Mohon tunggu...
Endah Manganti
Endah Manganti Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis, Copy Writer, Influencer, Public Relation

Saya seorang Penulis, Copy Writer, Influencer, Public Relation yang terlahir dari Mama yang berasal dari Suku Ondae Poso, Sulawesi Tengah campur Banjar, Kalimantan Selatan dan Papa yang asli Sunda, Jawa Barat. Saya hobi menulis dan senang mendeskripsikan hampir semua perasaan, pengalaman dan apapun yang saya lihat. Saya juga senang dan suka menulis Cerpen. Salam dan bravo selalu ONDAE!!! Ohya skefo, saya pernah selama hampir 20 tahun menjalani profesi sebagai Jurnalis di koran lokal, majalah komunitas dan terakhir di Harian Bisnis Indonesia. Terima kasih!

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Senioritas

8 November 2022   02:27 Diperbarui: 8 November 2022   02:34 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Kalau berbicara mengenai senioritas, saya jadi teringat saat masih duduk di bangku sekolah dan mengenakan seragam putih abu-abu. Saat masih putih merah dan putih biru, seingat saya tidak dikenal paham mengenai "senioritas". Menginjak bangku sekolah menengah atas atau SMA, paham ini baru diberlakukan hingga menginjak lantai kampus dengan almamater berwarna abu-abu di Universitas Sam Ratulangi Manado.

Masih teringat di benak saya ketika baru saja duduk di bangku SMA dan masih dalam masa orientasi atau pengenalan siswa baru. Saat itu ada seorang senioritas yang dengan lagak galaknya suka sekali membentak-bentak kami, siswa yang baru masuk, seakan ingin memberitahukan bahwa dia adalah senior di sekolah itu dan wajib hukumnya untuk kita "hormati" sebagai siswa yang lebih dulu masuk di sekolah itu dan otomatis berpredikat kakak kelas atau kakak tingkat bagi kami.

Alih-alih bangga punya kakak kelas, kami malah sangat kesal dengan lagaknya yang kami nilai sangat sok berkuasa. Hingga akhirnya, si kakak kelas tersebut selalu menjadi bahan ghibah kami saat sedang berkumpul bersama atau meski hanya berdua dengan teman sekelas atau setingkat. Intinya, kami muak melihat lagak, gaya dan sikap arogansi yang dimunculkan si kakak kelas yang menganut kental paham senioritas di sekolah kami.

Alhasil, kami menjadi sangat hormat, segan dan simpatik justru kepada kakak kelas yang dalam menghadapi kami, adik-adik kelasnya, dengan sikap yang biasa saja. Menjadikan kami teman, sahabat dan selalu merangkul serta mengayomi kami. 

Hingga sekarang, kami dengan sang kakak kelas yang tak berpedoman pada senioritas dan junioritas di sekolah kemudian menjadi teman layaknya saudara. Bahkan kami memasukkan sang kakak kelas di grup WhatsApp khusus angkatan yang kami buat, meski kenyataannya si kakak kelas bukan berasal dari angkatan yang sama dengan kami.  

Beralih ke dunia kerja, sikap senioritas kembali terlihat. Ketika itu saya berpikir, lulus dari bangku kuliah, tak akan ada kendala di dunia kerja, apalagi ijazah sarjana strata 1 sudah saya kantongi. "Pasti tidak akan ada kendala apapun. Kan saya sudah sarjana, siapa lagi yang mau macam-macam?" pikirku ketika itu.

Namun ternyata pikiranku ibarat pepatah "Jauh panggang dari api" alias "Tindakan yang tidak sesuai dengan maksudnya". Saya masih ingat dengan jelas, awal bergelut di dunia jurnalis di Kota Palu, Sulawesi Tengah, saya menjadi kontributor pada sebuah koran mingguan di kota yang terkenal dengan menu khas Kaledo tersebut. 

Saya sering melakukan peliputan di Kantor Pemprov Sulawesi Tengah dan otomatis bertemu dengan banyak rekan jurnalis dari media lainnya. Ada yang bernasib sama seperti saya, baru saja menjajaki dunia jurnalis di kota yang suhunya bisa mencapai 37 hingga 39 derajat celsius di siang hari. Namun tak sedikit yang sudah lama dan cukup berpengalaman dengan pekerjaan yang akrab dengan dunia tulis menulis.

Ketika bertemu dengan para jurnalis yang sudah lebih dulu bergelut dengan profesi yang penuh tantangan ini, saya justru tidak merasa mereka sebagai senior karena mereka juga sama sekali tidak menunjukkan sikap senioritas. Bahkan mereka tak jarang menjadi "guru" dan teman diskusi untuk sharing bagi saya yang belum begitu paham karena baru saja terjun secara langsung untuk liputan dan melakukan wawancara dengan narasumber. 

Tak segan mereka berbagi ilmu tentang bagaimana teknik melakukan wawancara hingga berhasil mengorek informasi yang lebih mendalam dari para narasumber. Pikirku saat itu, "Alhamdulillah...mereka ternyata baik semua walaupun sudah menjadi dan sangat senior di dunia kewartawanan."

Hingga akhirnya saya pun melamar di salah satu koran harian di Kota Palu, Nuansa Pos, atas saran seorang teman yang melihat bahwa ada lowongan di koran tersebut.

Saat membawa lowongan, panas matahari baru saja berada tepat di atas kepala. Ternyata di jam tersebut kantor redaksi rerata masih sepi bak kuburan, dan nanti ramai jelang munculnya sunset yang kerap terlihat dari pinggir Pantai Talise. Tak perlu menunggu lama, beberapa hari kemudian saya mendapat telepon dari sekretaris redaksi bahwa saya dipanggil oleh pemimpin redaksi untuk melakukan proses wawancara.

Usai saya diwawancara, informasi bahwa saya diterima bekerja di koran Nuansa Pos langsung saya dapatkan seketika itu juga, dan saya diminta untuk memulai aktivitas sebagai seorang jurnalis di surat kabar tersebut pada keesokan harinya. Bahkan kata pemimpin redaksi yang mewawancarai saya ketika itu, "Kalau sudah punya tulisan sekarang, serahkan saja langsung ke redaksi supaya bisa diterbitkan untuk besok."

Keesokan harinya, setelah berpeluh karena panas seharian melakukan liputan, saya langsung menuju ke kantor untuk membuat berita dan menyerahkan langsung ke redaksi. Malamnya setelah semua berita diedit, dilayout dan siap untuk dicetak, kami pun diminta untuk mengikuti rapat redaksi untuk mempersiapkan bajet berita dan isu apa yang sekiranya sedang hangat dan cocok untuk dijadikan headline besok.

Tiba di ruang rapat redaksi, terpampang nyata semua wajah penghuni ruang redaksi yang sebenarnya, yang muncul kalau matahari sudah mau terbenam. Beberapa di antaranya sudah cukup familiar karena sering bertemu di beberapa liputan, pernah saling sapa dan satu dua di antaranya malah lumayan kenal sebab sering berinteraksi selama saya melakukan liputan di lapangan.

Karena merasa sudah lumayan kenal, saya pun menebar senyum. Bukan bermaksud sok kenal, tapi saya memang merasa kita sudah pernah bertemu beberapa kali, sehingga "wajib" buat saya untuk menyapa teman-teman tersebut. Namun tak dinyana, boro-boro membalas senyum dan turut menyapa saya, untuk memandang wajah saya pun mereka seperti tak sudi.

Sejak awal hingga rapat bubar, tak satu pun dari mereka yang saya kenal untuk menyapa atau melempar senyum kepada saya. Sempat saya berpikir, "Mungkin karena sedang rapat dan ada bos, jadi pada diam semua." Namun sebenarnya bukan itu alasan diam mereka, tetapi ternyata karena masih berlaku sistem senioritas dan junioritas di kantor tersebut. Astagfirullahadzim.....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun