Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Orang-orang di Kebun Sawit (33)

4 September 2017   18:13 Diperbarui: 5 September 2017   01:24 1375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fhoto Adin Umar Lubis

            " Tidak tuan, saya kuli yang tau diri tuan ".

            Dengan keterpaksaan, Nafisah membuka satu persatu kancing bajunya, mandor Sarmin juga melakukan hal yang sama. Senjata api miliknya diletakkannya diatas tumpukan pakaiannya diatas kursi, Nafisah melirik kearah senjata api itu. Ingin rasanya Nafisah mengambil senjata api milik mandor Sarmin, lalu menembakkannya kebatok kepala laki laki yang ada dihadapannya. Lagi lagi niatnya itu diurungkannya.

            Masa lalu yang pernah dijalaninya sebagai seorang pembunuh tetap menghantui dirinya. Jika diperkebunan ini dia juga menjadi seorang pembunuh, lalu ditangkap, lantas bagaimana dengan kehidupan dua orang putrinya?. Pikiran pikiran inilah yang membuat Nafisah mengurungkan niatnya untuk membunuh mandor Sarmin. Biarlah rasa perih ini kusimpan didalam hati. Mungkin masih ada hari esok yang dapat untuk kunikmati dengan sepenuh jiwa ragaku. Katanya membathin didalam hatinya.

            Diluar hujan turun rintik rintik menyisakan hawa yang dingin. Sedingin Nafsu Nafisah terhadap mandor Sarmin. Nafisah menjadikan tubuhnya sebagai bukit yang siap untuk didaki, namun pendakinya bukanlah seorang pendaki yang baik, yang memiliki teori teori tentang pendakian. Seorang pendaki yang baik dia juga harus memperhatikan dan menjaga keselamatan lingkungannya, bagai mana caranya agar dalam pendakiannya tidak sebatang ilalangpun yang rusak terinjak.

            Bagaikan dengus kerbau membajak sawah, suara itu keluar dari mulut sang mandor, sedikitpun Nafisah tidak membalas Nafsu birahi sang mandor yang menggebu gebu. Laksana lokomotif menarik gerbongnya yang panjang. Nafisah diam bagaikan sebatang pohon pisang, yang pasrah untuk dibolak balik oleh orang orang yang memilikinya.

            Meja yang ada didalam ruangan kamar itu sedikitpun tidak bergerak, walaupun dia menahan beban yang cukup berat, sementara diatasnya terjadi pergulatan bathin dan nafsu dari dua anak manusian yang lahir berbeda zaman. Kekohan meja itu karena dia terbuat dari kayu jati pilihan.


            Tidak seperti hati dan perasaan Nafisah yang begitu rapuh. Beban kehidupan yang ada dipundaknya begitu berat. Langkahnya goyah dan tertatih ketika berjalan memikul beban yang cukup berat itu. Ingin rasanya Nafisah untuk meninggalkan beban yang ada dipundaknya, atau memindahkannya kepada pundak yang lain. Tapi kepada siapa beban yang teramat berat ini dipindahkan. Apakah ada orang lain dengan suka rela untuk memanggul beban itu?.

            Tentu tidak Nafisah, kata suara hatinya sendiri. Dahulu memang ada Nafisah, sebelum negeri dimana kau dilahirkan, di Hindia Belanda sebutan bagi orang Eropa. Orang orang berjuang dengan suka rela, tanpa pamrih. Walaupun setiap perjuangan meminta pengorbanan. Mereka dengan suka rela untuk mengorbankan apa saja yang mereka mampu, walau nyawa sekalipun menjadi taruhannya, demi menuju satu kata merdeka.

            Petani berjuang dengan cangkulnya, kuli berjuang dengan tenaganya, bahkan  pelacur turut  berjuang dengan Nafsu birahinya, walaupun mereka tidak tahu dari arti kata merdeka. Hanya golongan priyayi dan amtenar lah yang tahu akan arti dari kata merdeka, para petani, kuli dan pelacur hanya tahu kata merdeka, tapi mereka tidak tahu makna dari kemerdekaan.

            Kini kemerdekaan itu telah datang, akan tetapi kemerdekaan itu bukan milik petani, bukan pula milik kuli, atau pelacur, tapi kemerdekaan itu adalah milik setiap orang yang memiliki kekuasaan, milik orang orang yang meniduri dirimu, bukan karena cinta dan kasih sayang, tapi karena nafsu yang terbungkus didalam kekuasaan. Bukan pula dari bangsa Eropa yang pernah menjajah negerimu, tapi dari bangsa bangsamu sendiri yang memiliki jiwa colonial.

            Mereka mereka inilah, yang sekarang menikmati dari kemerdekaan itu. Sementara kau sendiri Nafisah bersama dengan kaum kaum kuli yang senasib denganmu, masih jauh untuk menggapai kemerdekaan itu. Sebagai kuli kau nikmatilah kemerdekaan itu dengan keadaanmu yang sekarang, hidup dipondok, dengan makanan yang jauh dari empat sehat lima sempurna. Dan bersiap siaplah engkau Nafisah menjadi boneka pemuas nafsu dari bangsamu yang memiliki kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun