Mohon tunggu...
DW.
DW. Mohon Tunggu... Lainnya - sedang sekolah (gizi)

menulis untuk #mengenal-Nya, menulis untuk #belajar, menulis untuk #bahagia, menulis untuk #menemukan diri.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dosis Obat dalam Naskah Kitab Butikan Obat-Obat dan Serat Racikan Boreh Saha Parem

10 Januari 2023   12:05 Diperbarui: 10 Januari 2023   13:14 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Cerminan Teknologi Kesehatan Indonesia

Pendahuluan

Indonesia sedari dulu terkenal akan kekayaan tradisi dan alamnya. Kekayaan tradisi tersebut menandakan bahwa bangsa Indonesia sudah bergelut lama dengan ilmu pengetahuan. Salah satu aspek yang mengalami perkembangan adalah mengenai tradisi pengobatan. Tradisi ini sudah ada semenjak jaman kerajaan Hindu, dan mengalami perkembangan setelah Islam masuk ke Indonesia.

Salah satu bukti perkembangan dalam bidang pengobatan adalah ditemukan naskah-naskah mengenai pengobatan Misalnya yang terdapat di Jawa seperti Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi, Kawruh Jampi Jawi, Racikan Boreh saha Parem, serta Serat Centhini.[1]

Setelah Islam masuk, ilmu pengobatan mengalami perkembangan yang terlihat dari antara lain penggunaan tulisan Jawi, cara-cara pengobatan yang menekankan unsur-unsur Islam yaitu menggunakan kalimah-kalimah Al-Qur'an sebagai salah satu medium pengobatan, dan terdapat banyak istilah untuk pengobatan dan bahan-bahan yang digunakan dalam pengobatan disebut dalam bahasa Arab.[2]

Salah satu karya ilmuwan Islam dalam bidang pengobatan dapat dijumpai pada Naskah Kitab Butikan Obat-Obat karya Sayyid Ali bin Alwi bin Shihabuddin dan serat yang berasal dari lingkungan keratin Surakarta era Pakubuwono IX (1861-1893).

Salah satu hal menarik pada kedua naskah tersebut adalah adanya keterangan mengenai takaran penggunaan obat, atau yang saat ini dikenal dengan dosis. Sebagaimana diketahui, dalam dunia modern seperti saat ini, penentuan dosis bukanlah hal yang mudah, ia membutuhkan waktu puluhan tahun sebelum dikatakan aman dan dapat digunakan oleh masyarakat luas. Menariknya adalah dosis yang tercantum pada naskah tersebut bisa dikatakan aman, atau sesuai dosis. Adalah sebuah keunikan bagaimana para ahli pengobatan dahulu bisa menetapkan hal ini. Adakah Islam berperan dalam proses perkembangan ini.

Isi

A. Naskah Kitab Butikan Obat-Obat

Naskah Kitab Butikan Obat-Obat adalah karya Sayyid Ali bin Alwi bin Shihabuddin. Naskah ini merupakan salah satu manuskrip masyarakat Palembang, yang terdiri dari 24 halaman teks. Naskah ini ditulis di Kampung 16 Ilir Palembang.

Teks pada halaman 1-10 berisi informasi tentang pengobatan yang berkenaan dengan perempuan, halaman 10-16 berisi informasi pengobatan berkenaan dengan laki-laki, halaman 17-18 berkenaan dengan masalah sakit ketika buang air kecil maupun kencing batu, halaman 19 berkenaan dengan masalah kesehatan rambut, dan halaman 20-21 berkenaan dengan masalah batuk atau muntah darah.[3]

Dari 24 halaman teks, halaman 1-21 memuat rincian jenis penyakit yang akan diobati serta macam-macam obatnya. Halaman 22-24 berisi 'tanbih'. Meskipun dalam kitab ini terdapat 39 bab masalah pengobatan namun teks yang terbaca hanya sekitar 30 bab.

Salah satu hal yang menarik di dalam naskah ini adalah cara penggunaannya yang disertai dengan dosis (takaran), aturan atau cara pemakaian, dan juga pantangan. Dosis atau takaran dalam naskah ini didasarkan pada berat mata uang. Misalnya: "gula pasir berat satu ringgit, kuma-kuma berat satu tali, jinten hitam kadar berat setengah ringgit", dan sebagainya. Dengan demikian berat bahan obat yang digunakan disesuaikan dengan berat sejumlah tertentu koin mata uang yang berlaku pada masa itu. Hal itu memberi pemahaman bahwa penggunaan obat tersebut terhindar dari efek samping yang dapat membahayakan, atau dengan kata lain, obat tersebut aman untuk digunakan.[4]

Contoh isi teks mengenai dosis penggunaan obat:

  1. Dosis: Ditimbang sama beratnya, kadar beratnya setengah rupiyah, dua sendok besar, tiga genggam, setengah belek susu, berat satu tali, satu cangkir kopi, lima suing, sepuluh biji, kadar berat satu ringgit, berat satu tali, daun kadar lima lembar, kadar lima menit, sepuluh menit, dipantangkan makan cabe, dipantangkan makan asem asem, dipantangkan makan masin masin.
  2. Penggunaan: Dimakan pagi dan petang, diminum pagi, diminum pagi sampai tiga pagi berturut-turut, jenis obat tepung ditaruh pada tempat yang hendak diobati. Diuapkan ditempat yang hendak diobati, akar kayu bahar dipakai untuk kendit, dioleskan, direndamkan sepuluh menit, dibalurkan, diborehkan, disapukan dengan bulu ayam, diminum sebelum makan apa apa, diminum satu jam sebelum makan apa-apa, dimakan setelah bangun tidur pagi.

B. Serat Racikan Boreh Saha Parem

Naskah ini berasal dari keraton Surakarta, lebih tepatnya berasal dari zaman pemerintahan Pakubuwono IX (1861-1893). Naskah ini berisi berbagai racikan obat boreh, yaitu racikan bahan-bahan herbal untuk diborehkan (dibalurkan) pada bagian tubuh yang sakit. Selain itu, juga berisi ramuan untuk perawatan tubuh seperti lulur dan kosmetik. Parem boreh berarti racikan untuk dibalurkan. Di dalam serat ini juga sudah muncul dosis atau takaran dalam penggunaan obat, namun tidak serinci seperti yang tercantum pada naskah Kitab Butikan Obat-Obat.[5]

C. Sejarah Pengobatan di Indonesia

Pertama kali manusia memanfaatkan tanaman dan hasil bumi di sekelilingnya untuk bertahan hidup, terutama sebagai bahan makanan yang kemudian berkembang untuk pengobatan. Mulai dari saat itu, ilmu pengobatan herbal berkembang. Ilmu pengobatan tersebut mulai menyebar secara lisan dan turun-temurun. Setiap orang di masa itu mengenali pengobatan herbal berdasarkan warisan nenek moyangnya. Sebelum ada kertas, mereka membuat dokumentasi di tanah lempung basah dengan logam yang tajam seperti paku. Kemudian, bahan tersebut dijemur hingga kering, selain itu, mereka juga menggunakan daun palem sebagai media yang lain. Ketika mereka mulai mengenal kertas dan tradisi tulis, mereka menggunakannnya untuk mendokumentasikan pengetahuan tentang pengobatan herbal.

Di Indonesia, tradisi pengobatan herbal juga sudah membudaya pada periode kerajaan Hindu-Jawa. Hal ini dibuktikkan dengan adanya Prasasti Madhawapura dari masa Kerajaan Majapahit yang menyebut adanya profesi "tukang meracik jamu" yang disebut Acaraki. Pada 772 M, sejarah pengobatan herbal ini tercatat dalam dokumen tertua, yaitu di ukir adanya obat di Candi Borobudur. Hal serupa juga ditemukan di Candi Prambanan, Candi Panataran, dan Candi Tegalwangi.[6]

Selanjutnya, pada 991-1016 M, perumusan obat, ekstraksi dari tanaman, ditulis pada daun kelapa yang disebut Lontar usada di Bali. Di Sulawesi Selatan, ada juga tulisan-tulisan ramuan yang disebut Lontarak Pabbura. Di Jawa, penulisan ramuan terdapat pada rontal (ron berarti daun). Daun tal maksudnya sama dengan lontar (daun kelapa).

Pada masa keraton-keraton di Indonesia, misalnya Keratorn Surakarta, pengetahuan tentang formulasi obat dari bahan alami telah dibukukan dalam bab Kawruh Jampi Jawi (Pengetahuan Ramuan Jawa) dan dipublikasikan pada tahun 1858. Di dalam buku tersebut terdapat 1734 formulasi herbal.[7]

Analisa

Manuskrip adalah hasil karya masyarakat yang kaya dengan berbagai cabang ilmu. Ia merupakan bahan rujukan utama dalam mengetahui peradaban dan sejarah suatu masyarakat. Salah satu faktor utama yang menjadikan manuskrip-manuskrip bermutu adalah pengaruh Islam. Kedatangan Islam telah merubah bahan dan fokus penulisan manuskrip sehingga isi penulisannya lebih bercorak keagamaan menerangkan keindahan agama Islam seperti kepercayaan kepada Allah.

Pada manuskrip-manuskrip Melayu pengaruh Islam dalam bidang pengobatan jelas terlihat, misalnya penggunaan tulisan Jawi, penerangan cara-cara pengobatan lebih menekankan unsur-unsur Islam yaitu menggunakan kalimah-kalimah Al-Qur'an sebagai salah satu medium pengobatan, dan terdapat banyak istilah untuk pengobatan dan bahan-bahan yang digunakan dalam pengobatan disebut dalam bahasa Arab. Pengaruh Islam yang terdapat dalam pengobatan tradisional dapat dilihat dalam banyak aspek, salah satunya adalah penggunaan istilah Arab yang banyak, penggunaan banyak petikan ayat Al-Qur'an, dan lain-lain.[8]

Penentuan dosis bukanlah hal yang mudah, dalam ilmu farmasi terdapat sejumlah uji coba agar obat yang beredar dipastikan aman, beberapa tahap itu secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu pengujian pada hewan coba dan pengujian pada manusia (uji klinik).[9]

1).   Pengujian pada Hewan Coba

Sebelum dapat diuji secara klinik, zat tersebut harus diteliti selama beberapa tahun mengenai sifat farmakodinamik, farmakokinetik, dan efek toksiknya pada hewan coba. Dalam studi farmakokinetik mencakup juga pengembangan teknik analisis untuk mengukur kadar senyawa tersebut dan metabolitnya dalam cairan biologi. Semua itu diperlukan untuk memperkirakan dosis efektif dan memperkecil risiko penelitian pada manusia.

Studi toksikologi pada umumnya dilakukan dalam tiga tahap yaitu penelitian mengenai toksisitas akut, penelitian toksisitas jangka panjang, dan penelitian toksisitas khusus yang meliputi pnelitian terhadap sistem reproduksi termasuk teratogenisitas, uji karsinogenisitas, dan mutagenisitas, serta uji ketergantungan.

2).   Pengujian pada manusia (uji klinik)

Pada prinnsipnya, uji klinik dilakukan untuk memastikan efikasi, keamanan, dan gambaran efek samping yang sering timbul pada manusia akibat pemberian suatu obat. Uji klinik terdiri dari uji fase I sampai IV.

Pada uji klinik fase I ini diteliti sifat farmakodinamik dan farmakokinetik pada manuia. Subjek yang dibutuhkan untuk penelitian ini bervariasi, sekitar 20-50 orang.

Pada uji klinik fase II membutuhkan subjek 100-200 orang, dan pada uji klinik fase III dibutuhkan subjek sekitar 500 orang. Uji Klinik fase IV merupakan pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan.

Secara ringkas, waktu yang diperlukan untuk pengembangan suatu obat baru, mulai dari sintesis bahan kimianya sampai dipasarkan membutuhkan waktu 10 tahun lebih.

Penutup

Naskah Kitab Butikan Obat-Obat dan Serat Racikan Boreh Sahe Parem menyingkap kepada kita betapa luasnya khazanah pengobatan di Nusantara, bahkan teknologi penentuan dosis sudah terdapat. Meski belum diketahui secara pasti bagaimana cara menentukan dosis ini, tapi mereka berhasil membuat penentuan dosis yang aman dan berkhasiat. Adapun penentuan dosis yang aman dan menimbulkan khasiat juga bukanlah pekerjaan yang mudah. Kedatangan Islam di Indonesia telah mendukung perkembangan bidang pengobatan ini.

Daftar Pustaka:

[1] Dini Ardianty, "Sistem Pengobatan Tradisional Masyarakat Jawa", diakses di http://dini-ardianty-fib10.web.unair.ac.id/artikeldetail-83258-Tradisi-Sistem%20Pengobatan%20Tradisional%20Masyarakat%20Jawa.html (10 Juli 2014, 21:05). 

[2] Ahmad Faisal bin Abdul Hamid, Helwana binti Mohammad., "Manuskrip Perubatan Melayu-Islam: Ulasan terhadap Manuskrip Kitab Tayyib al-Ihsan fi Tibb al-Insan Karya Syeikh Ahmad al-Fatani", diakses di http://elib.uum.edu.my/kip/Record/um568681 (11 Juli 2014, 00:09) 

[3] Endang Rochmiatun, "Farmakologi Tradisional di Palembang dalam Perspektif Ekologi Budaya", Jumantara Vol. 4 No.1 Tahun 2013. 

[4] Ibid

[5] Dini Ardianty, "Sistem Pengobatan Tradisional.." 

[6] Ibunda Suparni, Ari Wulandari., "Herbal Nusantara", (Yogyakarta: Andi Offset, 2012), hal. 1-3.

[7] Ibid

[8] Ahmad Faisal bin Abdul Hamid, Helwana binti Mohammad., "Manuskrip Perubatan Melayu.." 

[9] Sulistia Gan Gunawan, "Farmakologi dan Terapi, edisi 5", (Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran-Universitas Indonesia, 2007), hal. 24-26.

Ditulis di Surakarta, September 2014.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun