Mohon tunggu...
Widhi Setyo Putro
Widhi Setyo Putro Mohon Tunggu... Sejarawan - Arsiparis di Pusat Studi Arsip Statis Kepresidenan ANRI

Menyukai sejarah khususnya yang berhubungan dengan Sukarno “Let us dare to read, think, speak, and write” -John Adams

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pemberantasan Buta Huruf di Mata Presiden Sukarno

5 Maret 2023   22:06 Diperbarui: 5 Maret 2023   22:49 1285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Sukarno sedang memeriksa sekolah rakyat di Desa Pangkal, Madiun pada 21 September 1952. Sumber: ANRI Kempen Jawa Timur 520921 HB 2-5

"Saya ini anaknya guru. Apa pekerjaan bapak saya? Tidak berhenti-henti, mengajar membaca dan menulis. Lantas sayapun mendapat didikan dari Bapak mula-mula membaca dan menulis. Ayo Karno! Hafalno iki, ha-na-tja-ra-ka-da-ta-sa- terus, terus. Hayo Karno hafalno iki! A-B-C-D-E-F sampai puyeng kepala. Kemudian hayo Karno hafalno iki, hayo Karno hafalno iku. Akhirnya lho, kok ya dadi uwong aku iki."

Sukarno sejak kecil sudah di-gembleng untuk membaca oleh ayahnya, Raden Sukemi Sosrodiharjo yang bekerja sebagai guru sekolah dasar. Ia adalah 'guru' pertama Sukarno sebelum menempuh pendidikan formal. Ketika memasuki sekolah mulai di Mojokerto (sekolah di tempat sang ayah bekerja), Europeesche Lagere School (ELS), Hoogere Burger School (HBS) di Surabaya hingga menempuh perguruan tinggi Technische Hooge School (THS) di Bandung, Sukarno sangat gemar membaca. Dalam otobiografinya Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat ia menjelaskan:

"Seluruh waktu kugunakan untuk membaca. Sementara yang lain-lain bermain-main, aku belajar. Aku mengejar ilmu pengetahuan di samping pelajaran sekolah."

 "Kenyataan-kenyataan yang kulihat dalam duniaku yang gelap hanyalah kehampaan dan kemelaratan. Karena itu aku mengundurkan diri ke dalam apa yang dinamakan orang Inggris: 'Dunia Pemikiran'. Buku-buku menjadi temanku."

Sukarno sebagai siswa HBS di Surabaya 1916. Sumber: ANRI, SKR No. 464
Sukarno sebagai siswa HBS di Surabaya 1916. Sumber: ANRI, SKR No. 464

Kondisi Pendidikan Awal Kemerdekaan

Usaha pemberantasan buta huruf telah diusahakan sejak awal kemerdekaan. Usaha ini tentu saja masuk dalam program Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP dan K). Akan tetapi pada masa awal kemerdekaan kondisi Pendidikan di Indonesia tidak banyak perbaikan dan pembaruan. Kondisi politik dan keamanan yang masih belum stabil menjadi penyebabnya. Pergantian kabinet yang singkat membuat Menteri PP dan K menjabat hanya dalam hitungan bulan. Tentu saja hal ini membuat program pendidikan yang salah satunya adalah pengentasan buta huruf di Indonesia menjadi terhambat.

Menurut Anwar Jasin dalam Pembaharuan Kurikulum Sekolah Dasar Sejak Perang Kemerdekaan (1987), usaha nyata perbaikan pendidikan diawali dengan adanya usulan dari Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) kepada Kementerian PP dan K pada 29 Desember 1945. Usulan tersebut berisi tentang perlunya disusun pedoman pendidikan dan pengajaran baru yang sesuai dengan dasar negara RI, dan yang menjadikannya sebagai alat sebesar-besarnya untuk pembangunan negara.

Atas dasar usulan itu kemudian dibentuk panitia yang diketuai oleh Ki Hadjar Dewantara. Panita ini terdiri atas Komisi Pekerja dan Komisi Penyelidik. Komisi Pekerja bertugas menyusun rencana pengajaran menurut tingkat dan jenis sekolah. Sementara Komisi Penyelidik bertugas untuk membahas garis-garis besar dasar dan asas pendidikan dan pengajaran. Salah satu masalah yang dibahas dalam Komisi Penyelidik ini yaitu tentang kewajiban belajar dan pemberantasan buta huruf.

Di Tengah Keterbatasan

Kepala Perpustakaan Nasional RI, Muhammad Syarif Bando, dalam webinar Bung Karno dan Literasi Pancasila 'Menggali Pemikiran, Membumikan Pancasila', Rabu (10/3/2021) menjelaskan bahwa ketika Presiden Sukarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, sebanyak 98 persen penduduk Indonesia tidak bica membaca. Kemudian Presiden Sukarno mencanangkan usaha pemberantasan buta huruf. 

Jika kita melihat foto di bawah ini, usaha pemberantasan buta huruf sudah dilakukan sejak tahun 1946. Di foto yang menggambarkan Presiden Sukarno sedang mengajarkan membaca tersebut ada spanduk bertuliskan 'Bantulah Usaha Pemberantasan Buta Huruf'. Kata pertama yang dipasang adalah 'Bantulah', karena saat itu kondisi negara masih belum stabil baik dalam politik-keamanan dan juga ekonomi.

Presiden Sukarno turut membantu memberantas buta huruf di Yogyakarta, November 1946, Sumber: ANRI, Inventaris Arsip IPPHOS No. 260
Presiden Sukarno turut membantu memberantas buta huruf di Yogyakarta, November 1946, Sumber: ANRI, Inventaris Arsip IPPHOS No. 260

Menurut Bando, dengan anggaran pendidikan yang sangat minim, Sukarno harus turun langsung bahkan pernah berjalan kaki dari Blitar ke Tulungagung untuk memastikan pemberantasan buta aksara bisa berjalan dengan baik. 

"Pada saat itu literasi hanya sebatas kemampuan mengenal kata, kemampuan mengenal kalimat, dan menyatakan hubungan sebab akibat," ungkapnya. Pada tahap pertama, Presiden Sukarno sendiri yang menjadi pengajar pertama pemberantasan buta huruf atau buta aksara.

Komando Bebas Buta Huruf

Pasca Dekrit 5 Juli 1959, Indonesia memasuki masa Demokrasi Terpimpin. Salah satu ciri khasnya adalah banyak kegiatan yang langsung dikomandoi oleh presiden. Termasuk dalam usaha memberantas buta huruf. Pada 17 Agustus 1960, Presiden Sukarno memberi komando agar Indonesia harus terbebas dari buta huruf hingga tahun 1964. Kemudian banyak para kepala daerah yang berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan dalam memproklamasikan daerahnya terbebas dari buta huruf. Salah satunya adalah Jawa Tengah yang melakukan Upacara Proklamasi Bebas Buta Huruf di Semarang pada 6 Agustus 1962.

Pada pidato dalam acara tersebut, Presiden Sukarno menyampaikan apresiasi yang luar biasa untuk Provinsi Jawa Tengah. Menurutnya, ini merupakan prestasi yang sangat hebat, karena dilakukan dalam waktu singkat semenjak dikomandokan pada Agustus 1960.

Lebih lanjut Presiden Sukarno menyampaikan bahwa memberantas buta huruf adalah pekerjaan yang lebih berat dari pekerjaan yang bersifat material, seperti membuat jalan, gedung, kereta api, kapal dan pekerjan lainnya.

Presiden Sukarno menganalogikan usaha memberantas buta huruf sama dengan membuat stadion di dalam otak. Ketika itu konteksnya, Indonesia sedang bersiap menjadi tuan rumah Asian Games IV di Jakarta, dan salah satu persiapannya adalah membangun stadion yang sangat megah. Ia menjelaskan:

"Mendirikan stadion itu barang material, kalau memberantas buta huruf sebenarnya mendirikan stadion di dalam otak kita, mendirikan stadion di dalam jika kita, mendirikan stadion di dalam roh kita. Itu adalah lebih hebat daripada mendirikan stadion di tanah.

"Maka oleh karena itu maka saya sekarang ini dengan resmi mengucapkan panggilan hormat kepada rakyat Jawa tengah, semua petugas-petugasnya, bahwa mereka bisa mendirikan stadion yang hebat di Jawa Tengah, Stadion jiwa, stadion kalbu, stadion otak, stadion ilmu pengetahuan."

Lihat juga Mengenal Kompleks Olahraga Terbaik Se-Asia di Era Presiden Sukarno

Pesan Presiden Sukarno

Presiden Sukarno mengutip ucapan Lenin bahwa rakyat yang tidak bisa membaca dan menulis sebetulnya tidak bisa bicara hal politik, menurutnya di dalam masyarakat yang tidak bisa membaca dan menulis politik menjadi "keukenmeid gepraat" yang artinya debat kampung atau debat warung.

Presiden Sukarno kemudian mengatakan bahwa rakyat yang terbebas dari buta huruf merupakan syarat menjadi bangsa yang maju dan hebat.

"Jika kita ingin menjadi satu rakyat yang masyur di dalam dunia internasional, satu rakyat yang ingin mendirikan satu masyarakat yang adil dan makmur, satu rakyat yang besar yang pantas menjadi mercusuar dari pada seluruh umat di dunia. Bangsa yang besar, bangsa yang hebat. Bangsa yang demikian itu hanyalah mungkin jika rakyatnya bisa membaca dan menulis."

"Dengan bangsa yang demikian itu Revolusi Indonesia pasti akan selesai, dengan bangsa yang demikian itu Republik Indonesia tidak akan tenggelam. Dengan bangsa yang demikian itu Revolusi Indonesia akan jaya, dengan bangsa yang demikian itu Indonesia akan makin lama makin kuat sentausa, dengan bangsa yang demikian itu akan menjadi mercusuar daripada segenap kemanusiaan di muka bumi ini .

Sumber Arsip:

  • Pidato PJM Presiden Sukarno pada Upacara Proklamasi Daerah Jawa Tengah Bebas Buta Huruf di Semarang pada 6 Agustus 1962, ANRI Inventaris Pidato Presiden Sukarno 1958-1967 No. 409.
  • Amanat Presiden Sukarno pada Hari Proklamasi Bebas Buta Huruf Jakarta Raya, di Istana Olahraga Bung Karno, Jakarta 27 Desember 1962, ANRI, Inventaris Pidato Presiden Sukarno 1958-1967 No. 448

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun