Dengan demikian, RPJMN 2025--2029 membuka ruang untuk memperkuat peran industri baja ke depan, terutama melalui pendekatan lintas sektor yang terintegrasi. Hal ini menjadi momentum bagi semua pemangku kepentingan untuk bersama-sama mendorong agar kebijakan pengembangan industri baja ditempatkan sebagai prioritas dalam kerangka transformasi industri nasional yang lebih tangguh dan berdaya saing
Jika dicermati secara keseluruhan, ketiga dokumen perencanaan strategis nasional---yakni RIPIN 2015--2035, RPJPN 2025--2045, dan RPJMN 2025--2029---belum sepenuhnya mencerminkan posisi industri baja sebagai sektor strategis yang mendapatkan perhatian khusus. Meskipun tercantum sebagai bagian dari kelompok logam dasar, industri baja belum mendapatkan pengakuan eksplisit sebagai sektor prioritas utama yang memiliki peran kunci dalam menopang agenda industrialisasi dan pembangunan ekonomi jangka panjang.
Padahal, dengan mempertimbangkan pentingnya baja dalam mendukung infrastruktur, manufaktur, energi, hingga pertahanan, penguatan sektor ini dapat menjadi fondasi penting dalam memperkuat daya saing nasional. Oleh karena itu, ke depan diperlukan penajaman arah kebijakan dan afirmasi yang lebih kuat terhadap industri baja dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional, agar sejalan dengan semangat transformasi ekonomi menuju Visi Indonesia Emas 2045.
Ketiadaan posisi eksplisit industri baja sebagai sektor prioritas utama dalam dokumen perencanaan nasional menunjukkan bahwa industri ini belum mendapatkan perhatian yang sepadan dengan nilai strategis yang dimilikinya. Tanpa menjadikan baja sebagai sektor prioritas utama secara integral dari strategi transformasi ekonomi, maka pembangunan sektor-sektor hilir---seperti otomotif, elektronika, energi, hilirisasi mineral dan industri, serta pertahanan---akan berlangsung tanpa fondasi yang kokoh. Belajar dari pengalaman berbagai negara yang berhasil membangun industrinya seperti Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, Uni Eropa, Tiongkok, dan India, kita bisa menarik kesimpulan bahwa tidak ada negara yang mampu menciptakan kemandirian industri tanpa lebih dulu membangun industri baja yang kuat. Saat ini, Indonesia tengah berada pada momentum penting untuk mewujudkan visi Indonesia Emas melalui penguatan basis industri nasional. Namun demikian, masih diperlukan penguatan atas strategi dan arah investasi serta struktur kelembagaan di sektor baja. Tanpa perubahan pendekatan, industri baja nasional akan terus tertinggal di saat negara-negara lain telah menjadikannya sebagai instrumen utama dalam membangun kedaulatan ekonomi. Oleh karena itu, diperlukan langkah korektif secara menyeluruh yang menyentuh jantung perencanaan pembangunan nasional.
Menjadikan Baja sebagai Sektor Prioritas Pembangunan
Jika Indonesia ingin mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada kekuatan industrinya sendiri secara berkelanjutan, serta menjamin kedaulatan dan kepentingan nasional, maka reposisi industri baja sebagai sektor prioritas nasional merupakan langkah yang tak dapat ditunda. Langkah ini perlu dilakukan melalui pengakuan secara eksplisit dalam dokumen perencanaan, yang kemudian diikuti dengan kebijakan konkret dan lintas sektoral yang mengintegrasikan kepentingan industri baja ke dalam arsitektur pembangunan nasional.
Langkah pertama adalah memasukkan industri baja secara eksplisit ke dalam dokumen perencanaan strategis nasional---baik Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), maupun dokumen turunan sektoral lainnya. Pengakuan formal ini akan menjadi dasar politik dan administratif untuk mengarahkan prioritas kebijakan, alokasi sumber daya, koordinasi lintas kementerian, serta pembentukan instrumen-instrumen pendukung lainnya. Tanpa afirmasi eksplisit ini, industri baja akan terus diperlakukan sebagai sub sektor pelengkap, padahal perannya sangat mendasar dalam menopang seluruh agenda industrialisasi jangka panjang.
Langkah kedua adalah menyusun roadmap industri baja nasional yang terintegrasi, yang tidak hanya memetakan arah pengembangan sektoral, tetapi juga menjembatani kepentingan lintas sektor---seperti infrastruktur, energi, manufaktur, logistik, industri hijau, dan pertahanan. Roadmap ini harus menetapkan target kapasitas nasional yang sejalan dengan proyeksi kebutuhan baja untuk Indonesia Emas 2045, strategi penguatan rantai pasok hulu-hilir, penguasaan teknologi, serta skema pembiayaan investasi yang realistis. Di dalamnya juga harus dimuat kerangka kebijakan proteksi, insentif fiskal dan non-fiskal, serta peta jalan transisi menuju industri baja rendah karbon. Roadmap ini bukan hanya berfungsi sebagai rencana kerja semata, tetapi harus menjadi panduan utama yang mengarahkan pembangunan industri baja secara menyeluruh dan konsisten..
Langkah ketiga, berdasarkan arah dan prioritas yang tertuang dalam roadmap tersebut, pemerintah perlu mendorong agar industri baja ditetapkan sebagai bagian dari portofolio investasi strategis nasional oleh Danantara. Sebagai entitas yang bertugas mengelola investasi strategis negara, Danantara memiliki posisi unik untuk menjembatani perencanaan jangka panjang dengan eksekusi strategis yang terukur dan terarah. Target peningkatan kapasitas baja nasional hingga 100 juta ton per tahun pada 2045 akan membutuhkan investasi lebih dari USD 100 miliar, angka yang jauh melampaui kapasitas pembiayaan APBN maupun daya dukung swasta nasional. Dalam konteks inilah, peran Danantara menjadi vital---sebagai agregator pembiayaan jangka panjang, katalis kemitraan strategis, serta fasilitator sinergi antar-BUMN yang dibutuhkan untuk membangun industri baja dari hulu hingga hilir. Penempatan industri baja ke dalam portofolio utama Danantara tidak hanya akan memperkuat posisi sektor ini dalam ekosistem pembangunan, tetapi juga menjadi instrumen negara untuk mengarahkan struktur industri ke arah yang lebih mandiri dan berdaya saing.
Langkah keempat adalah memperkuat kelembagaan negara dalam tata kelola industri baja nasional. Di berbagai negara, kelembagaan yang kuat terbukti menjadi fondasi pengembangan industri baja yang berdaya saing. India, misalnya, memiliki Ministry of Steel yang secara khusus merumuskan kebijakan dan program pengembangan sektor baja. Tiongkok mengandalkan jaringan lembaga riset dan inovasi yang terkoordinasi untuk menopang kemajuan industrinya. Indonesia juga perlu membentuk institusi yang secara eksplisit memiliki mandat, otoritas, dan sumber daya untuk memimpin penguatan sektor baja nasional. Kehadiran lembaga semacam ini akan memperkuat koordinasi lintas kementerian dan pemangku kepentingan, serta menyatukan berbagai inisiatif dalam kerangka yang lebih terintegrasi. Dengan kepemimpinan yang kuat dan mandat yang jelas, lembaga ini dapat menjadi penggerak transformasi industri baja menuju ekosistem yang mandiri, tangguh, dan berkelanjutan.
Langkah kelima adalah merumuskan rencana perlindungan dan pemberian insentif yang terintegrasi dalam kerangka perencanaan strategis jangka panjang. Di tengah meluasnya praktik perdagangan tidak adil dan gelombang proteksionisme global, kebijakan penguatan industri baja tidak cukup hanya responsif terhadap dinamika jangka pendek. Indonesia perlu menetapkan desain perlindungan berbasis kebutuhan sektor hilir, memperkuat implementasi Neraca Komoditas, mendorong kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang konsisten, serta memberikan insentif fiskal dan non-fiskal yang mendorong peningkatan kapasitas dan daya saing industri nasional. Perencanaan ini harus menjadi bagian dari roadmap dan dimasukkan secara tegas dalam dokumen perencanaan pembangunan, agar industri baja memiliki kepastian arah dan dukungan kebijakan yang berkelanjutan.