Kami berlari, mengejar. Tapi yang kami lihat hanyalah seorang wanita paruh baya, berpakaian suster betulan.
“Oh, saya ini penjaga lama rumah retret ini,” katanya dengan senyum ramah. “Tadi saya baru tiba malam ini dari Biara.”
Kami tertawa lega. Mungkin hanya kesalahpahaman.
Namun... malam itu, Adam terdiam lebih lama dari biasanya. Ia terlihat gelisah.
Keesokan harinya, kegiatan ditutup. Anak-anak naik ke bus, pulang dengan senyum. Tapi ada satu yang berbeda: Adam.
Ia duduk sendiri di bangku belakang, menatap kosong ke jendela. Di dalam matanya, ada sesuatu yang tidak biasa.
Minggu-minggu berlalu, hingga suatu hari Adam memintaku bicara berdua.
“Pak,” katanya lirih, “suster itu ikut saya pulang.”
Aku terdiam. “Maksud kamu?”
“Saya bisa melihat mereka, Pak. Sejak kecil. Tapi yang ini beda. Dia bilang belum selesai urusannya di dunia. Dulu, dia tinggal di kamar itu. Katanya… dia minum obat terlalu banyak. Bukan bunuh diri, tapi... dia merasa itu salahnya. Dan dia belum sempat minta maaf.”
Aku tercekat.