Mohon tunggu...
Widodo Antonius
Widodo Antonius Mohon Tunggu... Guru SD Tarsisius Vireta Tangerang

Hobi membaca menulis dan bermain musik

Selanjutnya

Tutup

Horor

Kamar Nomor 13

13 Juli 2025   07:15 Diperbarui: 12 Juli 2025   17:43 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kamar Nomor 13 dari Pixabay

Kamar Nomor 13

Oleh: Widodo, S.Pd.

Namaku Bani. Aku seorang guru wali kelas 6 di SD Swasta Dermaga Pantura. Awal Agustus ini, aku bersama dua rekan guru—Bu Surti dan Bu Yohana, guru agama—mengantar 50 murid untuk mengikuti kegiatan retret di sebuah rumah retret bernama Semedi yang terletak di kaki bukit Ambarawa.

Tujuan kegiatan ini jelas: melatih kemandirian, menggali jati diri sebagai pribadi yang unik, dan membentuk karakter unggul untuk menghadapi zaman milenial. Perjalanan ke sana menyenangkan. Kami menyewa bus AC Subur Jaya Makmur, lengkap dengan permainan seru selama di perjalanan—tebak kata, berkata cepat, dan lomba yel-yel. Anak-anak bersorak gembira. Semuanya tampak berjalan baik. Semuanya... sampai kami tiba.

Rumah retret Semedi berdiri di tengah rindangnya hutan pinus. Udara sejuk menyambut kami. Kami disambut oleh seorang rohaniwan, Bruder Bambang—suara lantang, penuh humor, dan sangat akrab dengan anak-anak.

Sore itu, setelah pembukaan, kami membagikan kamar. Setiap anak berkelompok empat, dan para guru mendapat kamar masing-masing. Aku mendapatkan kamar nomor 12, bersebelahan dengan kamar nomor 13. Namun, kamar itu... kosong. Terkunci. Tak berpenghuni.

“Memang dari dulu kamar itu tidak dipakai,” ujar penjaga rumah retret sambil tersenyum tipis.

“Mengapa?” tanyaku.

Ia tidak menjawab, hanya menatapku sebentar, lalu berbalik pergi.

Malam pertama, setelah semua anak terlelap, aku keluar untuk memastikan keamanan. Lorong menuju toilet agak sepi dan remang. Saat berjalan melewati kamar nomor 13, tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Dari sudut mataku, aku melihat sesosok perempuan—berpakaian suster, rambut panjang tergerai, wajah pucat—berjalan perlahan keluar dari kamar itu.

Jantungku berdegup kencang.

Kupanggil perlahan, “Permisi... suster?”

Tak ada jawaban. Pintu kamar tetap terkunci. Aku ketuk. Sunyi.

Malam itu aku tidak bisa tidur. Pagi harinya, aku menemui Bruder Bambang.

“Oh… kamar nomor 13, ya?” katanya sambil menarik napas. “Sudah lama tidak dipakai. Memang… kadang-kadang ada yang melihat sesuatu di sana. Tapi, jangan takut. Kita damai saja, asal tidak saling mengganggu.”

Hari kedua, kegiatan berjalan lancar. Anak-anak tak tahu apa-apa. Tapi siang itu, seorang muridku, Adam, menghampiriku.

“Pak Bani,” bisiknya pelan. “Tadi malam saya lihat ada suster berdiri di depan kamar nomor 13. Matanya kosong, tapi kayaknya dia... lihat ke saya.”

Aku tersenyum kaku. “Ah, mungkin kamu cuma ngantuk, ya. Nggak ada suster di sini.”

Tapi aku tahu… dia tidak berbohong.

Malam kedua. Lorong makin sepi. Aku sedang menuju dapur saat dari kejauhan kulihat sosok suster itu lagi—berjalan melewati kamar nomor 13. Aku spontan menjerit.

“Bu Yohana! Bu Surti! Ada suster!”

Kami berlari, mengejar. Tapi yang kami lihat hanyalah seorang wanita paruh baya, berpakaian suster betulan.

“Oh, saya ini penjaga lama rumah retret ini,” katanya dengan senyum ramah. “Tadi saya baru tiba malam ini dari Biara.”

Kami tertawa lega. Mungkin hanya kesalahpahaman.

Namun... malam itu, Adam terdiam lebih lama dari biasanya. Ia terlihat gelisah.

Keesokan harinya, kegiatan ditutup. Anak-anak naik ke bus, pulang dengan senyum. Tapi ada satu yang berbeda: Adam.

Ia duduk sendiri di bangku belakang, menatap kosong ke jendela. Di dalam matanya, ada sesuatu yang tidak biasa.

Minggu-minggu berlalu, hingga suatu hari Adam memintaku bicara berdua.

“Pak,” katanya lirih, “suster itu ikut saya pulang.”

Aku terdiam. “Maksud kamu?”

“Saya bisa melihat mereka, Pak. Sejak kecil. Tapi yang ini beda. Dia bilang belum selesai urusannya di dunia. Dulu, dia tinggal di kamar itu. Katanya… dia minum obat terlalu banyak. Bukan bunuh diri, tapi... dia merasa itu salahnya. Dan dia belum sempat minta maaf.”

Aku tercekat.

“Sekarang?” tanyaku.

“Dia cuma diam di pojok kamar saya. Katanya mau tinggal sebentar. Tapi... Pak, tolong jangan cerita ke siapa-siapa.”

Aku mengangguk. Tak sanggup berkata apa-apa.

Hingga kini, rumah retret Semedi masih digunakan untuk kegiatan rohani. Tidak semua orang tahu tentang kamar nomor 13. Kadang tidak ada apa-apa. Kadang ada. Tergantung siapa yang datang... dan siapa yang bisa melihat.

Dan kamar nomor 13 tetap terkunci.

Sesampai di rumah, aku tidur lelap melepas lelas setelah retret itu di peraduan malam. Di Tengah malam aku bermimpi tentang suster itu. Suster itu datang kepadaku dan memperkenalkan diri.
“Aku suster di kamar nomor 13 itu, Pak Guru. Perkenalkan namaku Suster Prani,” katanya.
“Aku Pak Bani, guru koordinator retret SD Swasta Dermaga Pantura,” jawabku.
“Ada apa Suster?”
“Aku mau memberitahu?”
“Apa itu ?”
“Tidak ada orang yang tahu kalua di kamar nomor 13 itu ada harta karun.” Kata suster Prani.
“Lalu?”
“Harta karun itu bukan berupa emas, permata, atau uang banyak.”
“Lalu?”
“Tetapi berupa catatan harianku dan cerita karanganku 1001 malam, yang mungkin bermanfaat bagi banyak orang jika diplubikasikan.”
“Aku suster Prani memilih Bapak Bani untuk mempublikasikannya.”
“Aku mempercayai Bapak Bani, Bapak Bani orang jujur dan bukan plagiator, tidak seperti penulis lain yang kukenanl banyak menggunakan bantuan AI.”
“Kini aku percayakan pada Bapak Bani untuk mempublikasikan karyaku itu,”
“Caranya gimana Suster Prani”
“Caranya Bapak Bani segera berkunjung ke Rumah Retret Semedi kembali, kebetulan jam tangan Bapak ketinggalan di sana.”
“Lalau di mana kunci kamar 13 itu?”
“Kamar kunci nomor 13 cukup dengan mengucapkan mantra yang aku berikan, pinyu itu akan terbuka sendiri.”
“Mantra?”
“Ya tolong ya mantranya dihafalkan bunyinya seperti ini.”
“Mantra pembuka pintu: Siro utusan Suster Prani, pintu terbuka”
“Mantra penutup pintu: Siro utusan Suster Prani, pintu tertutup.”
“Lalu di dalam kamar nomor 13 ada apa?”
“Di dalam kamar nomor 13 kosong, untuk mengambil harta karun, Aku berikan mantranya, jika diucapkan bukunya bisa Bapak lihat dan ambilah !”
“Tolong dihafal dan di ingat ya bunyi mantranya seperti ini.”
“Mantra mengambil catatn harian: Siro utusan Suster Prani, izin ambil buku catatan harian”
“Mantra engambil buku 1001 malam: Siro utusan Suster Prani, izin ambil buku cerita 1001 malam.”
“Baik suster Prani, aku sudah ingat.” Jawabku.
“Dah ya andum slamet,” Kata Suster Prani lalu menghilang dari hadapanku.
Aku terbangun dari tidur pukul 02.00 pagi dini hari.
Kata orang tua zaman dahulu, jika mimpi jam 02.00 artinya mimpi puspa tajam. Artinya sungguh-sungguh akan terjadi dalam dunia nyata.
**
Aku merenungkan sejenak peristiwa mimpi itu. Lalu buru-buru aku menulis refleksi mimpi itu di buku catatan harianku. Aku tulis ulang pesan paling penting dari Suster Prani.
1. Harta karun buku catatan harian
2. Cerita 1001 malam karangan Suster Prani
3. Mantar:

“Mantra pembuka pintu: Siro utusan Suster Prani, pintu terbuka”
“Mantra penutup pintu: Siro utusan Suster Prani, pintu tertutup.”
“Mantra mengambil catatn harian: Siro utusan Suster Prani, izin ambil buku catatan harian”
“Mantra engambil buku 1001 malam: Siro utusan Suster Prani, izin ambil buku cerita 1001 malam.”

Aku percaya pada Suster Prani. Beberapa hari berlalu saya Kembali ke Rumah Retret Semedi itu dan mendapatkan semua harta karun milik Suster Prani. Aku berusaha untuk mempublikasikannya dengan nama penulis: Suster Prani. Aku berjanji bahwa  akupun akan menjadi penulis sejati dengan karya orisinal, tidak tergoda untuk menjadi penulis plagiat.
Kini sedang populer buku Suster Prani berjudul " Catatan Harian Seorang Suster" dan "Cerita seribu 1001 Malam."
Akan tetapi cerita kamar nomor 13 itu tetap menjadi rahasia, hanya beberapa orang saja yang tahu dan sampai kini tetap merahasikannya. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun