Mohon tunggu...
Wijatnika Ika
Wijatnika Ika Mohon Tunggu... Penulis - When women happy, the world happier

Mari bertemu di www.wijatnikaika.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

#SheCreatesChange dan Cerita Cinta 21 Perempuan Muda untuk Indonesia

11 Desember 2019   15:43 Diperbarui: 12 Desember 2019   18:07 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
21 Peserta #shecreateschange greencamp dari change.org Indonesia

"Bila kita sebagai perempuan dapat menggunakan bakat dan energi kita,  kita mulai bicara dengan suara sendiri demi nilai-nilai kita sendiri,  dan karenanya kehidupan semua orang akan membaik."-Melinda Gates-

Purnama tengah menyempurnakan penampilannya di langit malam dan ingatanku terlempar pada kegiatan yang lalu, di Cianjur, Jawa Barat. Kegiatan ini bermula dari keisengan mendaftar sebuah beasiswa green camp bernama #SheCreatesChange dari change.org Indonesia beberapa bulan sebelumnya.

Saat mengisi formulir pendaftaran aku ketawa-ketiwi karena baru pertama kalinya seumur hidupku aku mengisi sebuah aplikasi dengan begitu santai. Aku sedang capek serius, toh nggak berhasil juga (apaan sih iniiiii) dan ternyata aku lolos dong. 

Maka tersebutlah namaku dalam daftar 21 Women Changemakers ala change.org yang bekerja sama dengan sejumlah lembaga (pasnya sih disebut media) dalam menyelenggarakan kegiatan ini seperti Magdalene, Mongabay, KBR, dan Womantalk.

Dari ke 21 perempuan ini, tentu saja aku mengenal diriku sendiri hahahaha. Namun, dari ke 20 orang peserta lainnya tidak ada yang kukenal, kecuali satu orang saja. Itupun aku hanya pernah mendengar namanya tapi belum pernah bertemu.

Namanya Chaus, aktivis WALHI Sumatera Barat. Maklum lah, dulu kan aku juga kerja di WALHI. Masa iya anak WALHI nggak kenal sesama sih, ntar dikira murtad lagi, kan ngeriiiiii. Nah, karena aku nggak kenal siapa mereka maka aku kepo dong. 

Dok. change.org
Dok. change.org

Laluuuuuu aku pun menyesal telah kepo karena hasil kepo membuatku mengerut bagai sebuah markisa busuk di pinggiran kebun. Soalnya, para perempuan itu hebat semuanya dalam karya dan kerja di bidang masing-masing baik soal isu lingkungan, advokasi, kampanye, hingga seni.

Misalnya nih ada peserta namanya Linda di mana film dokumenternya yang berjudul "Lakardowo Mencari Keadilan" masuk dalam nominasi Best Feature Documentary dalam Festival Film Indonesia 2018. Trus ada juga Ibu Yuli dari Blitar yang pernah diganjar penghargaan sebagai "Pahlawan Pemberdayaan" oleh MNC TV tahun 2016. 

Ada juga Ibu Syalfitri asal Palembang yang bergerak di bidang pengelolaan sampah dan sudah banyak mendapat penghargaan bergengsi level nasional. Trus aku iki sopo? Tapi ya sudahlah, mungkin pihak change.org melihat sesuatu dariku yang aku aja nggak kepikiran itu apa ahahai. Intinya aku lolos jadi peserta dan siap belajar.

Pagi 24 Oktober 2019 aku menuju kantor change.org di Jakarta Selatan. Aku bertemu dengan Ilma, Mbak Ani, Bu Yuli, Dera, Camelia, Mbak Shobi, Mbak Prima, Jeanne, dan Nova.

Meski baru bertemu, kami semua nggak malu-malu untuk bersenda gurau dengan begitu ribut bahkan jajan gorengan. Jeanne yang mentraktir kami. Pagi itu kami sarapan gorengan dong dan aku melahap 3 buah tahu isi dengan sejumlah cabe rawit. 

Dalam obrolan ini terkuaklah sebuah fakta bahwa Mbak Shobi yang merupakan salah satu fasilitator dalam green camp ini bekerja di sebuah lembaga yang aku pernah datangi untuk wawancara kerja tapi pada akhirnya nggak lolos wkwkwkwk.

Btw, Mbak Shobi ini punya gelar Ph.D dari sebuah universitas di Amerika Serikat lho dan bikin aku ingin lanjut S3 juga. Bisa nggak yaaaaaa.

Singkat cerita tibalah kami di Cianjur, tepatnya di Wisma Saung Nini di kompleks Taman Bunga Nusantara. Pada saat inilah keGEERan kami dimulai karena satu persatu peserta disambut oleh panitia dengan prosesi pengalungan kain lurik di leher kami. Ya, macam tamu kenegaraan yang disambut sama kalung bunga gitu. Penting banget kan kami ini. 

Para panitia kompak mengenakan kaos merah dengan tulisan change.org berwarna putih di bagian dada. Mereka dandan cantik, rapi dan wangi dan siap melayani kami bagai tamu kehormatan dari negeri jauh eaaa.

Panitia yang menyambut kami waktu itu ada Mbak Desma, Kak Ori, Kak Dhenok, Kak Dora dan Kak Dian. Tidak lupa ada Photographer dan videographer yang mengabadikan langkah suci kami menuju tangga Wisma Saung Nini, yaitu Mas Yusa dan Mas Acu. Terima kasih ya.

Acara pembukaan dan perkenalan dimulai malam hari, karena peserta yang datang menggunakan pesawat trus nyambung naik bis datangnya telatttttt. Dalam sesi perkenalan ini kami diharuskan mengenal seorang peserta berikut siapa dia, asalnya dari mana, apa gerakan yang dia lakukan bagi masyarakat.

Waktu itu aku memperkenalkan Mira dari NTT. Peserta paling muda, bertubuh mungil dengan rambut hitam tebal sepunggung ini merupakan anak muda yang peduli isu lingkungan dan mengawal gerakan slow fashion. 

Gerakan ini merupakan perang terhadap fast fashion karena sampah fashion bisa mencemari lingkungan. Mira juga giat mempromosikan kehidupan zero waste untuk anak-anak dan remaja di daerahnya.

Aku masih ingat, saat seusia Mira aku belum mengerti soal isu perubahan iklim apalagi bergerak mempromosikan slow fashion dan zero waste. Di usia 30an inilah aku mulai menerapkan dan ikut dalam gerakan slow fashion meski sangat-sangat-sangat-sangat sulit, soalnya aku suka shopping baju, sepatu dan tas.

Aku memandangi semua orang di ruangan di mana ada yang senyum-senyum sendiri, tertawa ceria, bengong, atau yang menggoda teman barunya; dan dalam diam aku mengagumi kerja-kerja mereka untuk masyarakatnya.

Ada rasa malu menghujam di dada karena yang kulakukan belum punya dampak hebat sebagaimana karya mereka. Namun demikian, suasana malam yang tenang dan dingin, udara yang bersih dan syahdu menenangkan kecamuk hebat dalam diriku. 

Apapun alasan Tuhan mengirimku pada forum ini telah mampu membuatku merasakan dan menyadari bahwa kegiatan ini akan menarik sampai hari terakhir, sampai aku kembali ke tempatku. Bismillah, semoga berkah.

Oh ya, Green camp ini menghendaki peserta dapat menggali potensi dirinya sebagai penggerak perubahan di bidang lingkungan hidup dengan dibekali pengetahuan dan kemampuan berkampanye.

Ya iyalah, secara penyelenggaranya adalah sebuah lembaga spesialis kampanye, sehingga kami para peserta pasti diharapkan memiliki satu isu yang kami lempar untuk dikunyah-kunyah publik sebagai media kampanye dan harus berhasil mengganggu pihak-pihak tertentu sekaligus berhasil merayu ribuan orang untuk mendukung kampanye yang kami buat. 

