Mohon tunggu...
Wiliams Flavian Pita Roja
Wiliams Flavian Pita Roja Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Bachelor of Philosophy

Sarjana Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menyikapi Disrupsi Teknologis di Indonesia dalam Bingkai Pemikiran Francis Fukuyama

6 Desember 2020   17:50 Diperbarui: 6 Desember 2020   18:17 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

(Sebuah Refleksi Filosofis atas Perkembangan Indonesia di Era Disrupsi)

  • PENDAHULUAN

Indonesia sedang mengalami revolusi industri keempat atau yang lebih dikenal dengan revolusi industri 4.0. Rentetan teknologi canggih menghadirkan inovasi yang cukup pesat di beberapa tahun terakhir. Layanan seperti transportasi online, toko online, konsultasi kesehatan secara online, hingga bimbingan belajar secara online telah menjadi cirikhas era ini. Orang menamai era ini dengan sebutan disrupsi atau era disruprsi. Disrupsi adalah sebuah konsep yang kedudukannya dapat disejajarkan dengan globalisasi dan postmodernisme yang telah hadir lebih dahulu. Disrupsi atau lebih tepatnya disrupsi teknologis dalam konteks pandangan Fukuyama adalah paham yang menarik untuk ditelaah secara lebih mendalam. 

Disrupsi teknologis dipandang sebagai sebuah guncangan besar yang mengubah tatanan sosial dalam masyarakat. Dalam karyanya The Great Disruption, Fukuyama menyajikan data-data dan faktor penyebab terjadinya kerusakan dalam tatanan sosial. Pembahasannya merujuk pada tatanan sosial di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, yang telah beralih dari masyarakat industri menuju masyarakat informasi (information society). Di sana terjadi transformasi secara besar-besaran yang diiringi dengan tingkat kriminalitas yang semakin meningkat, keluarga yang semakin terguncang dan kepercayaan satu dengan yang lain semakin merosot.  

Tulisan ini adalah sebuah refleksi filosofis penulis terhadap situasi di Indonesia yang terpapar disrupsi teknologis. Refleksi filosofis ini dibatasi pada pertanyaan: apa itu disrupsi? Dan bagaimana Indonesia sebagai negara berkembang menyikapi implikasi dari disrupsi? Jawaban atas dua pertanyaan pokok ini akan dipaparkan dalam bingkai pemikiran Francis Fukuyama.

  • BEBERAPA KONSEP TENTANG DISRUPSI

Menurut arti leksikalnya disrupsi (disruption) sesungguhnya memiliki arti yang hampir seragam. KBBI mengartikan disrupsi sebagai "tercabut dari akarnya".[1] Dalam The Universal Dictionary of the English Language kata disruption diartikan sebagai "hancur berkeping-keping, terpotong, terputus dan terpisah".[2] Sedangkan dalam The Oxford Dictionary of Current English, kata disrupt yang merupakan kata dasar dari disruption diterjemahkan sebagai pecah atau putus.[3] 

Dalam terjemahan yang umum, disruption diartikan sebagai gangguan. Bila dihubungkan semua terjemahan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa disruption adalah gangguan yang dapat menyebabkan sesuatu tercabut dari sistem, cara, bentuk, atau bahkan regulasi yang lama. Apakah gangguan tersebut membawa perubahan yang baik atau malah merusak? Jawabannya terletak pada cara menghadapi gangguan tersebut. Selanjutnya pada tulisan ini gangguan akibat teknologi akan disebut sebagai disrupsi teknologis yang merupakan terjemahan dari kata technological disruption. Penggunaan istilah ini menekankan gangguan yang bersumber dari perkembangan teknologi atau dengan kata lain dampak yang bersifat teknologis. 

2.1       DISRUPSI MENURUT CLAYTON CHRISTENSEN

Clayton Christensen, seorang Profesor administrasi bisnis di Harvard Business School, menghubungkan disrupsi dengan inovasi.[4] Disrupsi adalah sebuah peluang, di mana sistem lama digantikan dengan cara yang baru yang lebih cepat, efisien dan kreatif. Disrupsi memang memberikan efek destruktif, tetapi destruktif yang kreatif yang karenanya timbul inovasi-inovasi untuk mengembangkan apa yang akan atau telah diusahakan.[5] 

Dalam hal ini disrupsi membawa keuntungan ditambah lagi nilai-nilai yang timbul dari buah-buah inovasi dan kreativitas tersebut. Jadi, suatu perusahaan atau seorang pelaku usaha mungkin saja pada awalnya mengalami kesulitan saat menghadapi berbagai macam perubahan yang diakibatkan oleh berkembangnya teknologi informasi. Perusahaan atau pelaku usaha pun memilih untuk membenahi diri, membaca peluang gangguan tersebut dengan menciptakan inovasi dan kreativitas yang mendongkrak kinerja perusahaan atau pelaku usaha tersebut sehingga menjadi semakin baik.[6] Dari cara pandang Christensen, dapat disimpulkan bahwa disrupsi memberi efek yang baik dalam bidang ekonomi, industri, dan keuangan bagi mereka yang bisa melihat peluang inovasi di balik gangguan yang timbul sebagai akibat dari perkembangan teknologi.

2.2       DISRUPSI MENURUT FRANCIS FUKUYAMA

            Fukuyama adalah seorang ilmuwan politik yang memiliki berbagai pengalaman di lembaga-lembaga pendidikan ilmu politik  sebagai seorang profesor maupun dalam lembaga pemerintahan.[7] Ia menaruh perhatian pada negara dengan segala persoalannya dan kebangkitan demokrasi liberal. Pokok pemikiran ini mewarnai buku-buku yang ia tulis. Demikian dengan tulisannya tentang The Great Disruption yang secara khusus mengkaji gangguan yang ditimbulkan oleh teknologi terhadap tatanan sosial kepada individu atau kelompok dalam suatu negara.[8] Berbeda dengan apa yang diutarakan oleh Christensen, Fukuyama justru melihat bahwa perkembangan teknologi yang kian canggih menciptakan disrupsi yang membuat tatanan sosial menjadi rusak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun