada sebelumnya. Bukti aktifitas menunjukkan aktifitas hunian dan kehidupan prasejarah di Talaud sekitar 30.000 tahun lalu di sebuah situs gua prasejarah yang dikenal dengan nama Leang Sarru. 

Kehidupan ditandai dengan temuan-temuan arkeologi di gua-gua prasejarah, berupa sisa makanan hewan laut, kerang-kerangan. Yang menunjukkan, bahwa konsumsi utamanya masyarakat prasejarah puluhan ribu tahun lalu itu hanya mengandalkan hewan laut. Bukti adapatasi manusia masa lampau terhadap lingkungan pulau yang ditempatinya, sebagai daerah kepulauan.

Sepertinya, jika menguraikan seluruh informasi tentang jejak perjalanan migrasi penutur Austronesia di Kepulauan Talaud, bakan sangat panjang, seperti menulis novel panjang dan berjilid-jilid. Yang pasti, jejak kebudayaan masa lampau Orang Talaud itu, menjadi spirit orang Talaud untuk merawat Keindonesiaan. 

Di depan para Pantua Adat Banua, saya didaulat untuk menyampaikan banyak hal tentang jejak nenek moyang penutur Austronesia di Talaud. Mereka meyakini, bahwa itu semua bukti bahwa cikal bakal Indonesia, salah satunya dimulai dari Kepulauan Talaud. Keyakinan itu menjadikan kebanggan, sekaligus energi untuk setia merawat Keindonesiaan. 

Kebanggaannya sebagai Orang Talaud sebagai bagian dari NKRI adalah energi positif, merawat semangat kebangsaan, merawat jatidiri Orang Talaud sebagai bagian dari tumpah darah negara tercinta Indonesia.

Salam Budaya... Salam Lestari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun