Mohon tunggu...
Wijatnika Ika
Wijatnika Ika Mohon Tunggu... Penulis - When women happy, the world happier

Mari bertemu di www.wijatnikaika.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jihad Melawan Kekerasan Seksual Sejak dalam Pikiran

19 September 2019   15:00 Diperbarui: 19 September 2019   16:14 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mari akhiri kekerasan seksual secara bergotong-royong. Sumber: thedailystar.net

Dalam konteks ini, bagaimana kita menjelaskan bahwa masalah pakaian perempuan menjadi faktor pemicu terjadinya kekerasan seksual sedangkan korban ada dalam rumah yang seharusnya jadi tempat paling aman di dunia. Jika rumah sudah menjadi medan tempur dalam kasus kekerasan seksual, bagaimana kita berharap di luar rumah kita aman? Jika semua tempat tidak aman dari kemungkinan terjadinya kekerasan seksual, ke mana kita mencari perlindungan selain pada negara melalui produk hukumnya?

Upaya teranyar yang dilakukan adalah dengan mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi undang-undang. Wacana awal tentang RUU PKS sudah ada sejak 1998 setelah berdirinya Komnas Perempuan. Draf awal RUU PKS masuk ke DPR-RI pada 2014 dan pembahasannya menjadi kewenangan Komisi VIII (yang berwenang dalam urusan agama dan sosial).

Pembahasannya cukup alot dan bolak-balik masuk Prolegnas sejak 2016. Kabarnya, RUU PKS menjadi program pengesahan pada 2018. Tapi, hingga September 2019 belum juga disahkan. Upaya pengesahan RUU PKS malah kebalap dengan RUU KPK!

Selama menunggu pengesahan RUU PKS, ribuan korban kekerasan seksual terus berjatuhan. Korban kekerasan seksual pada perempuan dan anak perempuan sejak rahun 2014-2018 mencapai lebih dari 20.000 orang. Sejumlah kasus mencapai tingkat kesadisan yang mengerikan.

Misalnya kasus pemerkosaan berkelompok (gang rape) pada remaja bernama Yuyun di Bengkulu yang terjadi di siang bolong saat korban pulang sekolah. Setelah diperkosa secara bergiliran, dia dibunuh dan mayatnya dibuang ke jurang.

Ada juga kasus Eno yang setelah diperkosa oleh beberapa orang, kemaluannya dijebol dengan gagang pacul hingga menembus jantung dalam keadaan masih hidup. Kisah lain tentang seorang perempuan di Palembang yang diperkosa oleh pacar dan teman pacarnya, kemudian dibunuh dan mayatnya dibakar. Hingga kasus bayi berumur 2 tahun diperkosa ayah kandungnya sendiri. Super edan dan mengerikan nggak sih?

Mengapa pembahasan RUU PKS ini sangat alot sementara korban terus berjatuhan? Usut punya usut, masih ada sejumlah fraksi di DPR RI yang meributkan soal judul dan sejumlah definisi. Fraksi PKS, PPP dan PAN kekeuh ingin judul kebijakan ini diganti dari "kekerasan seksual" menjadi "kejahatan seksual". Selain itu, selama proses pembahasan berlangsung ada sejumlah pihak yang memancing di air keruh untuk melemahkan urgensi pengesahan RUU PKS menjadi undang-undang. 

Bayangkan, dalam sebuah petisi menolak RUU PKS, hampir 20.000 orang setuju menolak RUU PKS tanpa membaca draft RUU PKS dan naskah akademiknya. Bahkan RUU PKS dilabeli sebagai produk hukum yang akan melegalkan praktek perzinahan, LGBT, seks bebas dan sebagainya. Beuh, ngeri kali!

pkbi.or.id | Alasan mengapa RUU PKS perlu disahkan segera!
pkbi.or.id | Alasan mengapa RUU PKS perlu disahkan segera!
Kalau misalnya mereka menolak sebagian atau seluruh isi RUU PKS dengan argumen yang jelas, meyakinkan dan mampu memberikan solusinya secara konkret, aku bisa angkat topi sebagai tanda penghormatan pada proses berpikir kritis. Tapi, kalau menolak dan memberi stigma buruk sebelum membaca drafnya, atau kajian akademis sejumlah pakar dan institusi yang terpercaya ya bodoh namanya. Masa iya, kebodohan dalam memahami realitas kekerasan seksual di Indonesia menjadi penyebab semakin banyak orang menjadi korban. 

Sebagai penyintas kekerasan seksual, aku merasa memerangi kekerasan seksual dalam bentuk apapun adalah jihad fi sabilillah. Jika kita berdiam diri atau menggampangkan atau menganggap kekerasan seksual yang dialami orang lain tidak menjadi masalah bagi diri kita, maka kita telah menjadi bagian yang menghidupkan budaya pemerkosaan (rape culture).

Nah, candaan soal kekerasan seksual seperti perkosaan dalam pembuka artikel ini merupakan bentuk paling ringan dari piramida rape culture. Jka candaan soal pemerkosaan dianggap sebagai hal biasa, maka kita akan kena tulah pribahasa 'ala bisa karena biasa' dimana kita akan menganggap hal tersebut bukan sebagai ancaman. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun