Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik, Ilmu Politik, dan Moralitas Politik

23 Juni 2020   11:53 Diperbarui: 23 Juni 2020   11:58 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banyak pandangan bahwa politik merupakan suatu yang sarat dengan permusuhan, pertentangan, dan perebutan kekuasaan. Tidak dapat disalahkan memang pendapat tersebut. Sah-sah saja jika orang mempersepsikan politik dengan perebutan kekuasaan yang sarat permusuhan. 

Jika dikaji secara teori, ada beberapa pendekatan yang dapat membenarkan pandangan tersebut. Berdasarkan pendekatan kelembagaan, politik berorientasi pada hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Ini mengarah pada sebuah otoritas sebuah lembaga negara dalam mengatur masyarakatnya. 

Pendekatan kekuasaan mengartikan politik sebagai kegiatan mencari, dan mempertahankan kekuasaan. Yang terakhir adalah pendekatan konflik. Menurut pendapat ini, usaha untuk mempengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan, tak lain sebagai upaya untuk memperoleh dan atau mempertahankan nilai. Untuk mendapatkan atau mempertahankannya sering terjadi perbedaan pendapat atau konflik. Jadi pada dasarnya politik adalah konflik. 

Dari kesemua pandangan tersebut, mengindikasikan bahwa politik selalu mengarah pada persaingan yang berujung pada permusuhan. Tak heran jika ada yang menafsirkan bahwa politik adalah kotor. 

Moralitas Politik 

Dalam prakteknya, tindakan-tindakan politik sering, atau bahkan sebuah keniscayaan mengarah pada tindakan immoral. Seringkali tindakan yang meyimpang dari kaidah moralitas dianggap suatu yang lumrah dan bahkan 'dibenarkan' dalam politik. Yang lebih parah adalah praktek immoralitas ini tampil dalam satu wajah yang "lebih luhur". Bahwa immoralitas itu dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi, tapi demi kepentingan publik. Para aktor politik/pejabat pemerintah  sering berbohong atau melakukan tindakan represif demi kepentingan keamanan nasional. 

Praktek-praktek penyimpangan atau immoral oleh Dennis F. Thompson (2000), menyebutnya sebagai 'tangan-tangan kotor demokrasi'. Noam Chomsky yang mengadopsi pemikiran George Orwell, melihat gejala ini sebagai gejala korupsi bahasa. Korupsi bahasa ini digunakan untuk sebuah kepentingan kontrol politik. 

Kita pernah mendengar istilah-istilah yang sering digunakan pada jaman orde baru, misalnya "demi stabilitas nasional", "demi keamanan nasional", yang sebenarnya tujuannya adalah untuk melegitimasi tindakan pemerintah dalam "membunuh" lawan politik atau yang berani menentang atau setidaknya yang berani protes terhadap pemerintah. 

Dalam sebuah sistem demokrasi, sebuah tindakan immoral, asalkan atas persetujuan warga negara/publik dianggap tidak melanggar atau dianggap benar. Bahkan jika pemerintah tidak menuruti keinginan publik, itu yang dianggap salah dan melanggar proses demokrasi. Permasalahan ini menimbulkan sebuah pertentangan atau konflik antara dua moralitas. Yang satu adalah moralitas kehidupan pada umumnya, dan di sisi lain adalah moralitas yang cocok dengan kehidupan politik. 

Dalam perdebatan ini, suatu yang dianggap baik oleh kaidah umum, terkadang dianggap buruk oleh kaidah lainnya (moralitas politik). Menurut pandangan ini, moralitas politik sepenuhnya membenarkan immoralitas dari tindakan Negara yang diperlukan untuk mengamankan tujuan Negara. 

Sebuah pendekatan ilmu politik sudah dijadikan legitimasi untuk mempertahankan kekuasaan dengan 'menghalalkan' segala cara. Dengan dalih teori ini, para aktor mendeklarasikan "inilah politik" yang berbicara tentang perebutan kekuasaan. Untuk mencari kekuasaan dan otoritas, etika politik menjadi sebuah kewajaran. Demi kekuasaan, moralitas dicemooh sebagai suatu yang munafik. 

Runtuhnya Teori Sistem Politik 

Budi Hardiman dalam sebuah artikelnya (Kompas, 28/11/2007), pernah mengatakan bahwa kekuasaan rejim otoriter merupakan sistem semiotis yang ingin meniru sistem organis (kuasi-organis). Rejim berusaha untuk dapat mengendalikan keadaan dengan cara model sistem biologis yang memangsa komponen asing dalam lingkungannya sebagai gangguan untuk mencapai otonominya dan kelangsungan kekuasaannya. 

Sistem politik merupakan hubungan antara instrumen input, konversi, out put, dan lingkungan baik lokal maupun internasional. Input dihasilkan dari sebuah pertarungan kekuatan antara tuntutan dan dukungan. Jika input merupakan 'bahan bakar' untuk menjalankan sistem, dengan logika ini, maka rekayasa sosial maupun rekayasa politik 'dihalalkan' dalam politik. Sebab bila keadaan tanpa adanya partisipasi berupa tuntutan/dukungan, serta masyarakat cenderung pasif, pemerintah bisa dicap sebagai pemerintah yang otoriter atau tidak demokratis yang tidak memberikan peluang pada rakyatnya untuk berpartisipasi. 

Jika memang demikian keadaan sebuah politik, maka inilah sebuah kahancuran ilmu politik. Karena ilmu politik tak mampu membumi dalam sebuah realitas dan tak mampu menjelaskan realitas yang ada. Ketika sistem tidak mampu mereduksi kompleksitas, maka dia telah gagal membentuk batas antara sistem dengan lingkungan. Begitupun dengan demokrasi, ia akan hanya sebagai sebuah demokrasi seremonial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun