Terlebih lagi, sampai detik ini dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19 masih terasa berat. Mereka yang usahanya gulung tikar dilibas corona. Atau mereka yang sempat kena PHK dan kini terseok-seok mencoba bangkit kembali. Bagaimana bisa pulih jika ongkos transportasi andalannya justru jadi naik?
Katanya mau meningkatkan daya beli masyarakat? Jika penghasilan yang gitu-gitu saja tersedot hanya untuk urusan transportasi, dalam hal ini tersedot ke pihak KRL (sebagai the one and only karena tak ada pilihan lain), tentu bisa mengganggu daya beli masyarakat. Sektor usaha kecil bisa ikut terimbas.
Uang sebesar 100 ribu rupiah jika dikonversi ke sarapan nasi uduk dengan lauk minimalis, bisa setara 10 hari sarapan dengan harga per porsi 10 ribu rupiah. Itupun tanpa telor dan daging, hanya maksimal orek tempe sama tahu semur, dan kerupuk biar agak rame.
Bisa jadi kemudian orang jadi ogah melarisi penjual sarapan di sekitar stasiun akibat harus berhemat.
Uang sebesar itu juga masih bisa digunakan untuk membeli 10 kg beras, walau kualitasnya biasa-biasa saja, bukan pulen-pulen amat. Juga bisa dipakai untuk membeli susu untuk mereka yang punya bayi atau balita.
Bahkan jika dibandingkan dengan kenaikan harga minyak goreng tempo hari (dan kini sudah turun tapi stoknya ghoib), yang naik berkisar 10.000 per liter, naiknya ongkos transportasi dengan KRL jelas lebih gila.
---
Pihak PT KAI Commuterline Indonesia (KCI) pastinya punya alasan-alasan yang dirasa logis menurut mereka untuk menaikkan tarif. Di antaranya yang selalu dikedepankan adalah demi peningkatan pelayanan dan fasilitas, serta karena sudah lama tarifnya tidak naik.
Alasan yang rada terdengar konyol juga kerap menghias pemberitaan, bahwa para pengamat sudah memberikan lampu hijau. Lha yo, pengamat yang mana? Apakah pengamat itu tiap hari benar-benar mengamati dari dalam KRL di jam sibuk yang saling sikut dan dorong antar penumpangnya?
Hasil survei pengguna konon juga jadi senjata andalan untuk memuluskan wacana ini. Nah, surveinya pakai apa dan sejak kapan ya?