Pelampung Terakhir
Oleh: Widodo, S.Pd.
Â
Bagian pertama : Memeluk Erat
Namaku Eka. Laut telah memberiku pelajaran tentang kehilangan yang tak pernah diajarkan oleh daratan: bahwa cinta kadang tak mampu menyelamatkan, bahkan jika kau telah memeluknya erat-erat di tengah ombak.
Hari itu, matahari belum sepenuhnya naik saat kami naik ke kapal Jaya Laut. Aku dan Bapak duduk berdampingan di ruang penumpang. Beliau mengisahkan kembali masa kecilnya yang akrab dengan laut. Suaranya bergetar bahagia, seperti ombak kecil yang mencium lambung kapal. Aku hanya tersenyum, mendengarkan. Tak pernah kusangka, itu akan jadi dongeng terakhir yang ia ceritakan padaku.
Tiga menit.
Itulah waktu yang dibutuhkan semesta untuk merampas semua. Kapal berguncang hebat, seperti tubuh yang meronta menolak ajal. Tidak ada peringatan. Tidak ada aba-aba. Hanya suara jeritan, benda-benda berhamburan, dan air laut yang menyerbu masuk secepat ketakutan.
Aku memegang lengan Bapak. Tangannya dingin, tapi genggamannya masih kuat. Dalam panik, kami berlari mencari pelampung. Seperti anak kecil di pesta ulang tahun yang kehabisan balon, kami berebut dengan yang lain. Kudapat satu. Kupakaikan pada Bapak. Sementara aku sendiri hanya menggenggam besi geladak yang berkarat, seperti menggenggam doa.
Lalu air datang.
Menghantam. Menenggelamkan. Membungkam.