Kalau malaikat saja tidak digaji, setidaknya admin Kompasiana layak digaji lebih tinggi. Minimal dengan tunjangan "Sabar Membaca Tulisan Absurd."
Kedua. Pengelola Itu Pemadam Kebakaran Digital
Pernah ada tulisan yang bikin ribut karena terlalu frontal? Atau judulnya sengaja memancing kemarahan? Nah, saat kita sibuk berdebat di kolom komentar, pengelola Kompasiana sedang jadi pemadam kebakaran. Mereka harus sigap menyiram api pakai air moderasi.
Saya sering membayangkan: kalau gaji mereka kecil, jangan-jangan air pemadamnya tinggal setetes. Bisa-bisa bukan memadamkan api, malah makin menyulut. Maka wajar dong kalau gaji pengelola dinaikkan, biar kebakaran digital cepat padam.
Ketiga. Jadi Psikolog Gratisan
Salah satu fenomena di Kompasiana: banyak penulis curhat. Dari gagal nikah, ditinggal pacar, sampai digusur kontrakan. Semua ditulis dengan penuh emosi. Dan siapa yang pertama kali membacanya? Lagi-lagi admin.
Mereka ibarat psikolog yang duduk manis mendengarkan klien. Bedanya, mereka tidak dibayar ratusan ribu per jam. Justru merekalah yang sering sakit kepala karena curhatan tidak berkesudahan. Kalau begitu, bukankah sudah pantas gajinya naik?
Keempat. Bayangkan Kalau Mereka Mogok
Coba bayangkan seandainya admin dan pengelola mogok kerja. Wah, Kompasiana langsung chaos. Judul artikel bisa seenaknya: "Tips Jadi Presiden dalam 24 Jam" atau "Cara Kaya dengan Modal Kentang Rebus." Komentar pun bisa penuh makian dan kata-kata kasar.
Kalau sudah begitu, siapa yang rugi? Kita semua, para penulis. Maka, cara paling aman agar mereka tidak mogok ya cuma satu: naikkan gaji. Sesederhana itu.
Kelima. Penjaga Peradaban Digital