Ada pemandangan tak biasa di peron atas Stasiun Manggarai, tepatnya di jalur 11 yang mengarah ke Bogor. Tampak dengan gagahnya sebuah rangkaian Commuter Line berwarna merah hitam silver sudah dipadati penumpang, tinggal menunggu pintu ditutup dan kereta akan mulai berjalan.Â
Dalam hati saya sebenarnya bersorak, akhirnya bisa ketemu juga KRL baru dengan seri CLI-125 yang didatangkan dari Cina dan sudah sejak Minggu, 1 Juni 2025 lalu mulai dioperasikan mengangkut penumpang. Saya memang sangat berharap bisa menjajalnya segera mungkin, tapi Senin petang seperti itu, sekira jam 18.20, termasuk jam sibuk pulang kerja sehingga saya pun tak bakal kecewa andai tak bisa naik.
Namun, kereta itu kini ada di depan mata saya. Sembari menunggu sinyal keberangkatan, masih ada sedikit waktu bagi saya untuk berjalan ke depan, menyusuri peron sambil mengamati kondisi penuhnya penumpang dari pintu ke pintu.Â
Akhirnya, terlihat ada sedikit ruang sedikit longgar di sebuah pintu dan meskipun sempat ragu naik karena kereta baru ini agak berbeda dengan KRL lawas pada umumnya, saya tetap mencoba untuk masuk.
"Maaf Pak, boleh saya masuk?"
Geli juga sebenarnya, tumben banget saya berucap minta izin masuk ke dalam Commuter Line. Padahal biasanya langsung saja pakai jurus punggung masuk duluan ke dalam pintu sambil menekan penumpang yang ada di bibir pintu.Â
Untungnya kali ini saya berhasil masuk ke dalam. Wow, begini toh rasanya berdesakan di dalam Commuter Line baru.
Beberapa detik kemudian, pintu otomatis terlihat mulai menutup. Kerennya, sekarang ada lampu indikator berwarna kuning di atas pintu kereta. Lampu itu akan menyala berbarengan dengan bunyi mirip alarm saat pintu kereta akan tertutup maupun terbuka. Bisa jadi fitur baru inilah yang bakal memberi tanda kepada penumpang untuk berhati-hati saat keluar maupun masuk kereta.
Seolah menjadi candu, keesokan harinya, Rabu, 3 Juni 2025 pagi, saya sengaja menunggu Commuter Line baru itu dari Stasiun Bojonggede. Saya pun makin bisa menilai bahwa kereta baru ini memang kualitasnya tidak "kaleng-kaleng".
Meski dalam situasi berdesakan, suasana dalam kereta masih terbilang nyaman. Pendingin ruangan atau AC mampu menyejukkan secara merata, jelas lebih sejuk dibandingkan kereta lawas.
Ruangan dalam kereta terasa lebih luas dan tinggi, sehingga memberikan keleluasaan bagi penumpang yang berdiri. Kereta ini juga terbilang canggih dengan sistem digital yang digunakan pada papan informasi.Â
Jika sebelumnya penumpang hanya mengandalkan informasi petugas lewat pengeras suara, kini penumpang bisa memantau rute maupun informasi stasiun pemberhentian melalui layar digital di atas pintu bagian dalam. Jadi saya sebagai penumpang tak bakalan nyasar lagi, misal naik ke jurusan Nambo padahal niatnya mau ke Bogor.
Hal baru lainnya adalah keberadaan kursi prioritas. Jika biasanya kursi prioritas disediakan di ujung gerbong untuk penumpang hamil, penyandang disabilitas, lansia, serta penumpang yang membawa bayi atau anak-anak, kini di Commuter Line baru kursi prioritas tersedia di setiap ujung bangku yang berdekatan dengan tiap pintu.
Tentu hal ini merupakan peningkatan pelayanan yang signifikan khususnya bagi penumpang prioritas agar lebih mudah mencari posisi kursi prioritas, serta agar penumpang lainnya lebih peduli dengan penumpang prioritas karena jumlah titik bangkunya bertambah.Â
Kebangkitan Commuter Line
Kehadiran armada baru Commuter Line CLI-125 ini untuk meningkatkan layanan menjadi sebuah keniscayaan seiring bertambahnya volume penumpang. Terus terang, menjadi kebanggaan bagi saya menjadi salah satu penumpang di masa awal mulai dioperasikannya KRL Commuter Line baru yang memiliki fitur serba modern itu.
Ingatan saya pun melompat ke sekitar tahun 2006 silam, ketika saya mulai merantau di Jakarta. Saat itu KRL ekonomi non-AC menjadi moda murah meriah tetapi sangat jauh dikatakan nyaman.
Ketika jam sibuk, manusia-manusia tanpa rasa takut memenuhi atap KRL dan bergelantungan di pintu yang terbuka. Saya memang tak pernah menjadi atapers, tetapi masih ingat bagaimana rasanya separuh badan saya berada di luar sedangkan tangan saya mesti berpegangan erat di besi dekat pintu.
Saya juga menjadi saksi ketika seorang ibu di dekat saya dijambret kalungnya dan si penjambret melompat keluar kereta ketika KRL baru saja berangkat dari Stasiun UI.Â
Suasana di dalam KRL ekonomi juga diramaikan oleh para pengamen hingga penjual asongan. Dari penjual asesoris murah meriah seperti jepit rambut, peniti hingga sisir rambut, sampai dengan penjual tahu Sumedang yang berjualan dengan kotak beroda.
Benar-benar saat itu termasuk masa kelam bagi dunia perkeretaapian di Indonesia. Hingga hadir era Ignasius Jonan sebagai Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) tahun 2009-2014 yang mengawali transformasi dunia kereta api Indonesia, termasuk Commuter Line.
KRL ekonomi non AC dihapus, diikuti dengan penambahan rute lebih banyak serta penggantian sistem pembayaran dari karcis kertas menjadi kartu single trip dan multi trip.
Era transformasi saat itu menjadi pertanda tamatnya era kaum atapers, juga tiada lagi pedagang di atas kereta. Commuter Line yang bertransformasi pun kian menjadi pilihan kaum urban di Jabodetabek.
Namun, dunia perkeretaapian Indonesia kembali mengalami ujian ketika masa pandemi Covid-19. Saya ingat betul bagaimana saat itu penumpang Commuter Line dibatasi, bahkan sempat hanya boleh menggunakan surat keterangan dari kantor untuk bisa naik kereta.
Belum lagi pembatasan sosial membuat kapasitas Commuter Line dikurangi, alhasil antrean mengular jam-jam sibuk menjadi pemandangan sehari-hari di stasiun yang melayani Commuter Line.
Adalah Didiek Hartantyo yang dipercaya menggawangi PT KAI sejak Mei 2020. Tentu saja saat itu efek pandemi menjadi tantangan tersendiri untuk kembali membangkitkan dunia perkeretaapian Indonesia, termasuk Commuter Line.
Tanpa strategi yang tepat, adaptasi dan transformasi digital, tentu masyarakat tidak akan menikmati layanan kereta api dan Commuter Line seperti sekarang ini. Berbagai unit usaha PT KAI, termasuk KAI Commuter, kereta Bandara Soetta, LRT Jabodebek, hingga kereta cepat Whoosh menjadi bukti nyata kebangkitan dunia perkeretaapian Indonesia yang tak surut dihantam badai.
Saya termasuk orang yang bangga ketika pernah mendapati warga negara asing atau teman dari luar daerah merasa kagum ketika mereka naik Commuter Line atau saat berada di stasiun yang bersih dan nyaman.Â
Saya juga boleh berbangga melihat petugas di stasiun membantu penumpang disabilitas atau lansia sampai mendapatkan tempat duduk.
Ya, bukan semata soal sarana dan prasarana yang kian meningkat rupanya, tetapi kualitas pelayanan turut berkembang makin profesional dan melayani dengan hati. Karena kereta api, tak hanya rangkaian besi yang dirakit sebagai alat pengangkut, tetapi lebih dari itu, kereta api dan juga Commuter Line adalah pengantar mimpi dan harapan orang-orang yang dibawanya.
Ada kerinduan keluarga di rumah ketika saya pulang kerja menggunakan Commuter Line, demikian juga dengan orang-orang lainnya. Ada pula setumpuk cita-cita yang orang-orang bawa ketika pagi hari berjuang naik Commuter Line.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI