Mohon tunggu...
Widodo Antonius
Widodo Antonius Mohon Tunggu... Guru SD Tarsisius Vireta Tangerang

Hobi membaca menulis dan bermain musik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pastor Tag

17 Juni 2025   07:15 Diperbarui: 16 Juni 2025   09:02 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi Pilihan ChatGPT

Pastor Tag

Oleh : Widodo, S.Pd.

Namanya Tag. Pendek, aneh, antik, dan justru karena itulah mudah diingat. Umat desa Pojok menyebutnya begitu saja: Romo Tag. Tak banyak yang tahu kalau nama itu berasal dari bahasa Belanda, artinya "hari" atau "tanggal". Ia sendiri pernah menjelaskannya sambil tersenyum ringan dalam homili pertamanya, "Saya Tag, berarti hari. Semoga setiap hari yang kita jalani menjadi berkat."

Datang dari Belanda dengan tubuh tinggi dan kulit pucat seperti kapas yang belum dijemur, Pastor Tag bukanlah tipikal misionaris yang suka bicara panjang lebar atau memaksakan doktrin. Pembawaannya teduh. Bahasanya las-las-an, lembut dan mengalir melebihi kelembutan orang Jawa sendiri. Kata-katanya sejuk seperti embun pagi yang jatuh di daun pisang. Bila ia berkotbah, bukan hanya umat yang terdiam, tapi juga angin seolah berhenti bertiup, mendengarkan.

"Melihat Romo Tag seperti melihat orang kudus," kata Mbah Raji, tetua desa yang paling tua dan paling sering nyinyir pada hal-hal baru. Tapi Romo Tag bukan hal baru. Ia seperti pulang ke tempat yang lama ia kenal.

Pertama kali ia datang ke desa Pojok, ia hanya membawa tas kecil, salib kayu yang sederhana, dan mata yang seperti menyimpan cahaya. Desa itu terpencil, letaknya jauh di ujung barat kabupaten, jalannya hanya bisa dilalui motor trail atau kaki yang sabar. Tapi sejak Romo Tag datang, jalan itu tak lagi sepi. Warga dari dusun seberang ikut menyemut untuk mendengarnya berkotbah, bahkan hanya untuk melihatnya duduk diam di kapel kecil yang ia bangun dari papan tua.

Suatu hari, Romo Tag berjalan kaki mengunjungi keluarga Pak Lik Darmin yang rumah tangganya nyaris pecah. Tidak ada nasihat panjang. Ia hanya duduk, mendengarkan, lalu berdoa. Dua hari kemudian, keluarga itu kembali rukun. Ada juga Pak Marno, yang sudah tiga bulan terbaring sakit. Waktu Romo Tag datang, ia hanya memegang tangan Pak Marno dan berkata, "Tuhan belum selesai menuliskan kisahmu." Minggu depannya, Pak Marno sudah menyabit rumput di ladang.

Yang paling membuat gempar adalah ketika anak Kepala Desa meninggal karena demam berdarah. Sudah dikuburkan, tapi tiap malam suara tangis anak itu terdengar dari kamar. Kepala Desa akhirnya mendatangi Romo Tag. "Bisa tolong bantu, Romo?" tanyanya setengah malu. Romo Tag datang malam itu juga, membawa air berkat dan kitab kecil. Ia berdoa di depan kamar selama tiga jam. Malam itu, suara tangis lenyap, dan kepala desa beserta seluruh keluarganya meminta dibaptis seminggu kemudian.

Tapi kehidupan Romo Tag bukan tanpa gelap. Setiap malam, selama hampir sepuluh tahun, ia diganggu suara ketukan di pintu. Tok. Tok. Tok. Selalu tiga kali, selalu pukul dua pagi. Ia pernah mencoba membuka pintu cepat-cepat, tapi tak pernah ada siapa pun di luar. Ia pernah meletakkan salib di depan pintu, ketukan tetap datang. Ia tahu siapa yang melakukannya. Si Jahat, yang tak suka melihat terang bertumbuh di desa Pojok.

Gangguan itu membuatnya tak bisa tidur. Tubuhnya lelah, matanya menghitam, namun paginya tetap datang untuk umat. Ia tetap mengangkat tangan memberi berkat, tetap mengunjungi umat, tetap memimpin misa, tetap menjadi gembala. Kadang terlihat goyah, tapi tak pernah jatuh. "Kelelahan ini adalah bagian dari pelayanan," katanya suatu kali kepada seorang bruder muda. "Tuhan yang memberi napas, Tuhan pula yang memberi kekuatan."

Ia juga dikenal sebagai pendoa bagi jiwa-jiwa di api penyucian. Banyak umat percaya bahwa doa-doanya membuka pintu surga bagi yang telah pergi. Tak heran makin banyak orang datang untuk dibaptis. Anak-anak, orang tua, bahkan yang sudah lama meninggalkan Gereja, satu per satu kembali. Nama Romo Tag disebut-sebut dengan penuh hormat, bukan karena mukjizat yang dibuatnya, tapi karena cinta yang sederhana dan setia yang ia hidupi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun