Mohon tunggu...
Wira Krida
Wira Krida Mohon Tunggu... Praktisi Komunikasi dan Farmasi

Saya praktisi farmasi industri yang memiliki minat mendalam dalam berbagai aspek komunikasi. Sebagai seorang profesional di bidang farmasi industri, saya telah mengembangkan keahlian di sektor ini melalui pengalaman dan pembelajaran yang terus-menerus. Tidak hanya fokus pada pengembangan teknis dan operasional di industri farmasi, tetapi juga memahami pentingnya komunikasi dalam mendukung dan memperkuat keberhasilan organisasi. Dalam rangka memperluas pengetahuan di luar farmasi, saya memutuskan untuk menempuh pendidikan di bidang komunikasi. Saya meraih gelar Magister Ilmu Komunikasi dari Universitas Paramadina pada tahun 2023. Langkah ini menunjukkan komitmen saya untuk memperdalam pemahaman tentang komunikasi, khususnya dalam konteks komunikasi organisasi dan komunikasi digital, dua bidang yang semakin penting di era globalisasi dan transformasi digital. Saat ini, Saya sedang melanjutkan studi di bidang ilmu komunikasi di Universitas Sahid. Melalui studi ini, saya berharap dapat menggabungkan pengetahuan di sektor farmasi dengan pemahaman yang lebih luas tentang komunikasi, sehingga mampu memberikan kontribusi yang lebih signifikan dalam pengembangan industri farmasi, baik dari segi operasional maupun strategi komunikasi. Bidang minat utama saya meliputi farmasi industri, komunikasi organisasi, serta komunikasi digital, yang menjadi fokus utama untuk pengembangan lebih lanjut di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Nasionalisme Dipertanyakan, Diaspora Dicampakkan: Paradoks Komunikasi Publik Pemerintah!

19 Februari 2025   11:09 Diperbarui: 19 Februari 2025   13:13 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puncak dari ironi ini adalah ketika seorang menteri secara terang-terangan meremehkan nasionalisme diaspora dan salah satu wakil menteri mengatakan bahwa mereka sebaiknya "pergi saja dan tidak usah kembali." Pernyataan ini seakan mengabaikan fakta bahwa diaspora justru telah memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Lebih dari itu, komentar seperti ini mencerminkan paradoks komunikasi publik pemerintah. Di satu sisi, pemerintah mengajak masyarakat untuk mencintai negeri dan berkontribusi bagi bangsa, tetapi di sisi lain, mereka justru meremehkan warga negaranya sendiri yang telah berjuang keras di luar negeri.

Paradoks Kebijakan: Kesempatan Kerja untuk Asing, Warga Sendiri Terlantar

Yang lebih ironis lagi, pemerintah yang seharusnya menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya justru gagal melakukannya. Banyak warga Indonesia terpaksa mencari nafkah di luar negeri karena minimnya kesempatan kerja di dalam negeri.

Sementara itu, dalam kontrak dengan negara asing, pemerintah justru membuka peluang besar bagi tenaga kerja asing untuk bekerja di Indonesia. Bagaimana mungkin rakyat sendiri harus berjuang mati-matian di negeri orang, sementara pemerintah justru mempermudah warga negara asing bekerja di Indonesia?

Inilah paradoks terbesar dalam kebijakan ekonomi dan komunikasi publik pemerintah. Nasionalisme dijadikan senjata untuk menyerang rakyat sendiri, sementara kebijakan yang dibuat justru menguntungkan pihak lain.

Saat diaspora berkontribusi nyata, mereka dicemooh. Saat rakyat mengkritik kebijakan yang tidak berpihak, mereka malah dianggap pengkhianat. Sangat memilukan rakyat kecil ketika bersuara malah tidak diperhatikan dan dibungkam!

#KaburAjaDulu: Teriakan Lantang yang Menggema di Media Sosial

Tagar #KaburAjaDulu muncul sebagai bentuk akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap berbagai kebijakan yang semakin tidak berpihak pada rakyat. Tagar ini tidak hanya digaungkan oleh diaspora Indonesia di luar negeri, tetapi juga oleh mereka yang masih tinggal di tanah air. Ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan bentuk perlawanan digital terhadap pemerintahan yang dianggap gagal memberikan harapan bagi rakyatnya.

Beberapa alasan di balik masifnya pergerakan ini:

  1. Minimnya kesempatan kerja di dalam negeri, sementara tenaga kerja asing justru semakin dipermudah masuk.
  2. Ketimpangan ekonomi yang semakin melebar, membuat banyak orang merasa tidak punya masa depan di Indonesia.
  3. Ketidakadilan dalam kebijakan pemerintah, yang lebih mementingkan kepentingan elite dibandingkan kesejahteraan rakyat.
  4. Respons pejabat yang bukannya menenangkan, justru semakin memperkeruh suasana dengan komentar meremehkan.

Alih-alih mencoba memahami keresahan rakyat, pejabat malah memberikan pernyataan seperti "silakan pergi dan tidak usah kembali," yang memperdalam rasa kecewa masyarakat. Bukankah ini bentuk komunikasi publik yang kontradiktif?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun