Ibarat lari marathon yang mengharu biru di bulan Ramadhan, Idul Fitri atau lebaran adalah garis finish. Lazimnya garis finish, tentu ada ekspresi kegembiraan (dan ini mayoritas) serta ada pula ekspresi ngos-ngosan.
Idul Fitri adalah hari kemenangan. Meskipun yang menyentuh garis finish belum tentu menang, setidaknya merasa dirinya menang adalah hak pribadi masing-masing. Ya, daripada merasa kalah, gitu deh.
Lalu setelah merasa menang ngapain?
Indahnya lebaran, di momen ini kata "maaf" bertebaran di udara. Saling mengucap "mohon maaf lahir batin" kepada sesama. Baik itu dengan gaya syahdu, penuh isak tangis, maupun "maaf" yang terucap dalam senyuman. Sah-sah saja, yang penting ikhlas saling memaafkan.
Tentang maaf, di banyak daerah di Indonesia, terutama dalam kultur masyarakat Jawa dan Sunda, ada simbolitas maaf dalam sebuah ketupat. Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa, bisa berarti "ngaku lepat" atau mengakui kesalahan. Dalam sejarahnya, ketupat diperkenalkan oleh para Wali terutama Sunan Kalijaga saat menyebarkan agama Islam.
Tradisi ketupat yang turun menurun hingga kini, membuat hari lebaran selalu identik dengan hadirnya ketupat beserta opor ayam di meja makan. Ketupat  merupakan jenis makanan yang dibuat dari beras yang dimasukkan ke dalam anyaman daun kelapa atau janur yang dibuat berbentuk kantong. Butuh waktu lama untuk memasak ketupat ini.
Butuh takaran yang pas menggunakan feeling yang tepat, jika tidak mau hasilnya malah ketupat yang kopong. Atau malah hasil ketupat yang tak sempurna karena kebanyakan air saat dimasak. Ini ibarat pengakuan maaf yang tak sepenuh hati atau tak sempurna. Karena konon pemaknaan filosofis setelah ketupat dibuka dan terlihat sempurna adalah terlihatnya nasi putih yang mencerminkan kebersihan dan kesucian hati.
---
Dalam tradisi keluarga kami, ada satu tradisi lagi yang merupakan perwujudan dari saling memaafkan, yakni sungkeman. Usai shalat Ied di masjid, kami anak-anak dan cucu-cucu akan mempersilakan kedua orang tua kami untuk duduk dan kami akan melakukan sungkem sebagai tanda permintaan maaf dari yang muda.
Mungkin saat ini di keluarga kami acara sungkeman hanya berlangsung beberapa menit saja, karena memang jumlah anak hanya dua, plus menantu dan tiga orang cucu. Namun, dulu saat eyang saya masih hidup, keluarga besar yang terdiri dari delapan anak plus menantu dan cucu-cucu yang jumlahnya sangat banyak, membuat antrean sungkeman menjadi momen yang indah dan menarik. Ramai namun tetap terasa sakral.
Inilah wujud konkret dari sebuah permintaan maaf kepada orang tua. Saat yang muda menurunkan tubuhnya, menunduk dan mengakui semua kesalahan. Wajar jika saat sungkeman, tiba-tiba seolah ada mendung yang lewat, kemudian "gerimis" pun datang, di hati tentunya.
Nah, usai sungkeman, sudah pasti apa lagi yang dinanti jika bukan hidangan ketupat, opor ayam, sambal goreng ati dan kerupuk udang tentunya. Momen indah yang memang pantas dinanti dan disyukuri.