Mohon tunggu...
W. Bintang
W. Bintang Mohon Tunggu... Freelancer - Variety Writer

Penulis lepas, memberikan perspektif atas apa yang sedang ramai dibicarakan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

David, Goliath, dan Dewa Kipas: Simpati atas Kesalahpahaman

26 Maret 2021   00:25 Diperbarui: 26 Maret 2021   00:31 1007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
David dan Goliath sedikit banyak mirip dengan Dewa_Kipas dan Gotham Chess: Bagaimana kita menaruh harapan kepada sosok lemah (Jeff Jacobs/Pixabay)

Hal yang membuat Goliath tampak kuat (manusia raksasa dengan pelindung badan dan persenjataan lengkap) adalah sumber kelemahan terbesarnya. Hal ini diisyaratkan dalam catatan asli tentang pertempuran Daud dan Goliat, dan yang telah dikonfirmasi baru-baru ini oleh para sarjana modern.

David juga tidak seperti yang Anda pikirkan. Bagian yang menarik adalah berapa banyak cendekiawan, terutama cendekiawan Israel sepanjang sejarah, yang terpesona oleh cerita ini dan catatan tertulis tentang apa sebenarnya senjata David itu.

Kita sekarang mengerti bahwa senjata David bukanlah mainan anak-anak. Ketapel yang efeknya begitu menghancurkan dan mirip pistol di era modern digunakan David melawan Goliath.

David bukan lagi yang tertindas ketika memasuki pertandingan. Setelah Anda memahami bahwa Goliath jauh lebih lemah dari yang Anda kira, dan David memiliki teknologi yang unggul, Anda akan berkata: mengapa kita menikmati kisah romantis yang mengaburkan situasi sebenarnya dimana kedua sosok memulai pertandingan sama kuat?

Nyatanya kita menyukai cerita romantis dimana kemenangan David merupakan kemustahilan yang terwujud. Kisah David menampakkan dunia tampak adil. Jika sosok yang kuat memenangkan semua pertempuran, tidak ada harapan bagi kita semua, bukan?

Kesuksesan David melawan Goliath dan Dewa_Kipas melawan Gotham Chess bergantung kepada sosok pencerita dan bagaimana perspektif pembacanya menerima. Menerima cerita dari penulis Alkitab dan Ali Akbar memaksa kita untuk percaya penuh atau tidak sama sekali.

Cerita underdog memberi kita semua yang tidak berada di atas suatu harapan. Kadang-kadang kita bisa menjadi yang teratas. "Underdog has its day," Mereka yang tidak diunggulkan akan berada di atas pada suatu hari.

Anda melihat polanya, bukan? Menampilkan diri sebagai sosok hero kepada media, sempat tidak berminat untuk melakukan tanding ulang, pada akhirnya mau melakukannya dan kalah secara mutlak, menutup drama dengan meminta kisah tidak diungkit kembali sembari membawa pulang hadiah akhir.

Yang saya sulit percayai adalah kekaguman masih dialamatkan kepada sosok Ali Akbar dan Pak Dadang Subur, lama setelah kelanjutan kisah mereka memberikan indikasi bahwa kecurangan terjadi dan yang terjadi adalah mereka menang atas sistem.

Yah, saya pikir ini adalah salah satu kontradiksi yang kita bawa di kepala kita tanpa pernah sepenuhnya terselesaikan.

Kita ingin berada di pihak yang menang, dan di saat bersamaan ingin mendukung yang tidak diunggulkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun