Nafisah menghempaskan tubuhnya diatas tempat tidur, setelah dua orang centeng yang menjemputnya mengatarkannya kembali kepondoknya. Ditatapnya kedua orang putrinya yang tertidur pulas tanpa beban, tanpa penderitaan yang terlukis diwajah mereka.
      Ingin rasanya Nafisah untuk kembali kemasa lalu, kemasa ketika dia masih kanak kanak yang begitu indah, tanpa beban, tampa tahu akan penderitaan. Ingin rasanya Nafisah untuk mengikat matahari, agar siang tidak menjadi malam, ingin rasanya Nafisah berdamai dengan rembulan, agar malam tidak menjadi siang. Akan tetapi keiinginan nya itu adalah keiinginan yang semu. Segalanya telah berobah, hanya waktulah yang tidak pernah berobah. Setelah malam akan datang siang, dan setelah siang malam akan datang kembali. Begitulah waktu sepanjang abad.
Diatas pembaringannya, Nafisah kembali terbayang akan penderitaan hidup yang dijalaninya, dari pondok kepondok perkebunan, dari gundik sampai kepada hidup menikah, dan kini kembali menjadi budak nafsu dari bangsanya yang memiliki kekuasaan. Jalan hidupnya tiada mulus sepertri licinnya jalanan dikota yang beraspal.
Jalan hidup yang dilaluinya saat ini, bagaikan jalan tiada ujung, kendatipun jalan itu harus berbelok, kekiri dan kekanan, menanjak dan menurun, tapi jalan yang dilaluinya ini tidak semulus jalan jalan dikota, jalan yang dilaluinya adalah jalan diperkebunan, penuh dengan pasir dan tanah berlumpur ketika panas menghasilkan debu. Kini hidup Nafisah tidak hanya diliputi oleh debu, tapi melainkan dirinya sendiri  kini telah menjadi debu.(Bersambung...)
***
Cerita yang dikemas dalam bentuk novel ini adalah merupakan cerita fiksi belaka. Jika ada nama dan tempat, serta kejadian yang sama, atau mirip terulas dalam novel ini. Itu hanyalah secara kebetulan saja. (Mohon Izin Bapak Adin Umar Lubis, Fhoto anda di Blogspot.com saya jadikan sebagai Beugrond dalam novel ini)
 Asahan, September  2017