Oleh : Widodo, S.Pd.
Pagi itu, Wati tampak sibuk. Langkahnya ringan, wajahnya cerah, seolah tak ada beban dunia yang mampu menghalangi semangatnya. Di halaman rumah orang tuanya, tenda sudah berdiri, kursi-kursi ditata rapi. Hari ini adalah hajatan pemberkatan rumah baru orang tuanya, dan Wati menjadi tokoh sentral yang mengatur semuanya.
"Wati itu lincah sekali ya, semua dipegangnya sendiri," gumam seorang tamu.
"Memang," jawab kakaknya, Rina. "Dia seperti punya energi yang tidak habis-habis."
Dan benar saja, dari menerima tamu, mengarahkan konsumsi, hingga mengatur susunan acara, semua dilakukan Wati dengan cekatan. Tak terlihat letih sedikit pun di wajahnya. Bahkan ketika malam tiba, ia masih sempat tersenyum dan melayani tamu terakhir dengan ramah.
Namun, hanya keluarganya yang tahu bahwa kekuatan itu bukan sekadar semangat biasa.
Di malam hari, saat rumah mulai hening dan para tamu telah pulang, suara aneh terdengar dari kamar Wati. Suara berat, bukan seperti suara perempuan. Suara yang bahkan tak menyerupai suara manusia biasa. Kakaknya berlari tergesa, membuka pintu, dan mendapati Wati berdiri mematung dengan tatapan kosong.
"Ada... yang datang..." suaranya menggema aneh. "Jatmiko... dari Candi Sepi..."
Rina dan adiknya, Deni, panik. Ini bukan pertama kalinya Wati kerasukan. Tapi kali ini suaranya berbeda. Lebih dingin, lebih menakutkan.
Mereka menghubungi Bruder Thomas, seorang biarawan yang dikenal bisa menangani urusan semacam ini. Ketika Bruder datang, ia membawa sa