Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Selamat Jalan Mamah (2)

22 Juni 2020   09:51 Diperbarui: 24 Juni 2020   18:47 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Duaarrrrr!! Innalillahi ya Allah Ya Kariim Ya Rahman Ya Rahim Ya Aziz Ya Jabar Ya Muttakabir. Serasa ada halilintar di siang bolong. Tiba-tiba lemes ini dengkul keroposku. Ku lirik Mamah hanya melongo saja tanpa merespon apapun. Dokterpun sejenak diam mengamati reaksi kami berdua.

Dengan gaya sok cool dengan maksud menghibur diri sendiri, "oohh kanker ya dok? Stadium 3 ya?" tanyaku basa basi sambil pura-pura biasa saja.

Dokter Hary tersenyum, "tenang saja gak usah takut. Masih bisa diobati kok. Toh ini ga sampe stadium akhir. Banyak yang bisa sembuh juga asal semangat, optimis, jangan malas minum obat atau periksa ke dokter", dia menghibur kami setelah melihat raut muka kami yang mendadak lesu.

Setelah itu, tak ku ingat lagi dokter berkata apa saja dengan Mamah. Tak ku perhatikan lagi dokter memberi wejangan dan resep apa saja. Setelah menebus obat di apotek, kami langsung meluncur pulang dengan perasaan tak karuan.
Di becak saat perjalanan pulang Mamah tak banyak omong. Hanya beberapa pertanyaan aja yang dilontarkan padaku tanpa mengharapkan jawaban juga.

"Kenapa Mamah bisa begini ya Wib? Sembuhnya lama gak ya kira-kira? Mahal ya biaya pengobatannya?" itu pertanyaan-pertanyaan yang terlontar sepanjang perjalanan pulang.

Sampai di rumah sudah magrib. Seperti biasa, Papah langsung mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan. Saat diberitahu kalau Mamah mengidap kanker stadium 3, reaksi Papah hanya "laaahh...kanker tah?" dengan ekspresi datar. Adik-adikku yang lain kaget, ada juga yang bingung tak mengerti.

Kutinggal obrolan Mamah Papah dan Adik-adik yang masih membahas hasi periksa dokter. Ku pergi solat yang nyaris tertinggal karena sudah hampir masuk waktu Isya. Selesai solat, aku masih terduduk di atas sajadah. Merenung. Diam.

Ya Allah, cobaan apa lagi yang hendak Engkau amanahkan pada kami? Belum puaskah Engkau melihat kedua orang tuaku sengsara? Belum cukup kah kami menerima kesusahan? Berikan kami kekuatan. Inikah surat cintaMu untuk kami?

Kulipat sajadah setelah sebelumnya sekalian solat Isya. Kurebahkan tubuh ini di lantai beralaskan karpet usang yang di pojokan terlihat ada bolong-bolong. 

Rumah kami tak cukup untuk menampung semua anggota keluarga kalau berkumpul. Jadi terpaksa sebagian ada yang tidur di lantai ruang tamu yang berukuran 2x3 meter. Bahkan kalau semua anggota keluarga lengkap berkumpul, Papah harus rela "ngungsi" untuk tidur di kantor. Sekalian menemani yang jaga malam, katanya. Kadang aku pun ikut ngungsi tidur di kantor Papah. Selonjor di kursi sofa kantor.

Kupejamkan mata, berharap esok kan terbit bangbang wetan yang cerah menghapus semua sendu, berlalu, di malam itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun