Mohon tunggu...
Muhammad Wira Pratama
Muhammad Wira Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang Mahasiswa yang tengah bekecimpung di program studi HI

-

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mencari Aman di Tengah Eksistensi Senjata Nuklir

30 November 2021   17:23 Diperbarui: 30 November 2021   17:46 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Refleksi Seorang Manusia pt. 1

Sebagai seorang manusia, setiap pribadi memiliki akal sehat untuk mempertahankan dirinya dari marabahaya, marabahaya sendiri bisa datang dari alam yang ditinggalinya, bahkan dari sesama manusia. Alamiah sekali apabila kita berbicara tendensi ini muncul secara turun-menurun dari pendahulu kita ribuan tahun sebelumnya. 

Kita dipaksa untuk merasa tidak aman karena memang aturan alam memaksa kita untuk bertahan hidup. Melihat situasi ini, manusia memiliki pilihan, hidup atau mati. 

Oleh karena itu, bagi mereka yang ingin tetap hidup, akal yang dimiliki mereka pun dipakai sebagai alat, alat inilah yang kemudian melahirkan banyak inovasi sebagai media untuk bertahan hidup di tengah ketidakpastian dan ketidakamanan. 

Kerap kali pula, privilese akal pikiran tak hanya diberikan kepada manusia, tetapi ribuan lainnya. Anarkisme akal pikiran manusia inilah yang kemudian melahirkan tendensi untuk tetap bertahan hidup. Bagi mereka, terkadang untuk mempertahankan hidup, hidup lain pun menjadi bayarannya. Namun, dunia tidaklah sesederhana 2 sisi koin, hitam & putih, maupun jahat & baik, tetapi lebih kompleks daripada itu.  

Dunia modern yang tengah kita tinggali sekarang merupakan kulminasi dari banyak tragedi, keajaiban, dan buah pikir dari para pendahulu. Layaknya seorang manusia, kebutuhan merupakan sebuah hal yang mutlak, baik itu dengan niat baik maupun sebaliknya, tetapi perlu kita sepakati bahwasanya semua itu merupakan tendensi serta urgensi untuk bertahan hidup. Sifat yang diturunkan oleh nenek moyang tersebut merupakan katalis yang kemudian digunakan sebagai alat transaksi. 

Sistem transaksi ini dapat digambarkan dengan "Inovasi dibutuhkan untuk membayar rasa ketidakpastian, nihilnya rasa aman, serta insekuritas. Lantas, mengapa refleksi tersebut masuk ke dalam benak penulis? 

Penulis percaya bahwasanya setiap hal memiliki akar yang sama, yang membedakan hanyalah kompleksitas subproduk dari hal tersebut yang membuatnya rumit, sehingga memunculkan banyak kebingungan serta miskonsepsi. Kemajuan persenjataan merupakan lahiran dari sebuah inovasi untuk memenuhi kebutuhan keamanan untuk bertahan hidup. 

Gagasan bahwa tiap negara anarki dan memiliki hak untuk bertahan hidup sudah cukup dijelaskan secara konkrit dalam realisme.

Kontekstualisasi Nuklir dan Dampak Perang Dingin

Kontekstualisasi nuklir dalam esai ini pun tak luput dari asumsi di atas, terlebih lagi di dunia modern. Kerap kali senjata nuklir dijadikan sebagai titik temu untuk memenuhi bagaimana sebuah negara ingin dipandang, citra mereka di mata dunia, dan status quo dalam dunia internasional. 

Tendensi untuk menyempurnakan alat penyelamat diri dapat memunculkan konflik dengan asumsi sederhana, "Mereka yang dapat menimbulkan rasa bahaya, akan dapat melakukannya pula". 

Penyelamatan diri paling sederhana ialah memakai akal sehat untuk terus melakukan inovasi dalam persenjataan. 

Naluri senjata nuklir adalah stabilitas dan kompetisi kekuatan antaraktor. Kemunculan senjata ini dengan kata lain, secara alamiah digunakan oleh para agresor, sebagaimana Profesor Oppenheimer sendiri telah mengatakan bahwa senjata nuklir merupakan sebuah senjata yang diikuti oleh banyak aspek, tetapi hal yang mutlak adalah senjata tersebut merupakan pemusnah masal, digerakkan secara rahasia, dan menyerang secara tiba-tiba. 

Dengan kata lain, senjata nuklir merupakan sebuah simbol pencegahan dan deterensi bilamana agresi langsung terjadi. Ketika objek yang tak dapat bergerak dan kekuatan yang tak dapat dihentikan bertubrukan, di situlah banyak perang besar konon menjadi tak terhindarkan, sebagaimana hasil dari pihak-pihak yang beragresi. 

Bom sendiri dapat menjadi "kartu AS" yang dipakai apabila semua hal sudah hilang sebagai tindakan cadangan. Deterensi dalam kata lain dapat menjadi momok mengerikan, ataupun menjadi asepek pendukung untuk membuat kerusakan minimal sebagai pencegah kerusakan berlanjut yang lebih besar.

Gagasan perang dingin telah merevolusionerkan perang secara menyeluruh. Perang dingin memiliki peran untuk tetap menjaga dan mencegah meledaknya perang yang lebih destruktif lagi. Perlombaan teknologi yang banyak dilakukan negara-negara cukup menurunkan titik "panas" sebuah peperangan. 

Alhasil banyak perang yang dilakukan secara laten, bukanlah manifes. Akan tetapi, pergerakan Amerika Serikat dan Uni Soviet secara tersembunyi menghasilkan fenomena kelam yang dapat mengundang kerugian secara global--penekanan di sini ialah tak hanya rugi secara ekonomi bahkan kematian global karena banyaknya kecurigaan yang terjadi baik dari aktor utama di atas, maupun para proxy yang telah mengikuti kekuatan bipolar kala itu. 

Banyaknya tindakan deterensi pada masa tersebut cukup membuat dunia secara global memasuki level ketar-ketir yang berlebihan, baik secara human error, kecurigaan berlebihan, tindakan pencegahan berlebihan, dan misinstruksi sekalipun.

The Endgame

Alhasil, masih banyak yang tidak tahu bagaimana senjata-senjata ini akan dipakai di masa depan, masih banyak yang tidak tahu pula kapan senjata tersebut dipakai pada tepat waktu pula. 

Dengan konsiderasi yang memang ketat dalam penggunaanya, bisa jadi senjata pemusnah ini akan menjadi titik stalemate untuk menghentikan sebuah perang sebagaimana yang terjadi di antara Amerika Serikat dan Jepang pada Perang Dunia ke-2. Akan tetapi, muncul pertanyaan, apabila pada masa itu hanya Amerika yang memiliki means untuk menggunakannya dan memproklamasikan dirinya sebagai adidaya. 

Lantas, untuk masa kini, bagaimana kasus stalemate tadi dapat terealisasikan? Kita perlu sadar bahwa kepemilikan senjata nuklir, khususnya rudal nuklir merupakan sebuah hak istimewa 'privilege' yang dapat dipamerkan baik dari segi memberitahu negara pesaing, ataupun menaikkan semangat warga negara secara moralis. 

Primitifnya penggunaan nuklir secara menyeluruh mungkin tak dapat dipisahkan dari naluri manusia tadi, konon melihat sebagian negara menggunakan nuklir sebagai sumber energi adalah tindakan futuris, di sisi lain dengan penggunaan nuklir sebagai senjata juga merupakan tindakan pencegahan, bahkan tindakan swadefensif bagi negara yang memberlakukannya. 

Benar adanya apabila negara saling berlomba untuk meningkatkan arsenal dan kumpulan persenjataanya demi pertahanan diri. Tak selamanya negara melakukan perang untuk mendapatkan sumber daya dari negara lain, kadang pula banyak negara yang melakukan sebuah perang bukan karena perang tersebut bisa dilihat, tetapi sebaliknya. 

Tindakan pencegahan ini tentu memiliki fine line di antara asumsi seperti "apakah sang pemimpin benar dalam tindakannya atau hanya sebatas delusional karena rasa takut yang dimilikinya". 

Biarpun begitu, tidak ada yang tahu bagaimana semua hal ini akan berakhir. Apabila jalan menuju neraka diniatkan dengan hal-hal mulia, mungkin mencari rasa aman dengan stalemate nuklir merupakan salah satunya.  

Refleksi Seorang Manusia pt. 2

Melihat banyak negara berlomba-lomba untuk mencari rasa terpenuhi, tentram, dan aman tidak akan ada habisnya. Apabila hal tersebut dijadikan dasar untuk memenuhi rasa tersebut, apakah akhir permainan akan dipenuhi dengan rasa kehampaan di akhir cerita? 

Tentu tidak ada yang tahu. Yang pastinya, kita sebagai manusia hanya ingin hidup tentram, tanpa adanya gangguan dan konflik yang menunggu di sisi kamar. 

Sayangnya, apabila tidak ada aspek yang menumbuhkan konflik di tiap manusia, bagaimana seorang manusia dapat tumbuh dan berinovasi. Sebuah kutipan yang cukup kelam dan nihilis tetapi masih menumbuhkan harapan mungkin dapat disimpulkan dengan, "Apa yang tidak membunuhmu akan membuatmu lebih kuat". 

Kutipan tersebut cukup membuat tiap manusia untuk memiliki inisiatif atau driving force untuk tetap maju melalui tiap adversitas dan tantangan dalam hidupnya. 

Menanam sebuah harapan bahwa di akhir terowongan akan selalu ada cahaya yang menuntun mungkin terkesan seperti gagasan ide nihilist optimistic, melalui yang kelam dengan harapan bahwa ada hal baik di akhir cerita. 

Tentunya, di tiap fase ataupun langkah yang kita lakukan akan ada selalu masalah yang menunggu, sebagaimana tiap tantangan akan memaksa kita memperjuangkan jalan untuk keluar dari masalah atau tantangan tersebut. 

Mengutip dari buku Homo Deus, ada sebuah paradoks di mana sebuah pengetahuan yang tidak mengubah perilaku itu tidak berguna, tetapi  apabila pengetahuan tersebut merubah perilaku--perilaku tersebut akan nihil relevansi. 

Penulis percaya di kalimat terakhir tersebut manusia akan terus mengumpulkan informasi--dalam hal ini perjuangan tadi  akan melahirkan ragam hikmah dan di akhir cerita pasti ada konsekuensi dan akan mengubah kita baik secara sifat maupun perawakan.

Instrumen Perang = Instrumen Perdamaian?

Bicara tentang konsekuensi, tentu setiap hal memiliki konsekuensi, bahkan niat baik yang disampaikan secara naif dapat memunculkan konsekuensi buruk. 

Mungkinkah inovasi senjata nuklir yang tadinya dianggap sebagai penyeimbang perang kala sekutu ingin mengalahkan kekuatan poros di Perang Dunia ke-2 merupakan kesalahan mutlak manusia? 

Apakah ketakutan manusia akan memunculkan banyak kerugian di masa mendatang? Self-proclaim yang dilakukan Oppenheimer ketika Ia mengatakan jika dirinya adalah kematian, sang penghancur dunia merupakan penyesalan terbesar. 

Mengetahui bahwa gagasannya akan tetap hidup bahkan setelah meninggalkan dunia merupakan dosa yang tak dapat dihindari. 

Sebagaimana dalam tiap peperangan, ketika perang dilakukan sebelum perang terjadi, orang tidak bersalahlah yang merugi. Benar apabila negara memiliki obligasi moral untuk menyelamatkan warga negaranya. 

Akan tetapi, Jepang kala itu bahkan tidak bisa melakukan tindakan tersebut, let alone retaliasi dengan Amerika Serikat pun terlihat sangat mustahil. Alhasil, dengan itu Amerika Serikat maju sebagai sang adidaya dan masa Perang Dingin pun dimulai, di mana inovasi untuk lomba mempertahankan diri pun muncul satu persatu. 

Sejauh ini, sudah ada 9 negara yang memiliki senjata nuklir di negaranya masing-masing. Tak ada yang tahu bagaimana endgame-nya dilakukan. 

Akan tetapi, hal yang pasti adalah semenjak perang dunia ke-2 berakhir, belum ada tercatat perang dunia sebesar para pendahulunya. Instrumen perang tentu beragam, tetapi semenjak adanya eksistensi rudal nuklir tak pernah ada perang besar yang terjadi di dunia. 

Apabila ada, perang tersebut terhitung kecil dan tidak memakan banyak kerugian sebagaimana perang dunia dahulu terjadi. Alhasil, berasumsi bahwa senjata nuklir dapat menjadi kotak pandora sepenuhnya adalah hal yang wajar-wajar saja. 

Namun, perlu dipertimbangkan pula, senjata nuklir sejauh ini telah menjadi instrumen perdamaian walaupun hal tersebut telah membuat tiap manusia untuk tetap sibuk meningkatkan kekuatan persenjataannya di tengah perlombaan dunia. 

Menjadikan PBB sebagai agen perdamaian merupakan hal yang normatif bagi penulis untuk merealisasikan bahwa perdamaian masih ada dan patut untuk diindahkan. 

Akan tetapi, dunia yang kita tinggali sekarang bukanlah sebuah idealisme belaka bahwa dunia hanya hitam & putih, tetapi kompleksitas yang berakar dari banyak manusia yang berinovasi berdasar intuisi mereka masing. Instrumen perang dan instrumen perdamaian memiliki batas tipis 'fine line' dalam manifestasinya, tetapi kita perlu sadar bahwa batas tipis inilah yang membuat tidak pecahnya perang besar yang dapat meluluhlantakkan kerugian global. 

Alhasil, apabila asumsi paling primitif manusia ialah realisme maka penguatan perbatasan, persenjataan, dan hegemonitas adalah jalan yang tepat untuk mencapai perdamaian, sebagaimana ramalan realisme selama ini bahwa interdependensi kecurigaan merupakan jalan terbaik untuk mencapai perdamaian--the hard way. 

Eksistensi agen perdamaian yang lain seperti PBB tetap dapat berperan menjadi penjaga 'gatekeeper' agar ideal "perdamaian" tetap terbenak dalam relung hati tiap manusia bahwa perdamaian tetap layak untuk diindahkan.

Daftar Pustaka

Blair T 'Forward to the Defence White Paper by the Prime Minister' in CM:6994: The Defence White Paper 2006: The Future of the United Kingdom's Nuclear Deterrent (The Cabinet Office, London, 2006)

Chisem, J. (2011). Why are Nuclear Weapons So Appealing to Nation-States in the 21st Century?. Retrieved 30 November 2021, from www.e-ir.info

Freedman L The Evolution of Nuclear Strategy (Palgrave Macmillan, Basingstoke, 2003)

Harrari, Y. (2015). Homo Deus (1st ed., p. 32). Jerusalem: Harper Collins.

Mahnken, T., & Maiolo, J. (2014). Strategic Studies, A Reader (2nd ed., p. 209). Abingdon: Routledge. 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun