"asyhadualaa ... ila ha ilallah ... wa'asyhaduana ... muhammadurosulullah ...." ucapku pelan di telinganya.
Â
"awhhh ahh ahhh...ihh aahhh aaahhh...iihh awhhh ahhhh..... mmmmhhh ..." dengan suara yang samar-samar tak jelas, Mamah mengikuti ucapanku. Aku cium keningnya sambil ku bacakan salawat.
"Mah, maafin salah Wibi ya. Wibi belum bisa jadi anak yang baik, belum bisa nyenengin Mamah. Wibi selalu bikin susah mamah dari kecil sampe gede gini. Ampunin Wibi, Mah".
Setelah itu Mamah sekarat tak karuan lagi, selang infus dan selang oksigen pun dilepasnya. Darah dari infus pun berceceran membasahi kain selendangnya. Aku suruh Nok untuk memanggil perawat agar memasangkan kembali infusnya. Saat aku tenangkan, Mamah melihat tangannya yang berlumuran darah.
"ih ini darah ya? tuh berdarah ya ...gak apa-apa laah ...mmhhh ...." kembali meracau tak jelas.
Aku baringkan Mamah seenak mungkin agar tidak terlalu sesak nafas. Aku ganjal kepalanya dengan tumpukan bantal agar posisi kepala agak mengangkat, karena Mamah sudah tidak bisa dibawa duduk. Mulai saat itulah Mamah sakaratul maut. Aku tak henti-hentinya membisikan kalimat tauhid di telinganya. Aku bacakan syahadat, tahlil, istigfar, agar Mamah terus mengingat Allah. Di samping Mamah, Nok pun membacakan yasin.
Selama sakaratul maut aku tak beranjak dari samping mamah dan terus membisikan kalimat Allah ditelinganya.
"Mah, ayo jangan berhenti nyebut Allah. baca syahadat, Mah. Jangan sia-siain akhir hidup Mamah. Kalau susah, cukup sebut Allah ... Allah ... Allah ..."
"Awaaahhh awaahh ... aaahhh, ada setan!!" racau Mamah.
"Ayo Mah, makanya terus sebut Allah. jangan dengerin setan."
"Audzubillahi kalimati minsyarimaa kholaq" kuusap muka Mamah.
Saat kondisi Mamah seperti itu Aku sms ke Uwa Hasan untuk mengabarkan kondisi Mamah. Wak Hasan menyuruh Papah untuk menelponnya. Papah disuruh membacakan doa ke dalam segelas air, dan air itu diminumkan ke Mamah. Katanya doa supaya jalannya dimudahkan.