Citeureup: Potret Buram Ketidakpedulian dan Kepemimpinan yang Gagal
Setiap kali saya pulang dari Depok menuju Sukamakmur, saya dihadapkan pada dua pilihan rute: melalui Transyogi yang lebih jauh namun lebih layak, atau melewati Citeureup yang lebih dekat namun penuh dengan penderitaan. Pilihan ini seharusnya sederhana, namun kondisi Citeureup membuatnya menjadi dilema yang menyakitkan.
Citeureup, yang menurut Wikipedia merupakan bagian dari Kabupaten Bogor, memiliki sejarah panjang sebagai wilayah industri yang strategis.
Kecamatan ini telah berkembang sejak zaman kolonial sebagai pusat industri semen, yang hingga kini menjadi salah satu tulang punggung ekonominya. Namun, perkembangan ini tidak diiringi dengan perbaikan infrastruktur yang memadai.
Citeureup: Antara Janji Manis dan Realita Pahit
Dengan populasi sekitar 231.492 Â jiwa, infrastruktur dan pelayanan publik seharusnya menjadi prioritas utama. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Jalan-jalan berlubang, minimnya penerangan, dan fasilitas umum yang memprihatinkan menjadi pemandangan sehari-hari.
Secara geografis, Citeureup sebenarnya memiliki potensi besar. Terletak hanya sekitar 3 hingga 4 kilometer dari Cibinong, pusat pemerintahan Kabupaten Bogor, serta sekitar 30 hingga 35 kilometer dari Jakarta, seharusnya ini menjadi modal utama untuk berkembang pesat.
Sayangnya, kedekatan dengan pusat pemerintahan dan ibu kota tidak berbanding lurus dengan perhatian yang diberikan kepada wilayah ini. Justru, seolah-olah kedekatan ini menjadi bumerang, karena pejabat lebih fokus membangun kantong pribadi daripada membangun infrastruktur yang layak.
Sejarah Korupsi yang Menghambat Kemajuan
Tidak bisa dipungkiri bahwa sejarah Kabupaten Bogor dipenuhi dengan kasus korupsi yang menghambat pembangunan. Beberapa mantan bupati terbukti melakukan tindak pidana korupsi, yang bukan hanya merusak kepercayaan masyarakat tetapi juga memperburuk kondisi ekonomi daerah.