Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini telah menerbitkan 29 judul buku, 17 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Yang terbaru adalah novel Elang Menoreh: Perjalanan Purwa Kala (terbit 1 November 2018) terbitan Metamind, imprint fiksi dewasa PT Tiga Serangkai.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Menggagas Prinsip-prinsip Kerja "Ghostwriter"

16 Oktober 2019   19:32 Diperbarui: 16 Oktober 2019   21:09 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ghostwriter (Foto: Content Hub)

Hal paling menarik dari pekerjaan sebagai penulis bayangan alias ghostwriter adalah pada sifat kekelamannya. Ini profesi yang penuh kerahasiaan, semacam agen rahasia, atau mata-mata pada saat perang. Ketidaktahuan publik menjadi kunci, berkebalikan dengan watak natural dunia kepenulisan di mana semua harus gamblang dalam hal kredit dan apresiasi.

Kekelaman itu membuat dunia para ghostwriter serba tak jelas. Tak ada aturan atau prinsip baku di dalamnya, sebagaimana tak ada pula kode etik para vigilante (tokoh yang suka main hakim sendiri, seperti dalam kisah-kisah superhero) atau pembunuh bayaran. Kan tak ada juga semacam Asosiasi Penulis Hantu Indonesia atau Indonesian Ghostwriter Association yang berupa badan resmi. Palingan hanya ada komunitas-komunitas yang bersifat underground, mirip dunia para hacktivist.

Ketiadaan aturan dan prinsip yang kemudian disepakati berkat pemahaman penuh para klien membuat tiap deal penulisan hantu rentan memunculkan masalah. Saat menyepakati kerja sama, konflik dan ketidaksepahaman besar kemungkinan tetap muncul pada ujung periode kerja sama, yaitu sesudah tulisan yang direkues berhasil dirampungkan sang penulis. Konsep kerja sama mungkin beres berkat perjanjian hitam di atas putih, namun materi pokoknya (yaitu tulisannya) belum tentu.

Ini terjadi karena ketiadaan pokok-pokok prinsip ghostwriter itu tadi. Akibatnya, kedua belah pihak memiliki dasar berpikir dan ekspektasi hasil yang berbeda mengenai bentuk produk saat sepakat menjalin kerja sama. Karena itu perlu disusun semacam kode etik tak resmi untuk membantu para pihak menyamakan frekuensi demi meminimalisir potensi konflik.

Dari pengalaman sekian tahun menjadi penulis bayangan selama ini, hal paling mendasar yang perlu saya tekankan adalah bahwa kerja-kerja ghostwriter biasanya berkait dengan situasi kedaruratan dan periode waktu yang teramat sempit. Artinya, para klien sebenarnya bisa menulis. Mereka hanya tak punya waktu untuk mengerjakannya, apalagi sesuatu yang sebesar buku. Mereka mau tapi tidak mampu.

Dan kerap kali, mereka meminta bantuan penulis bayangan karena waktu yang tersedia untuk menggarap satu proyek (buku) sangat sempit. Biasanya karena terbatasi oleh tenggat yang mepet, yang tak terkejar gara-gara kesibukan pekerjaan, baik yang masih berada di ranah kepenulisan juga maupun pekerjaan di bidang lain (terutama yang lebih diutamakan).

Hanya sebagian kecil saja klien yang berjenis tidak mampu tapi mau, yaitu yang memang tak bisa menulis tapi ingin tampil ke permukaan melalui medium karya tulisan. Contoh genre ini adalah para pejabat publik atau anggota parlemen, yang memang harus sesering mungkin menuang gagasan secara tertulis lewat media massa. 

Guru dan dosen juga, tapi karakter pekerjaan mereka membuat mereka jauh lebih mudah masuk ke dunia kepenulisan secara teknis, hingga akhirnya bisa menulis dari yang awalnya sama sekali tak bisa, dibanding profesi-profesi lain.

Latar belakang ini membuat tulisan yang lahir dari proses ghostwriting pada dasarnya adalah sebuah pekerjaan darurat, yang ditempuh karena memang tak ada pilihan lain. Coba ada, pasti opsi ghostwriting tidak diambil---mirip perceraian, atau amputasi organ tubuh. Dan karena berwatak darurat, maka tulisan ghostwriting jelas tak akan pernah berada pada tataran ideal.

Saat masuk menyepakati kerja sama, kedua belah pihak harus memahami prinsip ini. Sebagaimana pasien dan petugas paramedik di mobil ambulans yang harus berkejaran dengan waktu, yang terpenting ambulans tiba tepat waktu di UGD rumah sakit. tak perlu dipertanyakan kemulusan cat bodi mobil ambulans, velg-nya racing apa tidak, berapa kapasitas silindernya, kapan terakhir masuk bengkel servis, STNK-nya sudah diperpanjang apa belum, dan lain-lain.

Ketidaktahuan mengenai prinsip ini mayoritas datang dari pihak klien, terlebih yang masih sama sekali awam atau bahkan buta mengenai detail pernak-pernik dunia kepenulisan profesional. Sesudah naskah jadi, klien merasa kecewa karena produk hasil kerja sang penulis hantu tak sesuai ekspektasi pribadinya. 

Tulisan dirasa "enggak gue banget", "kurang menggigit", atau "kok cuman kayak gitu?". Tak hanya naskah harus direvisi, terkadang bahkan perjanjian kerja sama batal, dan uang muka yang sudah telanjur dibayarkan diminta kembali!

Harus diingat lagi bahwa penulisan dengan ghost adalah opsi paling akhir dengan paradigma yang serba tidak ideal. Memandangnya dari angle sastra dengan ukuran-ukuran yang serba paripurna adalah seperti, itu tadi, dikejar waktu karena nyawa harus diselamatkan namun malah menggugat ban mobil ambulans atau jadwal servisnya.

Tentu ini tak menjadi kesalahan klien, andai pihak penulis memberikan penjelasan gamblang sejak awal. Dan sebagian besar penulis hantu tak memberikan ini sebagai akibat ketiadaan prinsip-prinsip dasar ke-ghostwriting-an tadi. Sebelum memulai proyek kerja sama, klien harus mendapatkan informasi menyeluruh bahwa hasil akhirnya pasti jauh dari kata ideal. 

Andai klien menginginkan standar karya yang ideal, tak ada jalan lain kecuali dia sendirilah yang menulisnya---at least ideal menurut opini subjektifnya sendiri, yang bisa berbeda jauh dari ukuran orang lain terlebih para pakar dan pengamat.

Hal mendasar lain yang harus dipahami dalam kerja sama penulisan hantu adalah bahwa keseluruhan naskah adalah milik pihak klien. Ini membawa kita pada beberapa konsekuensi penting. 

Satu, penulis tak bisa memaksakan ide-ide dan standar idealistiknya ke dalam tulisan bersangkutan. Dia harus 100% nurut pada kemauan klien, sekalipun itu bertentangan dengan kaidah-kaidah penulisan umum. Dan dua, oleh karenanya, penulis harus dibebaskan dari tahapan editing dan revisi.

Proses itu sepenuhnya menjadi domain klien, semata lebih karena efisiensi waktu saja. Karena merupakan pemilik naskah, maka hanya dia yang tahu versi final naskah bersangkutan harus dibuat seperti apa. Mengembalikan ke penulis untuk fase editing dan revisi berkemungkinan membuang waktu, karena jika versi editan penulis dirasa belum pas, maka naskah akan sekali lagi harus dirombak.

Dan prinsip dasar terakhir yang harus disepakati kedua belah pihak adalah sifat kerahasiaannya. Ini terutama menjadi beban penulis. Ego yang tinggi bisa saja tak sanggup menerima kenyataan andai karya yang ia tulis sebagai ghost malah justru jauh melampaui pencapaian karya pribadinya sendiri. Ini bisa berimplikasi macam-macam, yang hampir semuanya tak menyenangkan.

Maka seorang ghostwriter seharusnya adalah seseorang yang telah paripurna dengan dirinya sendiri, dan sanggup mengendalikan segala bentuk hawa nafsu. Lalu ia justru akan mengajak klien untuk memberi penekanan khusus pada proses legalformal kerahasiaan itu. Mungkin dengan satu set perjanjian terpisah yang berkekuatan hukum lebih kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun