Mohon tunggu...
Wahyu Satriyo Wicaksono
Wahyu Satriyo Wicaksono Mohon Tunggu... wiraswasta -

Komentator pun harus punya data, karena kasihan yang dikomentarin. twitter @wsatriyow website : bataminenglish.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sengkarut Masalah Tanah di Batam

16 Maret 2016   12:03 Diperbarui: 16 Maret 2016   14:19 3111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Suasana Pelabuhan CPO Kabil di Batam"][/caption]Seluruh pulau Batam adalah milik negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Dalam hal ini disebut sebagai Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dan pemegangnya adalah Otorita Batam atau BP Batam, sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria No. 9/1965. Status tanah di atas HPL berdasarkan PP No. 40/1996  hanyalah Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP). Hak ini diberikan oleh pemegang HPL dalam hal ini BP Batam kepada pemohon (warga, instansi pemerintah selain BP Batam ataupun investor).

Kenapa tidak ada Sertifikat Hak Milik (SHM) di Batam? Menurut situs http://peta.bpn.go.id/ ada beberapa wilayah di Batam yang telah memiliki SHM. Namun tidak banyak, dan akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini. Lalu apakah pemilik SHM ini membayarkan perpanjangan (Otorita hanya menarik uang wajib tahunan-perpanjangan hanya mekanisme penarikannya saja) Uang Wajib Tahunan seperti tercantum dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Agraria No. 9/1965? Hal ini masih diperdebatkan karena SHM-nya berada di atas HPL. Uang wajib tahunan di Batam disebut sebagai Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO).

Permasalahannya adalah banyak warga yang tidak mau membayar UWTO, bahkan katanya tidak jelas peruntukan UWTO itu untuk apa? Amazing. Hasil dari iuran UWTO ini digunakan untuk pembangunan Kantor Pemkot Batam, Asrama Haji, Masjid Raya Batam, Stadion Olah Raga Temenggung Abdul Jamal, rumah susun pekerja, Politeknik Negeri Batam, Jembatan Barelang, Bandara Internasional Hang Nadim Batam, delapan waduk tadah hujan serta instalasi pengelolaan air bersihnya, Rumah Sakit BP Batam, pelabuhan domestik, jalan, serta banyak lagi fasilitas publik lainnya. Semua itu sudah berdiri kokoh dan dinikmati oleh masyarakat Batam. Jadi jika dikatakan bahwa tidak jelas uang UWTO itu sangat keliru.

Jika masyarakat membandingkan kalau di Papua tidak ada uang UWTO, jangankan di Papua, di Bintan saja tidak ada uang UWTO, bandingkan juga fasilitasnya. Di Bintan itu listrik mati hampir tiap hari dan masyarakatnya masih kesulitan merasakan pelayanan air bersih. Investor harus berjibaku membuat fasilitas dasar tersebut agar bisnisnya dapat berjalan dengan baik. Bahkan saat ini, listrik di pulau Bintan disuplai melalui kabel bawah laut dari Batam. Dan itupun masih kurang.

Alasan Pemberian HGB di Batam

Mengapa di Batam hanya diberikan status HGB? Apa yang paling sulit dan menjadi momok dari proyek pemerintah dan investor? Pembebasan lahan. Pembebasan lahan di seluruh Indonesia membuat banyak proyek mangkrak. Bahkan ada jalan tol yang di tengah jalannya ada rumah warga yang menolak untuk pindah karena terbentur masalah ganti rugi. Itu fakta. Dan masih banyak proyek strategis lainnya seperti proyek listrik 35.000 MW yang terkendala masalah lahan. Izin mungkin bisa dibereskan dalam hitungan minggu jika pihak-pihak terkait memiliki goodwill dalam menuntaskan masalah perizinan. Kalau lahan? Itu hak asasi warga. Hak Milik adalah strata paling tinggi dalam status kepemilikan tanah.

Untuk itulah tanah di Batam hanya diberikan Hak Guna Bangunan. Batam yang luasnya hanya 41. 500 Ha dituntut untuk bisa mengatasi persoalan tanah yang terbatas. Singapura yang menjadi tolak ukur Batam, membangun rumah susun sebagai tempat tinggal. Dan hanya orang yang tajir melintir saja yang memiliki rumah tapak. Sementara jarang ada investor yang mau membangun rumah susun di Batam. Kebanyakan mereka hanya membangun rumah tapak. Untuk saat sekarang saja Batam kurang tepat disebut sebagai Kota Industri, karena lebih banyak lahan untuk perumahan dibandingkan dengan luas lahan untuk industri. Belum lagi rumah-rumah liar (ruli).

[caption caption="Foto aerial lahan dan rumah Darsiti binti Umar di Desa Rancawulu, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes. Rumah tersebut terletak di Tol Pejagan-Brebes Timur. Kondisi aktual pada Senin (13/7/2015). Sumber : Kompas.com/KRISTIANTO PURNOMO"]

[/caption]

Pemerintah sekarang lebih condong kepada warga dengan meniadakan UWTO dan akan memberikan SHM. Sementara untuk pembangunan usaha diberikan HGB. Jika nanti ada salah satu industri yang bangkrut maka tergantung akan dialokasikan untuk apa nantinya. Karena industri biasanya berada di tempat-tempat strategis dan mudah akses transportasinya, maka hal yang sering terjadi adalah alih fungsi lahan industri menjadi permukiman. Itulah mengapa di Batam lebih banyak daerah permukiman.

Penulis tidak bisa membayangkan pertumbuhan Batam untuk dua puluh tahun ke depan. Masalah semakin kompleks ketika fasilitas publik pun ikut diserbu ruli. Untuk saat sekarang saja ada waduk (Sei. Baloi) yang diserbu ruli. Banyak limbah rumah tangga (septic tank) yang mencemari waduk tersebut, alhasil waduk tidak bisa dimanfaatkan. Beberapa waduk juga mengalami kondisi yang sama, keramba ikan dan usaha peternakan serta usaha penggundulan hutan marak terjadi.

Bagaimana nanti warga Batam akan mencukupi kebutuhan air bersihnya jika sumbernya saja dirusak oleh penduduknya sendiri? Bagaimana nanti perkembangan industri akan merata di Batam jika kemudian lebih diutamakan permukiman penduduk? Bukankah Batam adalah daerah industri? Dan bagaimana industri nanti akan berkembang jika untuk pembebasannya saja dipastikan akan susah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun