Fake akun ini muncul karena kadang kita bingung mau cerita ke siapa. Di dunia nyata, nggak semua orang ngerti. Nggak semua temen bisa dipercaya. Jadi, kita nyari tempat aman buat meluapkan perasaan. Bahkan kadang, satu-satunya tempat buat nangis adalah kolom notes di HP... atau ya, fake akun ini.
Lucunya, fake akun ini bisa jadi penyelamat mental. Tempat kita bisa jujur sama diri sendiri, tanpa takut dihakimi. Walaupun kadang nggak ada yang bales story kita, tapi rasanya udah cukup lega cuma dengan 'ngomong' di sana.
Fenomena ini nunjukin satu hal penting: anak-anak Gen Z itu butuh ruang aman untuk mengekspresikan diri. Dunia makin ribet, standar sosial makin tinggi, dan tekanan dari mana-mana bikin kita kadang pengen kabur sebentar. Makanya, Instagram bukan cuma soal eksistensi, tapi juga jadi sarana untuk jaga kewarasan.
Tiap akun punya fungsi sendiri:
First buat tampil "ideal" untuk personal branding.
Secc buat tampil "real" untuk nunjukin keseharian kita.
Fake buat tampil "emosional"untuk berkeluh kesah.
Semua itu adalah bagian dari diri kita. Dan nggak ada yang salah dari punya beberapa akun, asal kita masih bisa sadar batasannya.
Tapi, Jangan Lupa Offline Juga Penting
Meski dunia digital ngasih banyak ruang buat kita, jangan lupakan dunia nyata. Teman yang bisa diajak ketemu, obrolan yang nggak lewat story, atau pelukan yang lebih hangat dari sekadar emoji . Kadang kita terlalu sibuk nyari tempat buat curhat, sampai lupa ada orang di sekitar yang sebenernya mau dengerin.
Punya banyak akun bukan berarti kita fake, tapi bisa jadi itu cara kita bertahan. Tiap orang punya caranya masing-masing buat menghadapi hidup. Yang penting, tetap sehat secara mental, tetap jadi diri sendiri, dan jangan bandingin hidup kita dengan feed orang lain.