Mohon tunggu...
Winda Efanur FS
Winda Efanur FS Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

seorang pembelajar, pecinta buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pada Masa Itu

15 Februari 2019   23:55 Diperbarui: 16 Februari 2019   00:03 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiada yang dia cari selain suara. Tiada yang dia dengar selain hatinya. Mata bisa menipunya, tapi suara hati tidak. Hal itulah yang mendorongnya keluar dari kegelapan waktu. Meninggalkan kesunyian yang selama ini membelenggu dirinya. Suara hati itu berwujud impian. Apakah sesuatu yang konyol, tentu tidak? Dia terdiam di sini, di antara meja dan kursi kamarnya. Hanya ingin mendengarkan serta memastikan dengan jelas, suara hatinya. Suara hatinya mengarahkan pergi mencari keramaian kota. Mencari arti dari mimpi, menanam benih mimpi lalu menuainya.



Pagi itu dia menorehkan warna mimpi pada jejak-jejak kakinya. Jalanan ramai kota kelahiran, debu, bising kendaraan bermotor menemani setiap jengkal langkah kaki. Dikobarkan semangat dalam doa, menyusuri jalanan kota. Semua tampak asing, orang-orang berlalu-lalang mengejar kebisuan. Tak ada kata, semua bergegas dengan waktu. Doa dalam hati terus berbicara tentang bertahan. "Tak perlu khawatir jadi asing, tak perlu takut berada di kerumunan kota yang bising, yang terpenting kau mengenali mimpimu, mengenali dirimu sendiri," suara batinnya.



Dia menggumpalkan tangan kanan lalu menempelkan di bibirnya beberapa kali. Seolah mentransfer energi ketegaran menghirup atmosfer kota. Langkah kaki yang gugup perlahan mulai santai. Kedua bola mata perlahan berani menantang kilau mentari pagi. Sorotan Sang Surya, menyinari Kota Tua, tanah harapannya. Terlihat gedung-gedung menjulang tinggi, kontras dengan perumahan kumuh yang landai, menggoreskan garis imajiner tegak lurus. Entah dalam arti sosial atau finansial. Pandangannya beralih pada pengemis yang berkeliaran sekitar lampu merah. Langkah kakinya terhenti, dia mengamati anak-anak zaman yang terabaikan. Wajah belia mereka tertutup bayangan kemiskinan. Mereka bergelut dengan nasib, menertawakan nestapa dengan luka dan air mata: ketidakberdayaan.



Dia menunduk sejenak lalu, melanjutkan perjalanan kembali. Jauh di dalam bisik, dia ingin menatap wajah belia bocah itu. Dari sudut yang paling dekat, mata mereka. Dia ingin berbicara dengan mata mereka, pancaran apa yang tercermin dari hati mereka. Harapan apa yang ingin mereka dapatkan? Impian seperti apa yang ingin mereka capai? Ataukah semua hanya ilusi di pagi buta. 



Hingga kita memulangkan seribu tanda tanya pada takdir. Membiarkan takdir mengalir pasrah, selayak arus yang mengikuti sungai. Entah, dia menolak terlalu jauh beradu argumentasi dengan batinnya sendiri. Sekilas dia mendengar suara napasnya sendiri. Terdengar semakin keras.



Dia berusaha menguasai diri, dengan mempercepat langkah kaki. Tak lama berselang dia telah sampai di gerbang sebuah stasiun kota. Kembali, suara hati menuntunnya pergi ke kota yang jauh. Sebuah kota yang dikenalnya, dari puisi. Sebuah kota tempatmya menanam impian masa depan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun