Gerobak itu milik Kak Anisa. Ia menjual sempol camilan sederhana yang digoreng dengan telur, disajikan dengan saus sambal pedas atau bumbu kacang. Aku mampir karena penasaran, tapi pulangnya malah bawa lebih dari sekadar makanan aku bawa cerita tentang semangat hidup dan perjuangan seorang perempuan muda yang luar biasa.
Aku pertama kali beli sempol Kak Anisa sekitar pukul 8 malam. Gerobaknya mangkal di pinggir jalan Seturan, dekat Hotel Merapi Merbabu. Waktu itu suasana masih ramai, dan aroma sempol yang sedang digoreng bikin perut makin keroncongan.
"Sempol mba?" sapanya ramah saat aku mendekat. Dari cara bicaranya, aku langsung tahu dia masih muda. Mungkin seusia atau sedikit lebih tua dariku. Setelah beberapa menit menunggu, aku ajak ngobrol sebentar sambil dia terus melayani pembeli.
Meski masih muda, tanggung jawab Kak Anisa sudah besar. Ia cerita kalau sudah sekitar dua tahun jualan sempol. "Mulai jualan sempol dari kapan kak?"aku bertanya. "Awalnya karena pandemi, susah cari kerja. Akhirnya nyoba bantu keluarga dengan jualan begini," jelasnya sambil tetap membolak balik sempol di atas penggorengan.
Ternyata, Kak Anisa tinggal bersama orang tua dan dua adiknya. Kak Anisa tinggal bersama orangtua dan adiknya. Kak Anisa membantu orang tua mencari nafkah meski dirinya belum lulus kuliah dan masih dalam usia muda, semangatnya nggak main-main.
"Aku pengen adik-adik tetap sekolah. Makanya aku usaha terus," katanya sambil tersenyum kecil.
Sempol yang dijual Kak Anisa tampaknya sederhana---adonan ayam dan tepung yang dibentuk lonjong, direbus, lalu digoreng dengan balutan telur. Tapi setiap tusuk sempol itu mengandung cerita, tenaga, dan harapan. Ia meracik adonan sendiri di rumah setiap pagi, mempersiapkan bahan-bahan dari awal, termasuk membuat saus sambal dan kacangnya sendiri.
Setiap hari, Kak Anisa berangkat dari rumah sekitar jam 4 sore, mendorong gerobaknya ke Seturan. Ia jualan sampai malam, kadang baru pulang jam 10 atau 11 malam. "Kalau rame sih cepat habis, tapi kadang juga sepi. Apalagi kalau hujan. Tapi ya disyukuri aja," katanya. Gerobaknya sederhana, cuma cukup untuk kompor kecil, wadah sempol, dan saus. Tapi di balik gerobak itu, ada kerja keras yang nggak kelihatan.
Pernah suatu malam hujan deras, dan aku lewat lagi di Seturan. Di bawah payung plastik seadanya, Kak Anisa tetap jualan. "Kalau nggak hujan terus sih, masih bisa kuat. Tapi ya, gimana lagi. Harus jalan terus," ucapnya waktu itu sambil tertawa ringan.
Bagi sebagian orang, jualan sempol mungkin cuma soal uang. Tapi bagi Kak Anisa, ini tentang tanggung jawab, tentang harapan kecil yang dia bangun dari pinggir jalan. Setiap hari dia bikin sempol sendiri di rumah, nyiapin bahan dari pagi, lalu sorenya dorong gerobak ke Seturan.