[caption id="attachment_188991" align="aligncenter" width="300" caption="Korban Lapindo "][/caption]
Cerpen karya Ahmad Tohari yang berjudul “Penipu Yang Keempat” (Kompas, 27 Jan 1991), menceritakan seseorang (sebagai si Aku) yang tertipu oleh tiga orang dalam sehari, dengan modus operandi yang berbeda-beda, dari penipuan seorang perempuan utusan sebuah yayasan pemeliharaan anak-anak yatim piatu komplit dengan surat-surat berstempel sebagai bukti jati dirinya, seorang lelaki yang menawarkan barang-barang buatan anak-anak penyandang cacat di kota Solo, hingga seorang lelaki dari Cikokol yang kehabisan uang dan harus segera pulang karena anaknya sedang sakit.
Semua permintaan itu dipenuhi oleh si Aku tanpa banyak pertanyaan, tidak perduli benar tidaknya cerita si perempuan, palsu tidaknya surat-surat yang dibawa, ada tidaknya anak-anak penyandang cacat di Solo, adakah desa yang bernama Cikokol, apakah benar anak lelaki dari Cikokol sedang sakit dsb.
Merasa perlu untuk mendapatkan petualangan terhadap salah satu penipu itu, si Aku berganti pakaian dan menuju ke pasar. Benar juga dugaannya bahwa lelaki dari Cikokol itu tidak akan pergi ke terminal untuk segera pulang menengok anaknya yang sedang sakit. Terlihat lelaki itu berkeliaran di sekitar pasar berusaha untuk mencari mangsa lainnya, tetapi kebanyakan mangsanya menghindar, hingga akhirnya lelaki itu mendekatinya.
“Pak, maaf mengganggu, saya baru saja kena musibah, uang saya dicopet orang, padahal saya harus membeli obat untuk istri saya yang baru mel…”, mendadak lelaki itu menghentikan kata-katanya, rupanya ia mengenali calon mangsanya, lelaki itu pun tersipu-sipu dan salah tingkah.
Selanjutnya terjadi dialog sebagai berikut:
“Maaf Pak, saya telah menipu Bapak dan mencoba akan mengulanginya” katanya agak gemetar.
“Tenang, tenanglah orang Cikokol, sejak semula aku sadar dan mengerti sampeyan menipuku”.
“Bapak minta uang Bapak kembali?”
“Hus! Yang kuminta adalah kelanjutan cerita tentang uang yang dicopet orang dan tentang istri sampeyan yang baru melahirkan”
“Ah Bapak bisa saja. Bapak tentu tahu itu cerita akal-akalan?”
Demikian si Aku mendapatkan petualangannya dan menikmati “seni” penipuan itu, serta di akhir cerita ditutup dengan kalimat “Namun apa jadinya bila orang Cikokol itu tahu, bahwa ada penipu lain yang jauh lebih pandai, yakni dia yang hari ini memberi uang empat belas ribu rupiah kepada tiga penipu teri. Dengan empat belas ribu itu dia berharap Tuhan bisa tertipu lalu memberkahi uangnya, tak perduli dengan cara apa uang itu didapat. Dan aku yakin hanya seorang penipu sejati bisa sangat menyadari akan kepenipuannya”.
***
Boleh jadi kita sering mengalami mirip-mirip kejadian di atas.Kita tidak punya cukup waktu untuk membuktikannya. Bermula dari prasangka baik, kita memberi tanpa banyak pertanyaan, selanjutnya kita tahu kalau sedang ditipu, tetapi rasa kasihan mengalahkan keengganan kita untuk memberi, apalagi kalau berhadapan dengan teman, tetangga, famili atau saudara dekat.
Rasa sakit hati bisa kita kesampingkan dengan menghibur diri (reframing) bahwa dia berbuat begitu mungkin karena terpaksa didesak kebutuhan, atau tidak ada cara lain yang mampu dilakukan, atau mungkin hanya kita sebagai tumpuan harapan satu-satunya, atau biarlah dia menipu, kita anggap pemberian kita sebagai sedekah dan belum menjadi rejeki kita.
Kita menduga ia sangat puas dan bangga bisa menipu kita. Namun kepuasan dan kebanggaannya itu tidak cukup berarti untuk menurunkan martabat kita. Kita tidak merasa terhina karena sejak semula memang tidak merasa ditipu, kita hanya “berpura-pura” tertipu.
Penipuan tidak hanya dilakukan oleh kelas teri saja, tetapi tak ketinggalan kelas kakap juga. Lihatlah penipuan massal yang dilakukan oleh “yang terhormat” para direktur bank-bank besar dan bonafid. Mereka menjanjikan hadiah yang begitu besar dalam rangka menjaring nasabah, namun prakteknya kurang fair, sudah menjadi rahasia umum bila hadiah itu diberikan kepada nasabah-nasabah “istimewa”nya saja.
Teman kerja saya pernah bercerita bertemu di Bandara Soekarno-Hatta dengan teman kuliahnya yang sudah menjadi direktur sebuah bank bonafid. Direktur bank itu minta nomor rekeningnya. Tak berapa lama teman saya mendapat hadiah satu juta rupiah, nilai yang besar pada lima belas tahun yang lalu.
Penipuan lainnya juga dilakukan oleh beberapa produsen berbagai barang atau jasa melalui iklan-iklan di media massa. Barang atau jasa yang dipromosikan tidak sepadan dengan kualitas sebenarnya.
Kita kasihan kepada penipu baik kelas teri maupun kakap, karena sudah jelas si penipu itu akan mendapatkan balasanNya. Tetapi bagaimana dengan kita, yang membiarkan penipuan itu dan menyadari sedang terjadi proses penipuan?
Kita memang sulit menghindarkan diri karena kita berhadapan dengan kenyataan yang sifatnya “memaksa”. Meskipun tahu penipuan itu, kita kurang mampu untuk membuktikannya apalagi memberantasnya. Selama kerugian yang kita rasakan masih ringan, kita bisa mentolerirnya, tetapi kalau sudah sangat memberatkan, tentu jalur hukum yang perlu kita tempuh.
Banyak perusahaan besar yang proses operasionalnya penuh penipuan, yang menjual produk tidak menyehatkan, yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat, namun dengan bangganya memamerkan aktifitas CSR (corporate social responsibility)nya yang (terlihat) mulia dan penuh upacara ritual, berharap Tuhan meridhoi dan memberkati usahanya agar cepat berkembang. Saya kok jadi teringat dengan penipu sejati yang disinyalir dalam cerpen di atas. Dan saya juga yakin hanya perusahaan penipu sejati bisa sangat menyadari akan kepenipuannya. (Depok, 18 Mei 2012)
-----------------
Sumber Ilustrasi: http://image2.tempointeraktif.com/?id=110341&width=475
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI