Puncak dari ironi ini adalah ketika seorang menteri secara terang-terangan meremehkan nasionalisme diaspora dan salah satu wakil menteri mengatakan bahwa mereka sebaiknya "pergi saja dan tidak usah kembali." Pernyataan ini seakan mengabaikan fakta bahwa diaspora justru telah memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Lebih dari itu, komentar seperti ini mencerminkan paradoks komunikasi publik pemerintah. Di satu sisi, pemerintah mengajak masyarakat untuk mencintai negeri dan berkontribusi bagi bangsa, tetapi di sisi lain, mereka justru meremehkan warga negaranya sendiri yang telah berjuang keras di luar negeri.
Paradoks Kebijakan: Kesempatan Kerja untuk Asing, Warga Sendiri Terlantar
Yang lebih ironis lagi, pemerintah yang seharusnya menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya justru gagal melakukannya. Banyak warga Indonesia terpaksa mencari nafkah di luar negeri karena minimnya kesempatan kerja di dalam negeri.
Sementara itu, dalam kontrak dengan negara asing, pemerintah justru membuka peluang besar bagi tenaga kerja asing untuk bekerja di Indonesia. Bagaimana mungkin rakyat sendiri harus berjuang mati-matian di negeri orang, sementara pemerintah justru mempermudah warga negara asing bekerja di Indonesia?
Inilah paradoks terbesar dalam kebijakan ekonomi dan komunikasi publik pemerintah. Nasionalisme dijadikan senjata untuk menyerang rakyat sendiri, sementara kebijakan yang dibuat justru menguntungkan pihak lain.
Saat diaspora berkontribusi nyata, mereka dicemooh. Saat rakyat mengkritik kebijakan yang tidak berpihak, mereka malah dianggap pengkhianat. Sangat memilukan rakyat kecil ketika bersuara malah tidak diperhatikan dan dibungkam!
#KaburAjaDulu: Teriakan Lantang yang Menggema di Media Sosial
Tagar #KaburAjaDulu muncul sebagai bentuk akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap berbagai kebijakan yang semakin tidak berpihak pada rakyat. Tagar ini tidak hanya digaungkan oleh diaspora Indonesia di luar negeri, tetapi juga oleh mereka yang masih tinggal di tanah air. Ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan bentuk perlawanan digital terhadap pemerintahan yang dianggap gagal memberikan harapan bagi rakyatnya.
Beberapa alasan di balik masifnya pergerakan ini:
- Minimnya kesempatan kerja di dalam negeri, sementara tenaga kerja asing justru semakin dipermudah masuk.
- Ketimpangan ekonomi yang semakin melebar, membuat banyak orang merasa tidak punya masa depan di Indonesia.
- Ketidakadilan dalam kebijakan pemerintah, yang lebih mementingkan kepentingan elite dibandingkan kesejahteraan rakyat.
- Respons pejabat yang bukannya menenangkan, justru semakin memperkeruh suasana dengan komentar meremehkan.
Alih-alih mencoba memahami keresahan rakyat, pejabat malah memberikan pernyataan seperti "silakan pergi dan tidak usah kembali," yang memperdalam rasa kecewa masyarakat. Bukankah ini bentuk komunikasi publik yang kontradiktif?