Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Selamat Jalan Mamah (7)

25 Juni 2020   21:12 Diperbarui: 25 Juni 2020   21:19 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Keesokan harinya, Kamis 8 Maret 2012, seperti biasa, hanya Aku sendiri yang menjaga Mamah di rumah sedangkan yang lain berangkat sekolah, dan Papah berangkat kerja. Hanya sesekali saja Papah pulang ke rumah untuk cek kondisi Mamah. Beruntung, karena rumah kami masih dalam lingkungan tempat kerja Papah. Jadi bisa kapanpun pulang ke rumah.

Sejak semalam sampai pagi ini Mamah tak henti-hentinya merintih. Pagi ini Mamah terlihat sekarat menahan sakitnya. Ku pikir lebih baik panggil ambulan untuk membawa mamah ke RS. Kebetulan sekali Papah datang.

"Pah, kayanya Mamah mending segera di bawa ke RS saja. Kasian liatnya. Kayanya tambah parah juga tuh. Dari semalam gak berhenti merintih," ucapku saat Papah pulang.

"Sebentar, Papah pinjam mobil teman dulu di kantor, daripada harus sewa ambulan," begitu kata Papah.

Segera ku siapkan perlengkapan Mamah seperlunya untuk di RS. Tak berselang lama, Papah datang memarkirkan mobil di depan rumah. Tadinya mau kami gotong Mamah dengan meminjam tandu dari sekretariat PMR di sekolahan. Tapi Mamah menolak.

"Jalan sendiri aja Wib. Masih bisa, tapi bantuin Mamah," begitu kata Mamah.

Mobil meluncur dengan pelan dan hati-hati karena takut kalau terlalu banyak guncangan akan menambah sakit Mamah. Mamah dilarikan ke RS Gunung Ciremai, langsung menuju UGD.

"Ini kenapa Mas Ibunya?" tanya perawat yang menyambut kami di pintu masuk UGD.

"Gak tau. Pokoknya dari semalem merintih kesakitan gak berhenti-berhenti. Awalnya dulu operasi pengangkatan kanker payudara" ku beri penjelasan untuk mempermudah pemeriksaan Mamah.

Segera seorang dokter perempuan muda menghampiri dan memerintahkan perawat membawa Mamah ke ruang pemeriksaan. Sebentar mereka mengecek luka bekas operasi di dada Mamah.

"Ini dulu operasi di mana? Dokter yang nangani siapa?" tanya salah satu perawat heran.

"Operasi bulan September kemarin di RSUD. Waktu itu yang nangani Dokter Anu. Emang kenapa Dok, Sus?" jawabku sambil bertanya heran juga.

"Ohh, gak apa-apa. Gak apa-apa kok", jawab mereka gugup seperti ada yang disembunyikan.

"Ini nanti ibunya perlu dirontgen dulu ya, dicek semua untuk memastikan lagi sebelum tindakan lebih jauh" ucap sang dokter menjelaskan.

Segera ku bergegas ke bagian administrasi untuk urusan ruang rawat inap. Akhirnya dapat di kamar kelas 2. Tidak apa-apalah, yang penting Mamah bisa segera ditangani, pikirku. Mamah diobservasi cukup lama, kemudian dibawa ke ruang radiologi. Saat dibawa ke ruang itulah, kulihat Mamah sudah tidak merintih lagi. Sepertinya sudah diberi obat pereda nyeri atau bius. Mamah tertidur.

Malam pertama di rumah sakit mamah sekarat lagi. Yang nunggu di rumah sakit waktu itu Aku, Nok, dan Papah. Sementara Adi, Widia, dan Purnomo tetap di rumah. Kami bertiga bergantian menjadi sandaran mamah untuk tidur, sebab kalau tiduran, mamah selalu kesakitan. Sekitar jam 12 malam mamah mulai sekarat merintih kesakitan lagi. Kami bingung, akhirnya aku memanggil perawat untuk memberi obat penahan nyeri dan juga oksigen untuk membantu pernafasan mamah agar tidak sesak nafas. Setelah itu mamah bisa tenang dan tidur. Alhamdulillah.

Setiap mamah merintih, aku usap-usap kepala dan punggungnya. Aku bisikan agar mamah selalu istigfar dan ikhlas dalam jalani cobaan.

"Mah, Allah tuh lagi perhatian sama Mamah. Mamah jangan ngeluh ya. Yang banyak istigfar, nyebut Allah."

"iya ya..." jawab Mamah.

"Tahu gak Mah, kalo orang lagi dikasih sakit tuh tandanya dosanya lagi diapus? Minta diparingi sehat sama Gusti Allah Mah, karena Gusti Allah yang kuasa. Allah gak akan ngasih cobaan sakit ini ke Mamah kalau Mamah gak sanggup menerimanya. Kalau Allah ngasih cobaan ini ke Mamah, berarti cuma Mamah yang sanggup menerimanya, bukan Wibi, bukan Papah, bukan Nok" ucapku sambil tak terasa meneteskan air mata.

Jum'at, 9 Maret 2012.
Subuh-subuh mamah sudah bangun. Mamah juga mengingatkanku untuk solat subuh. Aku solat di samping tempat tidur Mamah.

Pagi-pagi tidak biasanya Mamah minta makan. Walaupun sedikit, tapi lumayan lah. Laper katanya. Setelah makan biskuit, beberapa sendok puding, dan separuh jeruk, ku beri minuman jamu yang tiap hari diminumnya. Ramuan jamunya adalah daun kumis kucing, pecah beling, dan akar alang-alang. Selain itu juga obat ramuan tradisional dan obat-obatan yang dibubuk agar mudah diminum. Mamah selalu meminum semua obat dan jamu-jamuan tanpa pernah menolak.

Pagi itu mamah selalu minta pulang saja. Aku bilang nanti nunggu Papah, karena pagi-pagi Papah pulang ke rumah untuk berangkat ke kantor setelah semalam ikut begadang di RS. Sementara Nok, tetap tinggal menemaniku di RS karena sudah tidak ada kegiatan belajar di sekolah. Sebab hari Senin sudah mulai Ujian Nasional.

Dokter datang memeriksa sekitar jam 8 pagi.

"Mas, ini ibunya harus dirujuk ke Bandung, ke Rumah Sakit Hasan Sadikin untuk penanganan yang lebih jauh. Kemampuan disini tidak cukup untuk bisa menangani. Nanti di sana mungkin perlu tindakan operasi juga dan kemoterapi. Kalau pihak keluarga menyetujui, nanti saya buatkan surat rujukannya," begitu dokter menjelaskan keputusan hasil observasinya. Tapi tidak pernah menyebutkan apa penyebab atau masalahnya. Bahkan seingatku, hasil rontgen pun tak pernah ku terima.

"Nanti dibicarakan dengan Papah dan keluarga yang lain dulu ya Dok, saya belum bisa memutuskan", jawabku.

Pagi itu, Tante Neneng, adik kandung Mamah, datang berkunjung. Tante Neneng nagis-nangis lihat kondisi kakak yang tinggal satu-satunya itu. Bude, kakak Mamah yang berarti juga kakak pertama Tante Neneng, sudah lebih dulu meninggal.

Kembali Mamah meminta pulang dan menanyakan Papah. Aku bilang nanti saja pulangnya nunggu Papah, mungkin habis Jum'atan.

"Eh belum bedug tah? kirain tuh sudah bedug. Mamah mau pulang aja lah. Cape di sini terus. mau istirahat. Mamah tuh pengen tidur yang nyenyak, jangan sampai ada yang ganggu tuh. Duh, masih lama ya bedugnya?" kata Mamah.

"Belum mah. Ini baru juga jam 9 pagi. Nanti aja pulangnya, nunggu Papah datang."

"Kalau mau tidur, sini di pangkuan Wibi. Nyandar di Wibi aja."

"Duh, masih lama ya bedugnya Wib?, cape ah" lagi-lagi Mamah berkata demikian.

Sekitar jam setengah 10an Mamah mau kencing. Tidak seperti biasanya, kali ini minta kencing di WC. Aku sarankan untuk kencing di kasur aja memakai pispot, tapi Mamah menolak. Akhirnya, aku setengah membopong Mamah ke WC dengan susah payah dan dibantu Nok dan tante Neneng. Begitu sulitnya Mamah untuk kencing di WC dengan kondisi kesakitan seperti itu, membuat kami pun bingung setengah mati.

Empat orang berada dalam 1 ruangan kamar mandi. Keningku bercucuran keringat dingin waktu menahan berat badan Mamah yang lemah untuk jongkok. Yang bikin sulit adalah aku hanya bisa memegangi bagian tubuh mamah sebelah kanan saja, karena sebelah kirinya ada luka bekas jaitan. Kami kewalahan, dan Mamah menjerit-jerit kesakitan.

Setelah selesai, tinggal perjuangan kami mengangkat membawanya kembali ke kasur. Perjalanan yang hanya beberapa meter saja serasa jauh dan membuat kami kepayahan.

Sejak saat itulah Mamah merintih kesakitan. Mamah minta tiduran, tapi yang ada malah tambah kesakitan dan sesak nafas. Aku pun mengangkatnya untuk duduk dan membiarkannya bersandar di tubuhku. Mulailah Mamah agak tenang. Tapi entah kenapa mamah kembali sekarat sekitar jam 11. Kebetulan saat itu banyak saudara-saudara yang datang. Beberapa diantara mereka meneteskan air mata menyaksikan rintihan dan sekaratnya Mamah.
___
Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun