Mohon tunggu...
Widodo Antonius
Widodo Antonius Mohon Tunggu... Guru SD Tarsisius Vireta Tangerang

Hobi membaca menulis dan bermain musik

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Suara Nitizen untuk Satwa: Jeritan Digital Menolak Kepunahan

27 September 2025   11:12 Diperbarui: 27 September 2025   07:48 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Suara Nitizen ( Sumber: pixabay.com ) 

Suara Netizen untuk Satwa: Jeritan Digital Menolak Kepunahan

 

Oleh: Widodo, S.Pd.

Pendahuluan

Saya pernah menyaksikan kebakaran hutan baik secara langsung ataupun melalui berita televisi puluhan tahun yang lalu. Kebakaran hutan di Indonesia menjadi sorotan dunia. Dalam hati saya mengatakan bahwa kebakaran hutan ini ulah siapa? Alam atau manusia pasti akan berdampak pada lingkungan dan satwa, terutama satwa karismatik di Indonesia.

Saya dan murid di SD terus mempelajari tema kebakaran hutan dan penyebab kepunahan hewan langka di Indonesia kala itu. Melalui literasi buku dan berita, murid dapat menemukan pembahasan tentang bagaimana alam sedang krisis, dan satwa kita menjadi korban yang paling menderita.

Pembahasan: Mengintip Penyebab Kepunahan Hewan Karismatik Indonesia

Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae)

  • Deforestasi & Perubahan Habitat Perkebunan kelapa sawit, HTI (hutan tanaman industri), dan pertambangan membuat habitat harimau menyusut drastis.
  • Perburuan Ilegal Harimau diburu untuk diambil kulit, taring, dan organ tubuhnya yang dianggap memiliki nilai mistis maupun ekonomi.
  • Konflik dengan Manusia Akibat habitat menyempit, harimau sering keluar hutan mencari mangsa sehingga terjadi konflik dengan warga dan berujung pada pembunuhan harimau.

Gajah Sumatera / Gajah Lampung (Elephas maximus sumatranus)

  • Alih Fungsi Lahan Hutan di Lampung banyak berubah jadi perkebunan dan permukiman sehingga jalur jelajah gajah terputus.
  • Perburuan Gading gajah memiliki nilai jual tinggi di pasar gelap. Selain itu, gajah sering dibunuh karena dianggap hama yang merusak kebun warga.
  • Fragmentasi Habitat Populasi gajah menjadi terpecah ke kantong-kantong kecil sehingga sulit berkembang biak secara alami.

Orang Utan Kalimantan (Pongo pygmaeus)

  • Kerusakan Hutan Tropis Penebangan liar dan ekspansi perkebunan sawit menghancurkan hutan hujan Kalimantan yang merupakan habitat utama orang utan.
  • Perdagangan Satwa Liar Bayi orang utan sering ditangkap untuk diperdagangkan, biasanya induknya dibunuh lebih dulu.
  • Kebakaran Hutan Pembakaran lahan untuk perkebunan menyebabkan orang utan kehilangan habitat sekaligus sumber makanan.
  • Konflik dengan Manusia Orang utan yang tersesat di kebun sawit dianggap hama dan kerap dibunuh.

Secara umum, penyebab utama kepunahan satwa karismatik di Indonesia adalah deforestasi, perburuan ilegal, perdagangan satwa, konflik dengan manusia, serta fragmentasi habitat.

 

Kisah Pilu

Suatu ketika, seekor induk orang utan ditemukan mati di Kalimantan. Tubuhnya penuh luka bekas senjata tajam. Bayinya yang masih kecil digendong dalam kondisi lemah. Bayi itu kemudian diselamatkan oleh tim konservasi. Namun, berapa banyak bayi orang utan lain yang tidak terselamatkan?

Di Lampung, sekelompok gajah liar memasuki kebun singkong warga. Balasan manusia begitu kejam: gajah itu diracun hingga mati. Padahal, mereka hanya mencari makan di jalur jelajahnya yang dulu adalah hutan lebat.

Di Sumatera, harimau yang kelaparan kerap turun ke desa. Warga ketakutan, lalu menjerat atau menembaknya. Satwa yang seharusnya menjadi simbol kebanggaan bangsa, kini justru dianggap musuh.

Fakta Mencengangkan di Balik Kepunahan

  1. Populasi Harimau Sumatera kini diperkirakan hanya tersisa sekitar 400--600 ekor di alam liar.
  2. Gajah Sumatera kehilangan lebih dari 70% habitatnya dalam 25 tahun terakhir, dengan populasi hanya sekitar 2.400 ekor.
  3. Orang Utan Kalimantan menyusut hingga lebih dari 50% dalam 60 tahun terakhir, akibat deforestasi dan perburuan.
  4. Indonesia menempati peringkat tinggi dalam perdagangan satwa liar ilegal di Asia Tenggara.
  5. Jika tidak ada upaya serius, dalam beberapa dekade mendatang satwa-satwa ini hanya akan tinggal nama di buku pelajaran.

Perhatian bagi Para Penulis terhadap Kisah Pilu dan Fakta Kepunahan

Para penulis memiliki peran yang tidak kecil dalam menyuarakan krisis lingkungan dan kepunahan satwa karismatik. Kisah pilu tentang harimau yang diburu, gajah yang diracun, atau orang utan yang kehilangan hutan bukan sekadar data ilmiah---tetapi kisah kemanusiaan yang menyentuh hati.

  1. Mengubah Fakta Menjadi Narasi yang Menyentuh
    Data statistik sering kali terasa dingin. Di tangan penulis, angka-angka populasi satwa bisa dihidupkan menjadi cerita penuh emosi. Misalnya, alih-alih hanya menyebutkan "400 harimau tersisa", penulis bisa menggambarkan bagaimana seekor induk harimau berjuang menjaga anaknya di tengah hutan yang semakin sempit.
  2. Membangun Empati dan Kesadaran
    Dengan bahasa yang sederhana, indah, dan mengalir, penulis bisa membuat pembaca merasa dekat dengan nasib satwa liar. Empati ini penting agar masyarakat tidak hanya tahu, tetapi juga peduli dan bertindak.
  3. Menjadi Jembatan antara Sains dan Publik
    Penelitian ilmiah sering menggunakan istilah rumit. Tugas penulis adalah menyederhanakan dan membungkusnya menjadi bacaan yang mudah dipahami masyarakat umum, baik dalam bentuk artikel, cerpen, esai, atau bahkan puisi.
  4. Mengabadikan Kisah Sebelum Terlambat
    Jika kepunahan benar-benar terjadi, tulisan penulis akan menjadi jejak sejarah, pengingat bagi generasi mendatang bahwa manusia pernah lalai menjaga alam. Dengan demikian, tulisan bukan hanya karya, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap lupa.
  5. Menggugah Aksi Nyata
    Tulisan yang kuat dapat menggerakkan pembaca untuk mendukung kampanye pelestarian, ikut serta dalam kegiatan konservasi, atau sekadar lebih bijak dalam penggunaan produk yang berkaitan dengan deforestasi.

Singkatnya, perhatian penulis terhadap kisah pilu dan fakta kepunahan bukan hanya soal estetika bahasa, melainkan tanggung jawab moral. Dengan pena, penulis bisa menjadi suara bagi yang bisu, juru bicara bagi satwa yang tak mampu membela diri, sekaligus pengingat keras bagi manusia agar tidak terus mengulangi kesalahan.

 

Apa Kata Mereka  ( Testimoni Warganet )

  1. Twitter/X

"Baru baca berita, populasi Harimau Sumatera tinggal 400-an ekor . Bayangkan kalau anak cucu kita hanya bisa melihatnya di buku sejarah. Tolong, jangan biarkan satwa karismatik kita punah hanya karena rakusnya manusia. #SaveSumatranTiger #WildlifeInCrisis"

  1. Instagram

"Gajah Sumatera makin hari makin berkurang. Banyak yang mati diracun karena masuk ke kebun warga. Padahal itu dulu adalah jalur jelajah mereka . Kita yang merebut hutan, mereka yang disalahkan. Hati siapa yang tidak pilu melihatnya?"

  1. Facebook

"Kalimantan terbakar, orang utan kehilangan rumah. Setiap kali hutan terbakar, ada ratusan hewan mati kelaparan atau terbakar hidup-hidup. Kepunahan bukan mitos, ini sedang terjadi di depan mata kita. Kalau bukan sekarang kita peduli, kapan lagi?"

  1. TikTok (caption video)

"Bayangkan hidup di dunia tanpa suara hutan, tanpa kicau burung, tanpa jejak harimau di tanah basah. Semua hanya karena kita terlalu sibuk menebang hutan. Satwa liar itu bukan musuh kita, mereka korban kita. #SaveWildlife #KrisisAlam"

  1. YouTube Comment

"Orang utan itu 97% DNA-nya mirip manusia. Tapi ironis, justru manusia yang jadi penyebab mereka hampir punah. Kalau kita masih diam, sebentar lagi hanya tinggal animasi di film dokumenter."

Penutup

Kisah pilu dan fakta mencengangkan di atas seharusnya menyadarkan kita bahwa satwa karismatik bukan sekadar hewan, tetapi penyangga ekosistem. Hilangnya satu spesies berarti terganggunya keseimbangan alam.

Sebagai guru, saya percaya literasi lingkungan sejak dini adalah kunci. Murid-murid harus mengenal, mencintai, dan melindungi satwa Indonesia. Bukan hanya pemerintah atau aktivis, melainkan semua elemen masyarakat wajib bergerak.

Satwa karismatik Indonesia tidak boleh hanya dikenang dalam cerita, tetapi harus tetap hidup di hutan kita untuk generasi mendatang.

Daftar Pustaka

  • WWF Indonesia. (2023). Laporan Konservasi Satwa Karismatik Indonesia.
  • KLHK. (2022). Data Populasi Satwa Dilindungi.
  • Mongabay Indonesia. (2021). Krisis Habitat Satwa Liar di Indonesia.
  • Kompas. (2020). Gajah, Harimau, dan Orangutan: Tiga Satwa Karismatik yang Terancam Punah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun