![[menulis] Menulis sebagai Ritual Refleksi di Ujung hari](https://assets-a2.kompasiana.com/items/album/2025/09/03/eba8dc2e-56f7-4846-91fb-67b7d862a109-68b85aadc925c4320b214562.png?t=t&v=100&x=100&info=meta_related)
Sebab terkadang, yang kita butuhkan bukan tepuk tangan, melainkan ketenangan untuk menerima diri sendiri apa adanya.
Kita sering lupa setiap orang punya waktunya masing-masing.
Ada yang berlari cepat di awal, ada yang baru menemukan arah setelah jatuh berkali-kali.
Tidak semua harus bersinar di usia muda. Tidak semua harus punya pencapaian besar untuk disebut berhasil.
Yang terpenting adalah bagaimana kita terus tumbuh, meski pelan terus berproses, meski tidak dilihat siapa pun.
Aku tahu, generasi ini lelah.
Kita tumbuh dengan ekspektasi tinggi dan kenyataan yang keras.
Kita diajarkan untuk kuat, tapi jarang diajarkan bagaimana cara beristirahat.
Namun pelan-pelan aku belajar satu hal tidak apa-apa jika belum sempurna. Tidak apa-apa jika belum punya semuanya. Tidak apa-apa jika masih belajar menjadi baik.
Karena kesempurnaan bukan tujuan, kedamaianlah yang seharusnya kita cari.
Dan barangkali, bentuk keberanian terbesar hari ini adalah ketika kita bisa berkata dengan jujur:
