Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

"Runtuhnya Gedung Salju" Bagian 13

26 April 2013   22:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:32 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13669909681660040879

[caption id="attachment_257352" align="aligncenter" width="640" caption="Begrount/Indo crop cirles. wordpers.com"][/caption]

Dari Padang Sidempuan kami turun kebawah menuju Padang Lawas Utara. Kami tidak melintasi Sibolga, tapi melainkan melalui Gunung Tua. Di Gunung Tua kami melihat pemandangan yang cukup menyakitkan hati. Kota yang banyak berdirinya Pesantren, kini diimbangi dengan banyaknya berdiri café café dengan wanita malamnya. Nuansa relegius dan agamais telah dirusak oleh suasana malam yang penuh dengan hingar binger suara music dari cape cape yang berada dipinggir jalan.

“ Adat dan budaya masyarakat di Gunung Tua ini sudah rusak !”, kata salah seorang tuan Guru pemilik salah satu Pondok Pesanteren kepada kami, ketika kami menyinggahi pesanterennya.

“ Siapa yang telah merusak adat dan budaya di Gunung Tua ini Tuan Guru ?”, kataku bertanya. Seperti biasa setiap ada yang kami singgahi Yudha langsung memasang alat kameranya.

“ Siapa lagi kalau bukan para pendatang kedaerah ini !”, katanya menjelasknan.

“ Siapakah orang orang itu Pak?”, Tanya siregar menyambung pertanyaan yang kulontarkan tadi.

“ Siapa lagi kalau bukan bangsa yang bermata sipit yang menjadi pengusaha para penebang hutan diwilayah Gunung Tua ini !”, Tuan Guru yang bernama Abdul Muthalib ini menjelaskannya kepada kami.

Terdahulu :

“ Bagai mana dengan masyarakat Gunung Tua dalam menerima kehadiran Kape Kape ini, apakah masyarakat Gunung Tua yang tergenal dengan Relegiusnya ini menerima kehadiran kape kape ini Pak Tuan Guru ?”, kataku lagi kepada Pak Abdul Muthalib pengasuh Pondok Pesantren ini.

“ Para orang orang tua dan pemuka agama didaerah ini tentu merasa keberatan dengan munculnya tempat tempat maksiat ini. Tetapi para pemudanya nampaknya tidak ambil pusing dengan munculnya tempat tempat maksiat ini, malah penghuninya kebanyak anak anak muda daerah Gunung Tua ini. Inilah yang celakanya ?”. Bapak Tuan Guru itu berkata dengan suara yang agak meninggi, raut wajahnya tampak memerah sepertinya menyimpan amarah.

“ Apakah pihak Pemerintah dan pihak keamanan di daerah Gunung Tua ini tidak menutup tempat tempat maksiat ini ?”. kataku kepada Bapak Tuan Guru itu, dari sebelah ruangan terdengar sayup sayup para santri sedang melantunkan ayat ayat suci Al-Qur’an

“ Kami dari pimpinan pondok Pesantren di Gunung Tua ini sudah pernah mendatangi pihak Camat dan kepolisian, meminta agar tempat tempat maksiat ini ditutup, namun sampai saat ini apa yang kami sampaikan itu tidak pernah digubris mereka, bahkan tempat tempat maksiat ini malah tumbuh dengan suburnya?”, jawab Tuan Guru itu. Seakan ia bagaikan tak tahan untuk menekan rasa emosinya.

“ Apakah para pemimpin Pondok Pesantren yang ada di Gunung Tua ini tidak berkeinginan untuk melakukan tindakan kekerasan kepada tempat tempat maksiat ini, seperti melakukan demontrasi, atau misalnya merusak dan membakar tempat tempat maklsiat ini ?”,sembari memohon maaf kepada Pak Tuan Guru jika kami dibenarkan untuk merokok.

“ Boleh kami merokok ?”, kataku minta izin.

“ Silakan ? “ katanya datar, warna merah diwajahnya masih kelihatan.

“ Seharusnya seperti itu ? “, kata Tuan Guru itu.

“ lalu kenapa tidak Tuan Guru lakukan ? tanyaku lagi.

“ Alllah SWT berfirman ?”, katanya, lalu mengutip salah satu ayat Al-Qur’an. Matanya memandang kami seluruh, asap rokok yang mengepul memenuhi ruangan tempat Bapak Tuan Guru itu duduk.

“ Jika kamu lihat ada kemaksiatan dan kemungkaran disekeliling kamu maka cegahlah ia, dengan kekerasan. Jika kamu tidak mampu untuk mencegahnya dengan kekerasan, maka ingatkan ia dengan lisanmu. Jika itupun kamu tidak mampu, maka diamlah kamu dan lihat saja. Ini adalah selemah selamah iman !”,

“ Lantas kenapa tidak Tuan Guru lakukan?”, tanyaku kepadanya mengulang perkataanku tadi.

“ Dengan cara kekerasan itu tidak mungkin ?”, katanya, nada suaranya agak merendah.

“ kenapa Tuan Guru?, bukankah pengurus Pondok Pesantren punya kekuatan, punya masa yang terdiri dari santri yang ada di Pesantren ini, yang setiap saat siap untuk diperintah ?”, kataku kepadanya. Matanya memandang tajam ke arahku.

“ Kami para pengurus Pondok Pesantren tidak akan pernah untuk mengorbankan para santrinya. Mereka datang ke Pondok Pesantren ini adalah semata mata untuk belajar. Bukan untuk bertindak anarkis ?”, jawabnya menyela pertanyaanku.

“ lalau dengan apa kemaksiatan dan kemungkaran yang tumbuh dan berkembang didaerah Gunung Tua ini untuk dibasmi?”. Kata Siregar yang sejak tadi hanya diam untuk mendengarkan perdebatan ku dengan Tuan Guru Abdul Muathalib.

“ Kami pernah melakukan pembakaran dan pengrusakan terhadap kafe kafe itu. Tapi hasilnya harus kami bayar mahal. Pondok pesantren kami diserbu oleh oknum oknum yang menggunakan seragam datang dengan wajah yang cukup garang dengan menenteng senjata berlaras panjang. Para santri kami dipukuli, Pimpinan Pondok Pesantrennya ditangkapi dan dibawa kemarkas oknum oknum berseragam untuk diintrograsi, dibentak dan dituduh sebagai pelaku makar yang ingin menegakkan Negara Islam. !”, Tubuh Tuan guru bagaikan menggigil, wajahnya tampak memerah saga. Matanya tajam memandang lurus keluar ruangan melalui pintu jendela ruangan itu.

Angin pegunungan yang datangnya dari luar ruangan berhembus menerpa wajah dan tubuh kami yang ada didalam ruangan. Apa yang dikatakan oleh Tuan Guru ini benar. Kejadian kejadian seperti yang dialami oleh Tuan Guru dan rekan rekannya pengasuh Pondok Pesantren sering terjadai. Para santri dan para pengsuh Pondok Pesantren yang berkeiinginan untuk membasmi kemaksiatan dan kemungkaran yang ada disekelilingnya. Memang harus mereka bayar mahal. Pondok Pesantren yang melakukan pembasmian terhadap praktek praktek maksiat dan kemungkaran, mereka dicap sebagai kaum ekstrim. Kegiatan belajar mengajar yang ada di Pesantren itu diawasi. Para pengasuh Pondok Pesantren itu dikenakan wajib lapor.

“ Setelah kejadian itu, baru kami sadari bahwa tidak ada lagi gunanya untuk menegakkan kebenaran dan meruntuhkan kebatilan dinegara ini. Betapa kuatnya para cukong cukong perambah hutan dari bangsa kulit putih dan bermata sipit itu. Mereka mampu untuk membayar para penegak hukum dinegara ini.?” Kata Tuan Guru dengan suaranya yang sedikit memelas.

“ Siapa para cukong ckong perambah hutan didaerah Gunung Tua ini Tuan Guru?”, kataku bertanya kepadanya. Ia tampak terdiam sejenak dan tidak langsung memberikan jawaban atas pertanyaanku tadi.

“ Orang orang keturunan bangsa Cina yang katanya datang dari daerah Tanjungbalai !”, jawab Tuan Guru itu. Apa yang dikatakan oleh Tuan Guru itu tidak membuat kami merasa kaget. Karena sebelum Tuan Guru mengatakan kami sudah menduga kalau jaringan Tan Abun dan Liem Awi gembong penyeludup kota Tanjungbalai itu sudah merambah sampai kepelosok pelosok desa yang ada di Sumatera utara. Bahkan sampai ke Aceh, Riau dan Jambi serta Padang Sumatera barat.

“ Apakah kalaian kenal dengan orang orang itu?”, Tanya Tuan Guru itu.

“ kenal, malah lebih kenal. Kami tahu siapa Tan Abun dan Liem Awi. Mereka bukan saja melakukan kegiatan penyeludupan di kota Tanjungbalai, tapi melainkan mereka juga melakukan perambahan hutan mulai dari Aceh sampai ke daerah Riau, Jambi dan Padang?”. Aku menjelaskan panjang lebar tentang kegiatan Tan Abun dan Liem Awi kepadaTuan Guru yang membuat Tuan Guru yang usianya sudah sepuh itu terlihat manggut manggut.

“ Belajar dari kejadian kejadian itu, maka kami hanya dapat berdoa saja, semoga Allah SWT membukakan mata dan hati para pemimpin negera ini. Dengan terbukanya mata dan hati para pemimpin itu, maka mereka dapat melihat kemaksiatan dan kemungkaran yang ada disekeliling mereka “. Kata Tuan Guru lalu bangkit dari tempat duduknya dan memandang para santri santrinya yang berada dihalaman Pesantren dari balik jeruji jendela ruangan itu.

Sebelum pamit, kami menyempatkan diri untuk melihat lihat kegiatan belajar dan mengajar di Pondok Pesantren itu. Sebuah Pondok pesantren berada dikaki Bukit barisan yang jauh dari keramaian kota. Bangunanya yang terbuat dari papan dan gedek, serta peralatan moubiler yang sudah lapuk namun tidak menyurutkan para ustadz ustadzah muda untuk mengajar di pesantren itu. Demikian juga dengan para santri dan satriawatinya juga tidak terlihat jenuh dalam mengikuti proses belajar mengajar di Pesantren itu, kendatipun sarana dan prasarana di Pesantren yang telah banyak melahirkanulama ulama besar di Negara ini begitu sangat minimnya.

Suatu pemandangan yang sangat kontradiksi, jika dibandingkan dengan gedung gedung sekolah yang ada di perkotaan. Jangankan untuk gedung kampus perguruan tinggi dikota kota besar, untuk pendidikan pada jenjang pendidikan dasar yakni Sekolah dasar saja gedungnya beg Itu mewah disamping dilengkapi dengan sarana dan prasarana untuk proses belajar mengajar yang lebih dari cukup. Belum lagi pada tingkat Pendidikan Sekolah Lanjutan Pertama dan Sekolah Lanjutan Atas, bangunan gedungnya begitu mewah. Ditambah lagi dengan adanya bantuan batuan yang diberikan oleh pemerintah kepada mereka.

Sementara Pondok Pesantren yang ada di Gunung Tua ini masih terlihat sangat terkebelakang. Bangunan gedungnya hanya terbuat dari kayu dan gedek. Jika melihat asrama para santrinya, hati kita sangat terenyuh. Pondok pondok yang terbuat dari bamboo dengan dinding gedek dan atap yang terbuat dari daun rumbia dengan luas dua meter kali dua meter untuk dihuni dua orang, tanpa adanya listrik sebagai alat penerang. Pesantren tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah, makanya wajar saja jika banyak Pondok Pesantren dinegara ini yang bersikap ekstrim.

Keluar dari Pondok Pesantren mobil yang distir oleh Munazir, terasa berjalan bagaikan keong. Bagaikan merangkak, membelok menurun dan menaik. Kami yang berada didalam mobil oleng kekiri kekanan perish seperti sedang dalam perahu, yang dihempas ombak. Jalan yang menuju ke Pesantren itu belum mendapat pengerasan dari pihak Pemerintah Padang Lawas Utara. Jalanya yang terbuat dari tanah merah dan bebatuan padas yang diserak ala kadarnya. Jika musim hujan jalan ini sulit untuk dilalui. Ada sekitar lima kilo meter jauhnya barulah dapat jalan beraspal hotmix.

Dijalan yang beraspal hotmix, Munazir tidak memacu laju mobil, karena sudah kami rencanakan sebelumnya bahwa kami akan singgah di salah satu kafe yang ada di jalan lintas Gunung Tua Sosa. Disepanjang jalan kami lihat masih banyak kafe yang kami lalui belum melaksanakan aktifitasnya. Jam baru menunjukkan pukul dua belas siang.

“ Sebelum kita singgah ke kafe ada baiknya kita Sholat Dzuhur dahulu ?”, kataku menyampaikan saran.

“ Ya…Sebaiknya begitu?”, kata Siregar

“ carilah Mesjid atau Mushollah yang bisa tempat kita isterahat sejenak, sambil menunggu masuknya Sholat Dzuhur?”, ujarku menyarankan. Siregar, Yudha dan Munazir menerima saranku.

“ Di Mesjid ini aja kita berhenti ?”, kata Munazir setelah ia melihat ada Mesjid yang pintu pintunya sudah dibuka nazirnya. Munazir memarkirkan mobil disebelah sudut dihalaman masjid itu tepatnya dibawah pohon manga yang besar yang masih berbunga. Dari menara Mesjid itu terdengar suara orang yang melantunkan bacaan ayat ayat suci Al-Qur’an, suaranya begitu lembut dan merdu menusuk kalbu.

Bersambung…..

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun