Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pesimisme Pemberantasan Korupsi

28 Juni 2020   15:30 Diperbarui: 28 Juni 2020   20:46 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Instagram @official.kpk

Oleh: Bambang Wibiono
_

Melihat berbagai macam kasus korupsi, seakan melahirkan pandangan pesimistis mengenai penanganan kejahatan kerah putih ini. Bagaimana tidak, saat kita berharap korupsi bisa diberantas, di lain sisi, kita disuguhkan dengan penampilan lembaga peradilan yang justru melakukan perselingkuhan dengan para pelaku.

Lembaga peradilan yang seharusnya menjadi ujung tombak untuk ketok palu memberi vonis agar tercipta efek jera, tidak jarang justru tumbuh makelar kasus di lembaga tersebut. Jual beli kasus, tawar menawar putusan dan perselingkuhan lain banyak terjadi sehingga menghasilkan putusan yang mencederai perasaan masyarakat.

Lembaga kepolisian yang juga menjadi salah satu aparat berwenang yang melakukan penyidikan tak luput dari virus bernama KKN. Lembaga eksekutif selaku komando penyelenggaraan pemerintahan, terlalu keropos di dalam birokrasinya.

Tahun 2018 lalu, Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei soal tren persepsi publik tentang demokrasi, korupsi, dan intoleransi. Hasilnya, kepolisian, pengadilan, dan PNS menempati indeks korupsi yang tinggi.

Dalam survei yang dilakukan LSI, 10,7 persen responden pernah berurusan dengan polisi. Dari jumlah tersebut, 33,7 persen pernah dimintai uang.

Hasil survei menyebut 2,4 persen responden berurusan dengan pengadilan. Dari jumlah tersebut, 21,6 persen pernah dimintai uang. Sementara itu, dalam pendaftaran PNS, ditemukan 3,5 persen responden pernah berurusan dengan instansi tersebut. Dari jumlah itu, 17 persen responden juga dimintai uang.

Lembaga legislatif yang seharusnya mampu menghasilkan produk-produk peraturan pun setali tiga uang. Peraturan-peraturan yang dihasilkan malah justru melindungi dan meringankan para pelaku korupsi. Lihat saja produk undang-undang tentang korupsi, hukumannya dirasa cukup ringan. 

Undang-undang KPK pun sudah berkali-kali ingin dibongkar dengan tujuan pelemahan. Belum lagi penanganan para tahanan koruptor di Lapas yang justru mendapatkan keistimewaan. Lantas apa yang kita harapkan?

Berdasarkan survey persepsi publik yang disampaikan pada laporan tahunan KPK tahun 2018, menyebutkan bahwa penyebab terjadinya korupsi di Indonesia adalah karena lemahnya penegakan hukum dan rendahnya hukuman koruptor. Hal ini menyebabkan 98% masyarakat menilai Indonesia berada pada level cenderung korup dan sangat korup.

Pentingnya Penegakan Hukum

Melihat kenyataan tersebut, kiranya aspek penegakan hukum menjadi solusi untuk mengembalikan kepercayaan publik pada upaya pemberantasan korupsi. Namun ada sedikit pertentangan antara aspek penegakan hukum dan nilai filosofi hukum yang dianut Indonesia.

Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi hukum. Hal ini tertulis dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen ke-3 yang menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. 

Dengan demikian, Indonesia adalah negara yang menghendaki hukum sebagai alat untuk mengendalikan tingkah laku manusia untuk terselenggaranya suatu keteraturan dan keseimbangan hubungan di antara masyarakat serta kepentingan-kepentingan yang akan timbul agar tidak terjadi kekacauan dalam masyarakat.

Di lain pihak, filosofi hukum nasional lebih mengedepankan prinsip equality before the law yang mengakomodir penegakan hukum dan juga hak asasi manusia. Hukuman pidana yang dijatuhkan berpedoman pada semangat prinsip pembinaan sehingga beranggapan dan ada harapan akan ada perbaikan perilaku bagi terpidana. Atas alasan ini, maka hakim cenderung memvonis dengan hukuman lebih ringan dari dakwaan yang dituntutkan. 

Karena itulah, hukuman seumur hidup, apalagi hukuman mati sangat dihindari. Begitupun dengan terpidana korupsi. Padahal sudah banyak keinginan masyarakat yang menghendaki hukuman mati bagi pelaku korupsi. Sudahlah hukumannya cenderung dianggap ringan, masih berkesempatan mendapatkan remisi, grasi, amnesti, dan abolisi pula. 

Ini berimplikasi juga pada sistem pemasyarakatan sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Oleh karena itu pula tempat penahanan tidak dinamakan penjara, tetapi lebih memilih istilah Lembaga Pemasyarakatan.

Mengingat korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), yang menggurita, terstruktur dan terorganisir, sepatutnya putusan-putusan hukum bagi tindak pidana korupsi lebih mengedepankan efek jera. Langkah ini sekaligus untuk memutus rantai korupsi. 

Bayangkan saja, seandainya hukuman mati diterapkan untuk pelaku korupsi besar tentu akan membuat ciut nyali pelaku lain. Atau mungkin setidaknya hukuman seumur hidup. Bisa juga tanpa hukuman mati, tetapi diganti hukuman penjara sekian tahun dan juga dengan potong tangan. Tentu akan ada efek jera.

Dengan pemberian hukuman yang berat, harapannya pelaku lain atau setidaknya orang yang memiliki niatan untuk berlaku korupsi menjadi gentar dan mengurungkan niatnya. Dengan demikian, asas keadilan, efek jera dan pencegahan tindak pidana bisa terpenuhi sekaligus.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun