"Siapa kau yang di dalam tubuh ini?" tanya Bruder dengan suara tegas.
Wati menjerit. Suaranya berubah-ubah. Ada yang terdengar seperti lelaki tua, ada yang seperti anak kecil menangis. Kemudian satu suara mendominasi.
"Aku Jatmiko... aku dari candi tua di desa itu... keluargaku pergi... tak ada yang mendoakan kami..."
Bruder menghela napas. Ia memahami. Banyak arwah leluhur yang masih terikat pada dunia karena tak pernah didoakan, tak pernah disapa. Dengan penuh kasih, ia memulai doa pengusiran. Ia memohon pada Tuhan agar para roh itu diberi kedamaian dan melepaskan Wati dari cengkeraman mereka.
Wati menjerit keras, tubuhnya menggigil, lalu terjatuh. Sunyi. Untuk beberapa saat, tak ada yang bergerak.
Hari-hari setelahnya, Wati kembali tenang. Ia tampak seperti perempuan biasa---bekerja, bersosialisasi, bahkan tersenyum seperti tak pernah ada apa-apa. Namun saudara-saudaranya tahu, kekuatan itu masih ada. Kadang, ketika ia sangat lelah namun harus menyelesaikan banyak pekerjaan, kekuatan itu muncul lagi. Seperti cadangan tenaga dari dunia yang tak terlihat.
Bahkan atasannya di tempat kerja, yang terkenal keras dan tak kenal kompromi, pernah mendadak melunak saat Wati meminta keringanan tugas.
"Yah, Wati itu antara anugrah, bersyukur... tapi juga kewaspadaan," kata Rina pada suatu sore. "Kita nggak tahu kapan kekuatan itu muncul lagi. Kita hanya bisa berdoa agar Wati tetap dalam lindungan Tuhan."
Wati duduk di beranda, memandangi langit sore. Ia tersenyum, tapi matanya kosong. Dalam hatinya, ia bertanya: "Apakah ini memang anugerah, atau beban yang harus kutanggung seumur hidupku?"
Bayangan roh-roh yang pernah singgah dalam tubuhnya, kini hanya tinggal samar. Tapi Wati tahu, mereka tidak benar-benar pergi. Mereka hanya menunggu... saat ia lemah, saat ia lengah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI