Oleh: Bambang Wibiono
_
Melihat berbagai macam kasus korupsi, seakan melahirkan pandangan pesimistis mengenai penanganan kejahatan kerah putih ini. Bagaimana tidak, saat kita berharap korupsi bisa diberantas, di lain sisi, kita disuguhkan dengan penampilan lembaga peradilan yang justru melakukan perselingkuhan dengan para pelaku.
Lembaga peradilan yang seharusnya menjadi ujung tombak untuk ketok palu memberi vonis agar tercipta efek jera, tidak jarang justru tumbuh makelar kasus di lembaga tersebut. Jual beli kasus, tawar menawar putusan dan perselingkuhan lain banyak terjadi sehingga menghasilkan putusan yang mencederai perasaan masyarakat.
Lembaga kepolisian yang juga menjadi salah satu aparat berwenang yang melakukan penyidikan tak luput dari virus bernama KKN. Lembaga eksekutif selaku komando penyelenggaraan pemerintahan, terlalu keropos di dalam birokrasinya.
Tahun 2018 lalu, Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei soal tren persepsi publik tentang demokrasi, korupsi, dan intoleransi. Hasilnya, kepolisian, pengadilan, dan PNS menempati indeks korupsi yang tinggi.
Dalam survei yang dilakukan LSI, 10,7 persen responden pernah berurusan dengan polisi. Dari jumlah tersebut, 33,7 persen pernah dimintai uang.
Hasil survei menyebut 2,4 persen responden berurusan dengan pengadilan. Dari jumlah tersebut, 21,6 persen pernah dimintai uang. Sementara itu, dalam pendaftaran PNS, ditemukan 3,5 persen responden pernah berurusan dengan instansi tersebut. Dari jumlah itu, 17 persen responden juga dimintai uang.
Lembaga legislatif yang seharusnya mampu menghasilkan produk-produk peraturan pun setali tiga uang. Peraturan-peraturan yang dihasilkan malah justru melindungi dan meringankan para pelaku korupsi. Lihat saja produk undang-undang tentang korupsi, hukumannya dirasa cukup ringan.Â
Undang-undang KPK pun sudah berkali-kali ingin dibongkar dengan tujuan pelemahan. Belum lagi penanganan para tahanan koruptor di Lapas yang justru mendapatkan keistimewaan. Lantas apa yang kita harapkan?
Berdasarkan survey persepsi publik yang disampaikan pada laporan tahunan KPK tahun 2018, menyebutkan bahwa penyebab terjadinya korupsi di Indonesia adalah karena lemahnya penegakan hukum dan rendahnya hukuman koruptor. Hal ini menyebabkan 98% masyarakat menilai Indonesia berada pada level cenderung korup dan sangat korup.