Media Sosial: Senjata Rakyat Melawan Narasi Pemerintah
Dulu, masyarakat hanya bisa mengeluh dalam diam. Namun kini, dengan media sosial sebagai alat perlawanan anti-mainstream, rakyat tidak lagi tak bersuara. Twitter, Instagram, TikTok, dan Facebook menjadi medan tempur baru, di mana kritik terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil menggema tanpa bisa dibungkam.
Tagar seperti #KaburAjaDulu, menjadi cerminan betapa besar ketidakpuasan masyarakat. Ini membuktikan bahwa komunikasi publik pemerintah telah gagal membangun kepercayaan, justru memperkuat jurang antara rakyat dan penguasa.
Saatnya Berhenti Meremehkan, Mulai Mendengar!
Paradoks komunikasi publik pemerintah harus segera diakhiri. Jika pemerintah benar-benar ingin membangun nasionalisme, maka hargailah rakyat, jangan meremehkan mereka. Jika ingin masyarakat tetap tinggal dan berkontribusi, maka ciptakanlah harapan, bukan memperdalam keputusasaan.
Media sosial telah menjadi senjata rakyat untuk melawan narasi pemerintah yang timpang. Jika penguasa terus menutup telinga dan menganggap suara rakyat sebagai angin lalu, maka perlawanan digital akan semakin kuat dan legitimasi pemerintah akan semakin melemah.
Saatnya Pemerintah Berpihak pada Suara Rakyat!
Belakangan ini, kebijakan pemerintah semakin menimbulkan keresahan di masyarakat. Banyak keputusan yang tidak hanya membingungkan, tetapi juga menyulitkan dan membebani rakyat. Alih-alih memberikan solusi, kebijakan yang diambil justru memperdalam ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.
Mengapa Kebijakan Pemerintah Kian Meresahkan?
Pertanyaan besar yang harus dijawab oleh pemerintah: Mengapa akhir-akhir ini kebijakan justru lebih banyak menyusahkan rakyat? Beberapa hal yang menjadi sorotan utama:
- Kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada elite, sementara rakyat kecil semakin terhimpit.
- Minimnya perlindungan bagi tenaga kerja lokal, sementara tenaga kerja asing semakin dimudahkan.
- Kenaikan harga kebutuhan pokok yang tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
- Kurangnya ruang bagi rakyat untuk bersuara, karena kritik sering kali direspons dengan sikap meremehkan.
Bukannya membangun kepercayaan, komunikasi publik pemerintah justru semakin memperburuk keadaan. Pernyataan pejabat yang meremehkan keresahan rakyat hanya memperbesar kemarahan publik. Bagaimana mungkin pejabat yang dipilih oleh rakyat justru bersikap arogan terhadap mereka?