Pada dinding batu yang diam, bisu dan tak menyapa. Aku melihat samar bayangan peradaban masa lalu. Sebelum kusibakkan ilalang dan kubabat rerumputan yang menjeratnya. Menyingkap tabir dibalik dinding batu yang bisu dan rentan terhempas jatuh
Tak berdaya didesak kehidupan kini yang tak lagi ramah pada masa lalu. Bukan hanya ingin kuselamatkan batu bisu ini, tapi juga ingin kuajak bicara agar jujur mengaku. Tentang tersembunyi cerita yang harus tersampaikan pada anak cucu...
Agar mereka paham tentang duka, cinta, nestapa dan perjuangan leluhur kala itu
pada zaman yang kini semakin tak jelas berkata.Â
Pada dinding batu itu, yang diam, kaku sepi dan menyendiri itu. Dalam jerat waktu yang tak tentu itu, ada tanda beribu tangan leluhur menyatu
Memungut batu dari tempat asalnya hingga tersusun rapi menjadi benteng pelindung. Tanah leluhur dan segala yang ditanamnya diantara debu dan kerikil..
Pada dinding batu itu, leluhur dulu menandai setiap gemulai gerak seluruh hidupnya. Mereka ingin mengabarkan pada zaman sesudahnya, entah tentang apa akan berkata..
Tapi mereka sudah menganyam gerak dan langkah tentang makna bersatu dan bekerjasama. Apakah makna gotong royong saat ini adalah perihal tiba-tiba tanpa leluhur lebih dulu melukisnya?
Pada dinding batu itu, peradaban tersusun sedemikian rupa, dari menata satu hingga beribu.Â
Lalu dibuatnya batu itu bersusun keliling, membentuk ruang untuk hidup bercerita bersama.
Membagi kerja, berbagi duka dan asa, lalu merekapun menanam pohon disekelilingnya..
Membawa dan memasak ikan hasil pancingan, berburu dan berternak dan semua tentang awal cerita. Lalu kini, semua sepi kembali, zaman setelahnya sudah meninggalkannya.....