Demi tujuan mulia ini pula, pihak change.org menghadirkan orang-orang dengan rekam jejak hebat di bidangnya masing-masing yang berbagi bersama kami, terkait pengalaman mereka khususnya dalam berkampanye. Berikut orang hebat tersebut:

Mbak Andhyta Firselly Utami (AFU) merupakan lulusan Public Policy Harvard Kennedy School yang kini bekerja sebagai ekonom lingkungan di Bank Dunia dan pendiri Think Policy Society.

Mbak Afu ini bekerja dengan orang-orang besar di bidang ekonomi dunia, tapi tetap teguh dalam pembelaannya pada urusan lingkungan khususnya krisis iklim, tapi hebatnya nggak menggunakan bahasa lingkungan melainkan bahasa ekonomi. 

Sementara Mbak Chitra Subyakto merupakan seorang perancang mode tanah air yang mendirikan merk tekstil "Sejauh Mata Memandang" pada 2014, dalam upaya mengusung gerakan slow fashion dengan misi khusus mengangkat kekayaan dan budaya Indonesia. Keren, kan?

Ada juga aktivis penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, yaitu Mbak Ayu Oktariani yang memang merupakan ODHA dengan seorang putri yang ODHA juga. Mbak Ayu ini merupakan Dewan Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia, yaitu sebuah jaringan nasional bagi perempuan Indonesia yang terinfeksi dan terdampak HIV. 

Dok. change.org
Dok. change.org

Sedangkan Mbak Tiza Mafira merupakan lulusan Harvard Law School yang kini bekerja sebagai ahli hukum dan kebijakan lingkungan, dengan spesialisasi perubahan iklim dan pengelolaan sampah.

Beliau juga merupakan Direktur Eksekutif Indonesia Diet Kantong Plastik yang banyak berkampanye tentang diet kantong plastik dan bekerjasama dengan banyak perusahaan demi mewujudkan Indonesia bebas kantong plastik atau minimal mendapatkan edukasi soal sampah plastik.

Mbak Tiza ini dinobatkan sebagai UN Ocean Hero oleh UN Environment pada 2018. Ya ampun, keren sekali Mbak Tiza ini ya.

Kemudian ada juga Mbak Devi Asmarani, yang merupakan jurnalis senior yang sekarang sebagai Editor in Chief Magdalene.co yaitu majalah online yang memberikan perspektif baru tentang gender dan budaya yang selama ini tuh tabu dibicarakan di Indonesia.

Ada juga Mbak Dwi Ariyani yang merupakan Program Officer untuk Indonesia for the Disability Fund and the Disability Rights Advocacy Fund. Mbak Dwi ini pernah membuat kampanye yang menghebohkan karena pernah ditolak terbang oleh sebuah maskapai penerbangan internasional karena merupakan penyandang disabilitas.

Yang tak kalah heboh adalah Mbak Gita Syahrani. Beliau ini merupakan Direktur Eksekutif Lingkar Temu Kabupaten Lestari yang sebelumnya malang melintang di sejumlah lembaga yang mengurus isu lingkungan dan perubahan iklim.

Sebagai pakar di bidang hukum lingkungan termasuk soal pendanaan program-program yang berkaitan dengan lingkungan, Mbak Gita juga merupakan salah satu inisiator dibalik gerakan "Hutan Itu Indonesia" yang melibatkan penyanyi Glenn Fredly.

Terakhir adalah Mbak Riri Silalahi yang pernah kita kenal melalui grup band SHE. Mbak Riri ini masih aktif bermusik dan mulai giat berkampanye tentang isu lingkungan melalui Musika Foresta dan Hutanku Napasku.

Kegiatan ini sendiri diurus sepenuhnya oleh tim change.orga yang muda, gaul dan seru. Ditambah dua orang fasilitator yang telah malang melintang dalam dunia fasilitasi di tanah air. Kedua fasilitator tersebut adalah Mbak Shobi Lawalata dan Mila Nuh yang kece badaiiiiiiii.

Mbak Shobi merupakan Learning Facilitator dan Youth Development Manager di United in Diversity Foundation (UID) sementara Mbak Mila Nuh merupakan learning facilitator kawakan yang berfokus di bidang pengembangan kapasitas dan projek berkelanjutan. 

Kedua fasilitator ini selain mampu membangkitkan hasrat untuk berjuang membela bangsa dan negara, ternyata juga bikin kami sering menangis tersedu-sedu sampai mata bengkak bagai baru putus cinta. Nah lho, ada apa ya sebenarnya dengan green camp ini, kok bikin nangis?

***

Kegiatan green camp ini berlangsung dari 24-28 Oktober 2019, dari pagi sampai malam hari. Kegiatannya padat dengan jadwal ketat sampai-sampai nggak ada waktu buat melipir main ke Taman Bunga Nusantara.

Kegiatan dimulai dengan sarapan pada pukul 7 pagi dan berakhir pukul 10 malam dengan ngemil makanan dan bersenda gurau gila-gilaan. Biasanya, setelah selesai sarapan aku keluyuran sendirian di halaman wisma yang luas.

Aku mencoba berkenalan dengan segala jenis tumbuhan yang menghuni wilayah ini. Aku bertemu pinus, karet kebo, cemara, jambu, kemuning, cempaka, kecombrang, kacapiring, dan yahhhhh sebagian besar pohon dan tanaman tak kuketahui namanya. 

Dalam momen inilah aku bertemu Pak Abidin, salah seorang pekerja di Saung Nini yang sudah bekerja sejak tahun 1980an. Pak Abidin bercerita banyak hal tentang Wisma Saung Nini dan bagaimana para pekerja membangun kesetiaan pada tempat ini.

Sangat terlihat jelas bahwa semua pekerja merawat dan menyayangi tempat ini sedemikian rupa sehingga tampak asri, sehat, bersih dan menyenangkan. Oh ya, Pak Abidin juga sejenak menjadi photographer pribadiku dong wkwkwkwk.

Melingkar, sebuah metode pembelajaran yang diadaptasi dari masyarakat adat di seluruh dunia. Photo: change.org Indonesia
Melingkar, sebuah metode pembelajaran yang diadaptasi dari masyarakat adat di seluruh dunia. Photo: change.org Indonesia

Setiap pagi, kami memulai kegiatan dengan sesi mindfulness dan sesi inilah yang membuat kami semua menangis. Tadinya kami semua terkesan kuat, berani, jagoan dan tahan banting tapi kok malah jadi cengeng dan lemah.

Sebenarnya sih, sesi mindfulness ini tidak dimaksudkan untuk mengorek luka lama, luka terpendam, luka masih basah atau luka yang aneh-aneh lainnya dalam diri kami para peserta. Melainkan salah satu cara agar kami, si manusia mampu melihat diri kami apa adanya sebagai manusia yang bisa lemah, sedih, putus asa, tapi sekaligus kuat, baik hati, pejuang dan jagoan. 

Di sesi ini aku melihat sosok-sosok yang sebelumnya kokoh mempertahankan benteng masing-masing agar terlihat kuat dan tak punya masalah justru hancur. Seakan-akan kita semua diharuskan meleburkan segala rasa agar tidak menyimpannya sebagai penyakit yang melukai jiwa dan pikiran. Kita boleh menunjukkan kelemahan diri, agar tahu cara menjadi kuat.

Pagi kami dimulai dengan keheningan, isak tangis, mata bengkak dan pipi yang basah oleh airmata. Kukira, kami semua sedang belajar mengenal diri kami yang paling dalam dan masalah-masalah yang coba kami selesaikan. Karena bagaimana mungkin seorang changemaker mampu menyelesaikan masalah sosial yang rumit jika belum mampu menolong dan mengadvokasi dirinya sendiri. 

Dalam forum ini akhirnya kami paham bagaimana menerima keadaan diri, kekurangan, masa lalu, hingga masalah-masalah yang ditimbulkan orang lain agar hati kami menjadi lembut dan pikiran kami jernih dalam membangun rasa empati atas penderitaan orang lain.

Seorang changemaker harus mampu membuka dirinya agar orang lain pun mau terbuka, dan mau bergandengan tangan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada.

Sesi demi sesi perenungan diri selama green camp ini akhirnya membuka tabir yang sebelumya tertutup rapat, entah karena rasa takut, cemas, malu dan merasa diri hina. Di antara senyum dan tawa yang menghiasi hari-hari kami, ada masalah-masalah yang dipendam dalam diri dan tak berani diutarakan. Meski akhirnya meledak.

Mungkin, keadaan yang kami alami secara personal ini tak beda dengan luka, derita, dan masalah yang dipendam dalam kehidupan sosial, yang enggan diceritakan karena takut pada mereka yang berkuasa. 

Mungkin, di antara masalah-masalah sosial yang seringkali meledak tiba-tiba sebenarnya merupakan luka sosial yang telah dipendam sedemikian lama, yang bingung bagaimana hendak diselesaikan karena kita semua paham bahwa keadaan hukum di negara ini masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Oh ya, di antara sesi tangis-tangisan yang bikin make up luntur ternyata tersimpan hal-hal lucu. Hm, bukan lucu kayak komedi sih. Tapi lebih ke perasaan nggak percaya aja sosok yang kukira sangat tangguh dan nggak punya cadangan airmata ternyata bisa nangis hebat lho sampai mata mereka bengkakkkkkkkkkkk.

Sebut saja salah satunya Yaya dari Riau yang ternyata sangat kelelahan bekerja sampai-sampai nggak punya waktu buat "Me Time" dan disela-sela kegiatan ini pun dia masih sibuk merampungkan pekerjaannya. 

Terlebih Yaya bekerja di lembaga yang bergerak di advokasi kebijakan lingkungan dan Riau itu sedang menghadapi masalah kebakaran hutan hebat, yang asapnya banyak merenggut nyawa bayi-bayi tanda dosa.

Mungkin sebenarnya Yaya marah pada pemerintah dan perusahaan pembakar hutan yang bikin keponakannya meninggal akibat ISPA saat kebakaran hutan tahun 2015 lalu, makanya Yaya bekerja gila-gilaan.

Ada juga Fonsa dari Papua yang diawal-awal kegiatan lebih banyak diam. Tapi ternyata Fonsa memiliki kesedihan mendalam atas kondisi Papua. Sehari-hari Fonsa bekerja sebagai jurnalis dan melalui foto ia memperjuangkan hutan dan kehidupan alam liar Papua, termasuk satwa langka yang dilindungi negara.

Suatu kali Fonsa bercerita sambil menangis hebat tentang perjuangan mendamaikan suatu suku yang sedang marah dan hampir saja dia kehilangan nyawanya. 

Fonsa tidak ingin pertumpahan darah terus menerus terjadi di Papua karena orang Papua yang tidak punya kekuatan untuk membela tanah ulayat dan hutan-hutan mereka dari ekspansi perkebunan dan perusakan lingkungan bentuk lain.

Ya Allah ya Tuhanku, kami sebenarnya menangis bukan karena cengeng. Melainkan karena keterbatasan kekuatan dan kemampuan dalam membela apa yang harus dibela, dan menyelamatkan apa yang harus diselamatkan.

Ada kesenjangan yang menganga antara kehendak memberantas KKN dengan praktek kongkalingkong dalam pemberian izin ekspansi lahan perkebunan hingga tambang; ada surat-surat jahat yang dibuat untuk menghabisi kehidupan satu kampung demi membuang limbah beracun yang mematikan; ada hobi dan mitos aneh yang menyebabkan hewan-hewan langka diburu dan dibunuh. 

Ada kerakusan yang menyebabkan hutan-hutan dibakar yang menyebabkan kematian habitat liar yang asapnya juga membunuh manusia-manusia kecil yang baru saja dilahirkan ke dunia; dan prasangka-prasangka bahwa kerja-kerja pembelaan pada lingkungan adalah kerja elit dan liberal, padahal kerusakan nyata di depan mata mulai dari air tercemar, sampah menumpuk bagai dosa-dosa yang dianggap biasa, hingga kematian sia-sia mereka yang tidak mendapat pertolongan negara dan masyarakat yang hilang kepedulian pada sesama. Dan semua ini menyesakkan dada. Masalahnya kami semua bukan Wonder Women yang mampu melibas segala kejahatan dengan kekuatan ajaib.

Kemudian, ada satu sesi yang membuatku sangat kelelahan karena seakan-akan energiku telah disedot habis. Padahal sebenarnya, segala yang sedih dan luka dalam diriku tak mampu kukeluarkan sehingga seluruh tubuhku sakit dan aku mengalami demam tinggi, muntah-muntah, sampai benar-benar tak bisa makan sama sekali.

Mbak Mila sampai menangis saat aku menangis hebat huhuhuhu, karena kisah yang kuceritakan rupanya menusuk jauh ke dalam sebagian kenangan hidupnya yang tak kalah pahit baginya.

Di sesi ini aku menangis hebat dong (dan pasti saat itu mukaku jelekkkkk banget ughhhhh) karena harus menceritakan luka paling luka di antara semua luka yang kubawa kemana-mana sejak aku berumur 5 tahun. 

Namun, dibalik momen bertangis-tangisan ini ternyata ada satu kebaikan bahwa kemampuan kita menerima dan membuka diri merupakan salah satu cara yang baik dalam upaya meningkatkan ketajaman mengenal masalah dalam masyarakat. Karena secara logika, kita nggak mungkin mampu mengenali masalah yang ada dalam masyarakat jika kita nggak punya kemampuan untuk berpikir kritis.

Hal menarik lainnya adalah bahwa proses pembelajaran pun dibuat dengan tidak mengedepankan kemenangan dan keberhasilan semata, sebab kita nggak mungkin tahu nikmatnya keberhasilan dan kemenangan tanpa pernah merasakan kekalahan dan kegagalan.

Di antara sejumlah narasumber yang dihadirkan untuk berbagi kisah sukses mereka dalam melakukan perubahan sosial dan mengawal kebijakan, dihadirkan juga dia yang hanya bercerita tentang kegagalan demi kegagalan. 

Sosok itu adalah Mbak Gita yang dengan ceria menceritakan berbagai macam kegagalan dalam upaya-upaya besarnya menyelamatkan lingkungan Indonesia yang terdampak perubahan iklim. Mbak Gita pula yang menanamkan sikap menerima kegagalan dan memandangnya sebagai batu loncatan untuk melakukan gerakan lain yang lebih berdampak.

SUMPAH PEMUDI INDONESIA
Oh ya, karena kegiatan ini bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda ke 91 tahun, maka kami pun membuat sumpah kami sendiri demi Indonesia yang lebih baik di masa depan.

Sumpah itu kami beri nama "Sumpah Pemudi Indonesia" dengan harapan para pemudi di seluruh Indonesia membangun kesadaran dan berbuat lebih demi menyelamatkan tanah air kita dari kerusakan di darat dan lautan, serta manusianya dan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya. 

Kami pemudi Indonesia,

Meyakini, bumi sumber kehidupan


Merawatnya dengan segenap hati, jiwa, dan raga

Berkehidupan selaras dengan nafasnya yang beragam


Melindungi hutan kami, hutan Indonesia

Menyelamatkan laut kami, laut Indonesia

Membersihkan sampah plastik dari kota dan desa Indonesia

Menggagas perubahan melawan perubahan iklim

Menanggalkan yang fosil, menuju yang terbarukan

Menjaganya agar aman dari ketidakadilan


Sejatinya berbakti menggagas aksi bukan hanya reaksi

Untuk mewariskannya kepada anak, cucu, dan melintasi generasi


Kami pemudi Indonesia

Peduli diri, peduli sesama, peduli ibu bumi


Cianjur, 28 Oktober 2019

#PemudiUntukBumi

YANG RENYAH TENTANG CINTA
Dan ini adalah sebuah pengakuan: aku kan sekamar dengan Yaya dan kami tuh merasa spesial sekali bisa bermalam di Saung Nini, karena pintu kamar kami langsung menghadap taman bunga dan halaman yang luas, hijau dan penuh pepohonan.

Terlebih di depan teras tuh ada kanopi tanaman entah apa namanya dengan bunga-bunga indah menjuntai, yang bentuknya seperti anggrek tapi ternyata bukan anggrek. Ada satu waktu Yaya bilang bawa sejumlah teman kepoin umur aku. "Eh, berapa sih umur Mbak Nika itu?" tanya mereka. 

Oh ya, di kegiatan ini aku menggunakan Nika sebagai nama kecilku selain Ika, Neng dan Teteh. Mereka kaget lho waktu aku mengatakan umurku 34 tahun. Sebab kata mereka aku masih terlihat imut dan muda, selayaknya anak kuliahan umur 25 tahun eaaaaa.

Aku keGEERan dong karena ke mana-mana selalu dianggap jauh lebih muda daru usia sebenarnya buahahahahahahaha. Sampai disini dulu ya pengakuan yang mengejutkan itu, semoga kita semua selalu cantik mempesona dan berbahagia bagai penghuni surga.

Kemudian, sampailah kita di babak akhir cerita......

Akhir kata, kuucapkan banyak terima kasih kepada segenap tim kece change.org Indonesia yang telah menyelenggarakan kegiatan keren ini, dan memilihku untuk menjadi bagian dari kegiatan ini. Mengakhiri tulisan ini aku ingat sebuah pertanyaan dari salah seorang peserta.

Dia bertanya tentang apa alasan kedatangan kami di hari pertama disambut dan dikalungkan kain lurik? (Hmmm mari tertawa dulu karena ini jenis pertanyaan jujur tapi ya patut ditertawakan sih karena ini pasti pertanyaan nyeleneh semua orang). 

Maka dengan bijak pihak change.org menjawab bahwa alasannya sederhana saja: bahwa kami semua sosok penting yang harus dihormati dan diperlakukan layaknya kaum 1% alias VVIP. Ya, kami yang biasa diremehkan memang agak awkward saat diperlakukan sebagai sosok penting.

Namun dari hal ini aku belajar bahwa hal yang paling penting dari segala yang penting di muka bumi ini adalah bagaimana memperlakukan diri sendiri sebagai sosok yang penting sehingga segala yang kita hasilkan bermakna dan berdampak hebat. Terima kasih.

Aku beserta teman-teman peserta dan panitia. Photo: change.org Indonesia
Aku beserta teman-teman peserta dan panitia. Photo: change.org Indonesia

Pukul 13 waktu setempat cuaca hangat dengan angin semilir. Pepohonan di halaman yang luas dan bersih tampak enggan kutinggalkan. Akupun masih ingin berlama-lama bersama mereka guna bercengkerama, bermanja dan bersenda gurau.

Tapi, tempatku bukan di sini dalam kenyamanan yang melenakan dan melemahkan. Tempatku ada di bagian lain bumi di mana aku harus berjuang untuk mewujudkan kampanyeku sendiri. Ada banyak ide di kepala, ingin melakukan ini dan itu demi perubahan ini dan itu. 

Sayangnya, sebagai manusia aku dilarang rakus dan mengerjakan segala sesuatu dalam satu waktu. Namun demikian aku berjanji akan menghidupkan kembali mimpi yang mati, dan menentukan target-target perjuanganku sendiri dalam melindungi tanah airku, Indonesia dari kerusakan dan kehancuran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun