Mohon tunggu...
Wijatnika Ika
Wijatnika Ika Mohon Tunggu... Penulis - When women happy, the world happier

Mari bertemu di www.wijatnikaika.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jihad Melawan Kekerasan Seksual Sejak dalam Pikiran

19 September 2019   15:00 Diperbarui: 19 September 2019   16:14 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mari akhiri kekerasan seksual secara bergotong-royong. Sumber: thedailystar.net

"Bajunya terbuka sih, pantes aja diperkosa."
"Makanya pakai baju yang bener, jangan ngundang kejahatan!"
"Dandanan wajahnya mesum sih, bikin orang ingin merkosa aja."
"Kamu kok agresif sih jadi cewek, pengen dipake ya?"
"Makanya pake jilbab biar nggak diperkosa!"
"Jangan temenan sama cowok, ntar diperkosa lho."
"Jangan ngelawan jadi cewek! Diperkosa baru nyaho loe!"
"Makanya bayar hutang loe kalau nggak mau digilir!"
"Woi setan. Kalau loe nantang, gw perkosa cewek loe!"

Kata-kata demikian seringkali kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Fokus pembahasan mengenai pemerkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual adalah pakaian. Hal lainnya adalah ancaman dalam rangka menundukkan proses critical thinking korban agar patuh pada kehendak pelaku. Karenanya, pemerkosaan memang bukan soal seks melainkan soal penindasan dan penghinaan.

Seumur hidup, aku pernah hampir menjadi korban pemerkosaan sebanyak 4 kali berturut-turut. Saat itu aku masih mahasiswa S1 dan pakaian yang sehari-hari aku kenakan adalah gamis serta kerudung panjang, macam ukhti-ukhti lah, karena aku juga dulu dipanggil ukhti. Kejadian paling parah adalah ketika di bus dalam perjalanan pulang ke rumah. Sepertinya sejumlah orang dalam mobil adalah komplotan sehingga aku terpaksa turun di kampung orang karena ketakutan dan itu malam hari. 

Sejak saat itu aku tidak lagi percaya bahwa pakaian memberi pengaruh signifikan bagi pencegahan pemerkosaan. Pengalaman terakhir melibatkan tukang ojek dalam suasana hujan dan jalan yang gelap saat melintasi perkebunan di perbatasan Bukit Kemuning dan Lampung Barat. Dalam perjalanan sang Bapak Ojek bercerita tentang seorang rekan sesama tukang ojek yang memerkosa penumpangnya sendiri. 

"Ada tuh orang sana, tukang ojek juga yang memang ganteng tapi ya gitu deh, mesum! Dia pernah merkosa penumpangnya. Setelah puas trus si cewek diantar pulang ke rumahnya trus biaya ojeknya digratisin," katanya. Ceritanya kok aneh ya, seakan-akan si cewek diam aja diperkosa dan nggak melawan dan malah mau diantar pulang oleh pemerkosanya. 

"Oh gitu ya, Pak. Kalau saya ke mana-mana bawa pisau, Pak. Buat jaga-jaga. Kalau mau gerak cepat ya tinggal cabut jarum pentul aja dari jilbab, ditusukin ke leher atau mata cowok bajingan gitu, Pak." Jawabku sebagai warning. Karena kupikir justru si Bapak lah pelaku pemerkosaan yang disamarkan sebagai orang lain. 

"Oh gitu ya, Neng." Katanya.
"Ya, Pak. Kalau ada orang berani coba perkosa saya akan saya bunuh!" Aku mengancam.
"Wah Eneng berani juga ya orangnya," katanya dengan suara agak bergetar.
"Iya, Pak karena mereka jahat. Nggak mikir lahir dari perempuan juga," pungkasku. 

Trus karena hujan deras si Bapak berhenti di sebuah gubuk tempat penampungan air warga. Nggak ada lampunya dan gelap, dan hujan. Horor banget pokoknya. Saat berteduh tiba-tiba si Bapak melipir ke belakang gubuk, mengaku mau pipis. Pas aku tunggu-tunggu si Bapak nggak muncul juga padahal hujan udah agak reda. Kuambil pisau dan buah apel dari tasku dan si Bapak muncul dari arah lain, dari arah belakangku. Aku memberinya warning. Aku tahu apa rencananya dengan mengambil jalur lain sepulang pipis. Dia pikir aku bego dan nggak bisa mencium rencana jahatnya kepadaku.

Oke, pembaca mungkin bertanya mengapa aku masih menumpang ojek si Bapak mesum dan nggak beralih ke angkutan lain? Idealnya demikian. Masalahnya saat itu hujan dan malam hari. Bis udah nggak ada, angkutan lain nggak ada, rumah-rumah penduduk sepi nggak bisa minta tolong dan rumahku masih sangat jauh sehingga nggak mungkin aku lari, yang ada kakiku bakal pengkor.

Lagian kalau lari justru aku akan jadi santapan empuk. Maka kugenggam pisauku sembari memakan apel sampai si Bapak mengantarkanku ke gang depan rumah (ingat ya bukan di depan halaman rumah). Lega rasanya bisa menyelamatkan diri dari kemungkinan menjadi korban pemerkosaan.

qbukatabu.org | 9 bentuk kekerasan seksual dalam RUU PKS
qbukatabu.org | 9 bentuk kekerasan seksual dalam RUU PKS
Sayangnya, ketika aku menceritakan kisah-kisah di atas sebagai pembelajaran, sejumlah orang justru menyudutkanku seakan-akan aku bangga pernah mengalami kejadian horor semacam ini. Ingin sekali aku mengatakan betapa tolol mereka, tapi nggak jadi, sebab mungkin mereka kurang peka karena hidupnya ada di zona nyaman sehingga nggak empati dengan pengalaman buruk orang lain.

Pengalaman-pengalaman mengerikan inilah yang membuatku terus menulis untuk menjadi bagian dari upaya melawan kekerasan seksual, dan melawan stigma soal kekerasan seksual sejak dalam pikiran.

Pemerkosaan memang bukan isu baru. Praktek kejahatan moral ini telah lama ada dalam peradaban manusia. Pemerkosaan seringkali dijadikan motif untuk menghukum dan menghina sebuah keluarga, suku, komunitas, kerajaan, hingga korban secara personal.

Ada perempuan diperkosa karena menolak menikah dengan kekasihnya yang ternyata merupakan seorang penjahat. Ada seorang istri diperkosa untuk mempermalukan harga diri suaminya dalam masyarakat. Ada perempuan dari etnis tertentu yang diperkosa secara massal sebagai ajang penghinaan. 

Ada tawanan perang perempuan diperkosa sebagai bentuk penghinaan kepada lawan. Ada ayah memerkosa anak perempuannya sendiri karena ia tak mau lelaki lain menikahi anaknya. Ada gadis remaja diperkosa beramai-ramai sepulang sekolah. Ada seorang bayi perempuan berusia dua tahun diperkosa. Bahkan, di zaman Mesir kuno mayat perempuan cantik dibiarkan selama beberapa hari agar membusuk sebelum diproses menjadi mumi, karena seringkali mayat segar diperkosa petugas pembuat mumi.

Ada pertanyaan penting terkait kenyataan ini: apakah Tuhan menciptakan manusia berjenis kelamin lelaki dengan kehendak bawaan menjadi pemerkosa? Jika bukan, maka apakah memerkosa merupakan warisan biologis dan psikologis nenek moyang manusia sejak zaman lampau? Apakah kehendak menundukkan lawan dengan memerkosanya diwariskan secara turun temurun dalam DNA manusia, khususnya lelaki?

Pertanyaan di atas bukan bermaksud menyudutkan, melainkan sebagai pintu masuk pada proses berpikir kritis atas masalah ini. Memang, korban pemerkosaan tidak melulu perempuan karena ada juga lelaki, anak lelaki dan lelaki tua. Tetapi, sebagian besar korban kekerasan seksual adalah perempuan dan kisah-kisah pemerkosaan semakin hari semakin bikin merinding karena tingkat kekejian yang nggak terbayangkan. 

Misalnya, apakah masuk akal bayi perempuan berusia 2 tahun diperkosa? Kita nggak mungkin menyalahkan si bayi soal pakaian yang mengundang birahi si pemerkosa, bukan? 

Kekerasan seksual adalah kejahatan, dalam dalam bentuk tertentu seperti pemerkosaan masuk ke ranah pidana. Kasus kekerasan seksual selalu meningkat setiap tahun. Saat ini, Indonesia sudah masuk dalam kondisi 'Darurat Kekerasan Seksual' saking banyaknya kasus ini terjadi dan tanpa penanganan hukum yang berarti dari pihak berwenang.

Sebab bicara kekerasan seksual adalah soal pencegahan, perlindungan pada korban hingga hukuman yang setimpal bagi pelaku. Sehingga, rasanya terlampau bodoh jika kita membiarkan pembahasan produk hukum terkait masalah ini berlarut-larut bertahun-tahun lamanya. Kasus Baiq Nuril misalnya, sampai membutuhkan amnesti dari Presiden Jokowi karena produk hukum yang ada tidak memberikan perlindungan bagi korban yang saat itu malah dijerat oleh pasal dari UU ITE.

Mengapa kasus kekerasan seksual di Indonesia bisa disebut darurat? Data di lapangan yang menjawabnya. Data yang tersaji di lapangan menunjukkan bahwa kejadian terbanyak kekerasan seksual di di ranah rumah tangga, di tempat yang seharusnya paling aman. Data dalam gambar diatas secara terang benderang menunjukkan bahwa kekerasan seksual semakin banyak dilakukan oleh ayah kandung dan paman korban. 

Dalam konteks ini, bagaimana kita menjelaskan bahwa masalah pakaian perempuan menjadi faktor pemicu terjadinya kekerasan seksual sedangkan korban ada dalam rumah yang seharusnya jadi tempat paling aman di dunia. Jika rumah sudah menjadi medan tempur dalam kasus kekerasan seksual, bagaimana kita berharap di luar rumah kita aman? Jika semua tempat tidak aman dari kemungkinan terjadinya kekerasan seksual, ke mana kita mencari perlindungan selain pada negara melalui produk hukumnya?

Upaya teranyar yang dilakukan adalah dengan mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi undang-undang. Wacana awal tentang RUU PKS sudah ada sejak 1998 setelah berdirinya Komnas Perempuan. Draf awal RUU PKS masuk ke DPR-RI pada 2014 dan pembahasannya menjadi kewenangan Komisi VIII (yang berwenang dalam urusan agama dan sosial).

Pembahasannya cukup alot dan bolak-balik masuk Prolegnas sejak 2016. Kabarnya, RUU PKS menjadi program pengesahan pada 2018. Tapi, hingga September 2019 belum juga disahkan. Upaya pengesahan RUU PKS malah kebalap dengan RUU KPK!

Selama menunggu pengesahan RUU PKS, ribuan korban kekerasan seksual terus berjatuhan. Korban kekerasan seksual pada perempuan dan anak perempuan sejak rahun 2014-2018 mencapai lebih dari 20.000 orang. Sejumlah kasus mencapai tingkat kesadisan yang mengerikan.

Misalnya kasus pemerkosaan berkelompok (gang rape) pada remaja bernama Yuyun di Bengkulu yang terjadi di siang bolong saat korban pulang sekolah. Setelah diperkosa secara bergiliran, dia dibunuh dan mayatnya dibuang ke jurang.

Ada juga kasus Eno yang setelah diperkosa oleh beberapa orang, kemaluannya dijebol dengan gagang pacul hingga menembus jantung dalam keadaan masih hidup. Kisah lain tentang seorang perempuan di Palembang yang diperkosa oleh pacar dan teman pacarnya, kemudian dibunuh dan mayatnya dibakar. Hingga kasus bayi berumur 2 tahun diperkosa ayah kandungnya sendiri. Super edan dan mengerikan nggak sih?

Mengapa pembahasan RUU PKS ini sangat alot sementara korban terus berjatuhan? Usut punya usut, masih ada sejumlah fraksi di DPR RI yang meributkan soal judul dan sejumlah definisi. Fraksi PKS, PPP dan PAN kekeuh ingin judul kebijakan ini diganti dari "kekerasan seksual" menjadi "kejahatan seksual". Selain itu, selama proses pembahasan berlangsung ada sejumlah pihak yang memancing di air keruh untuk melemahkan urgensi pengesahan RUU PKS menjadi undang-undang. 

Bayangkan, dalam sebuah petisi menolak RUU PKS, hampir 20.000 orang setuju menolak RUU PKS tanpa membaca draft RUU PKS dan naskah akademiknya. Bahkan RUU PKS dilabeli sebagai produk hukum yang akan melegalkan praktek perzinahan, LGBT, seks bebas dan sebagainya. Beuh, ngeri kali!

pkbi.or.id | Alasan mengapa RUU PKS perlu disahkan segera!
pkbi.or.id | Alasan mengapa RUU PKS perlu disahkan segera!
Kalau misalnya mereka menolak sebagian atau seluruh isi RUU PKS dengan argumen yang jelas, meyakinkan dan mampu memberikan solusinya secara konkret, aku bisa angkat topi sebagai tanda penghormatan pada proses berpikir kritis. Tapi, kalau menolak dan memberi stigma buruk sebelum membaca drafnya, atau kajian akademis sejumlah pakar dan institusi yang terpercaya ya bodoh namanya. Masa iya, kebodohan dalam memahami realitas kekerasan seksual di Indonesia menjadi penyebab semakin banyak orang menjadi korban. 

Sebagai penyintas kekerasan seksual, aku merasa memerangi kekerasan seksual dalam bentuk apapun adalah jihad fi sabilillah. Jika kita berdiam diri atau menggampangkan atau menganggap kekerasan seksual yang dialami orang lain tidak menjadi masalah bagi diri kita, maka kita telah menjadi bagian yang menghidupkan budaya pemerkosaan (rape culture).

Nah, candaan soal kekerasan seksual seperti perkosaan dalam pembuka artikel ini merupakan bentuk paling ringan dari piramida rape culture. Jka candaan soal pemerkosaan dianggap sebagai hal biasa, maka kita akan kena tulah pribahasa 'ala bisa karena biasa' dimana kita akan menganggap hal tersebut bukan sebagai ancaman. 

facebook SCORA-CIMSA | Piramida rape culture atau budaya pemerkosaan
facebook SCORA-CIMSA | Piramida rape culture atau budaya pemerkosaan
Jika kita baru menyadari bahaya kekerasan seksual setelah mendengar kasus pemerkosaan, pedophilia hingga pemerkosaan sadis setelah dicekoki obat terlarang atau alkohol, maka kita sudah ada di level "lambat" alias berkemungkinan gagal menyelamatkan hidup korban. Sehingga, semua pihak memang harus bersama-sama bertanggung jawab mulai dari pencegahan, advokasi terhadap korban hingga mengawal hukuman bagi pelaku. 

Mengapa kita semua harus bertanggung jawab meski saat ini hidup di zona nyaman? Karena kita semua berkemungkinan menjadi korban dan pelaku kekerasan seksual. Sehingga, memerangi kekerasan seksual adalah kewajiban sebagaimana memerangi pembunuhan. 

Setiap orang berhak atas rasa amah dari kejahatan dalam bentuk apapun, termasuk kekerasan seksual. Oleh karena itu, negara wajib memberikan perlindungan hukum. Selama ini, kebijakan terkait kasus kekerasan seksual masih sangat lemah dan seringkali menjadikan korban sebagai tersangka, hingga membebaskan pelaku karena lemahnya alat bukti. 

Alat ukurnya sederhana saja, yaitu meningkatnya kasus kekerasan seksual dari tahun ke tahun. Korban kekerasan seksual adalah pihak yang lemah sehingga harus mendapatkan perlindungan hukum yang adil dari negara, dan pelaku harus diganjar sesuai perbuatannya. Setiap warga negara berhak atas rasa aman.

Kekerasan seksual bukan soal seks, melainkan penindasan, perbuatan keji dan mungkar. Kehendak menindas korban dengan cara memerkosanya misalnya tentu dimulai dari pikiran. Bahkan, sejumlah kasus pemerkosaan direncanakan dengan matang. Jika pikiran dan jiwa dalam keadaan hendak melakukan perbuatan jahat seperti memerkosa, bukankah kita harus melawannya? Dalam Islam, menundukkan hawa nafsu merupakan jihad tertinggi karena ini jenis jihad yang dilakukan seumur hidup. 

Dok. Rappler Indonesia | Hubungi nomor-nomor darurat ini jika diperlukan
Dok. Rappler Indonesia | Hubungi nomor-nomor darurat ini jika diperlukan
Sayangnya, meski Indonesia merupakan negara paling religius di dunia, kasus-kasus kekerasan seksual justru termasuk paling tinggi di kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu, upaya kita bersama mendesak pemerintah mengesahkan RUU PKS merupakan satu bentuk dukungan demi hadirnya perlindungan hukum bagi seluruh warga negara dari kekejian dan kemungkaran bernama kekerasan seksual. 

Bagaimana, apakah pembaca siap berjihad melawan kekerasan seksual? 

Jakarta, 19 September 2019

Bahan bacaan: 
tempo.co
konde.co
solopos.com
acehimage.com
who.int
thedailystar.net
tirto.id
kumparan.com
cnnindonesia.com
komnasperempuan.go.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun