Mohon tunggu...
DW.
DW. Mohon Tunggu... Lainnya - sedang sekolah (gizi)

menulis untuk #mengenal-Nya, menulis untuk #belajar, menulis untuk #bahagia, menulis untuk #menemukan diri.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dosis Obat dalam Naskah Kitab Butikan Obat-Obat dan Serat Racikan Boreh Saha Parem

10 Januari 2023   12:05 Diperbarui: 10 Januari 2023   13:14 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Dari 24 halaman teks, halaman 1-21 memuat rincian jenis penyakit yang akan diobati serta macam-macam obatnya. Halaman 22-24 berisi 'tanbih'. Meskipun dalam kitab ini terdapat 39 bab masalah pengobatan namun teks yang terbaca hanya sekitar 30 bab.

Salah satu hal yang menarik di dalam naskah ini adalah cara penggunaannya yang disertai dengan dosis (takaran), aturan atau cara pemakaian, dan juga pantangan. Dosis atau takaran dalam naskah ini didasarkan pada berat mata uang. Misalnya: "gula pasir berat satu ringgit, kuma-kuma berat satu tali, jinten hitam kadar berat setengah ringgit", dan sebagainya. Dengan demikian berat bahan obat yang digunakan disesuaikan dengan berat sejumlah tertentu koin mata uang yang berlaku pada masa itu. Hal itu memberi pemahaman bahwa penggunaan obat tersebut terhindar dari efek samping yang dapat membahayakan, atau dengan kata lain, obat tersebut aman untuk digunakan.[4]

Contoh isi teks mengenai dosis penggunaan obat:

  1. Dosis: Ditimbang sama beratnya, kadar beratnya setengah rupiyah, dua sendok besar, tiga genggam, setengah belek susu, berat satu tali, satu cangkir kopi, lima suing, sepuluh biji, kadar berat satu ringgit, berat satu tali, daun kadar lima lembar, kadar lima menit, sepuluh menit, dipantangkan makan cabe, dipantangkan makan asem asem, dipantangkan makan masin masin.
  2. Penggunaan: Dimakan pagi dan petang, diminum pagi, diminum pagi sampai tiga pagi berturut-turut, jenis obat tepung ditaruh pada tempat yang hendak diobati. Diuapkan ditempat yang hendak diobati, akar kayu bahar dipakai untuk kendit, dioleskan, direndamkan sepuluh menit, dibalurkan, diborehkan, disapukan dengan bulu ayam, diminum sebelum makan apa apa, diminum satu jam sebelum makan apa-apa, dimakan setelah bangun tidur pagi.

B. Serat Racikan Boreh Saha Parem

Naskah ini berasal dari keraton Surakarta, lebih tepatnya berasal dari zaman pemerintahan Pakubuwono IX (1861-1893). Naskah ini berisi berbagai racikan obat boreh, yaitu racikan bahan-bahan herbal untuk diborehkan (dibalurkan) pada bagian tubuh yang sakit. Selain itu, juga berisi ramuan untuk perawatan tubuh seperti lulur dan kosmetik. Parem boreh berarti racikan untuk dibalurkan. Di dalam serat ini juga sudah muncul dosis atau takaran dalam penggunaan obat, namun tidak serinci seperti yang tercantum pada naskah Kitab Butikan Obat-Obat.[5]

C. Sejarah Pengobatan di Indonesia

Pertama kali manusia memanfaatkan tanaman dan hasil bumi di sekelilingnya untuk bertahan hidup, terutama sebagai bahan makanan yang kemudian berkembang untuk pengobatan. Mulai dari saat itu, ilmu pengobatan herbal berkembang. Ilmu pengobatan tersebut mulai menyebar secara lisan dan turun-temurun. Setiap orang di masa itu mengenali pengobatan herbal berdasarkan warisan nenek moyangnya. Sebelum ada kertas, mereka membuat dokumentasi di tanah lempung basah dengan logam yang tajam seperti paku. Kemudian, bahan tersebut dijemur hingga kering, selain itu, mereka juga menggunakan daun palem sebagai media yang lain. Ketika mereka mulai mengenal kertas dan tradisi tulis, mereka menggunakannnya untuk mendokumentasikan pengetahuan tentang pengobatan herbal.

Di Indonesia, tradisi pengobatan herbal juga sudah membudaya pada periode kerajaan Hindu-Jawa. Hal ini dibuktikkan dengan adanya Prasasti Madhawapura dari masa Kerajaan Majapahit yang menyebut adanya profesi "tukang meracik jamu" yang disebut Acaraki. Pada 772 M, sejarah pengobatan herbal ini tercatat dalam dokumen tertua, yaitu di ukir adanya obat di Candi Borobudur. Hal serupa juga ditemukan di Candi Prambanan, Candi Panataran, dan Candi Tegalwangi.[6]

Selanjutnya, pada 991-1016 M, perumusan obat, ekstraksi dari tanaman, ditulis pada daun kelapa yang disebut Lontar usada di Bali. Di Sulawesi Selatan, ada juga tulisan-tulisan ramuan yang disebut Lontarak Pabbura. Di Jawa, penulisan ramuan terdapat pada rontal (ron berarti daun). Daun tal maksudnya sama dengan lontar (daun kelapa).

Pada masa keraton-keraton di Indonesia, misalnya Keratorn Surakarta, pengetahuan tentang formulasi obat dari bahan alami telah dibukukan dalam bab Kawruh Jampi Jawi (Pengetahuan Ramuan Jawa) dan dipublikasikan pada tahun 1858. Di dalam buku tersebut terdapat 1734 formulasi herbal.[7]

Analisa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun