Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Selamat Jalan Mamah

22 Juni 2020   08:37 Diperbarui: 22 Juni 2020   09:12 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Prolog

Pagi yang cerah hari itu, 5 Juni 2011. Aku bangun pagi untuk menikmati hari mingguku di rumah. Maklum anak perantauan, jarang sekali pulang ke rumah. Sekitar 3 bulan sekali aku bisa pulang, bahkan kadang sampai setengah tahun tak pulang. Macam Bang Toyib yang tak pulang-pulang.

Sebagai mahasiswa veteran alias sesepuh yang nyaris tak ada mata kuliah yang diambil, setelah Ujian Tengah Semester (UTS) bisa dimanfaatkan untuk meliburkan diri. Semester ini aku hanya mengambil satu mata kuliah saja, itu pun hanya mengulang karena nilai sebelumnya dirasa belum maksimal. Tentu saja sisanya adalah skripsi yang belum rampung juga aku garap sejak semester sebelumnya. Pusing!

Jadwal UTS sekitar 2 minggu. Kebetulan jadwal tes mata kuliah yang aku ambil ada di hari kedua. Jadi setelah selesai, sisa waktunya bisa ku gunakan untuk mudik sebelum akhirnya kembali ke kampus, 2 minggu kemudian.

Liburan kali ini mau aku manfaatkan untuk bersantai-santai sejenak melupakan teori-teori kuliah, organisasi-organisasi di kampus dan juga urusan skripsi. Stop! Singkirkan dulu pokoknya.

Sengaja aku mandi pagi-pagi sekali. Selepas subuh langsung bergegas menyambar ember kecil peralatan mandi dan berjalan ke kamar mandi siswa. Lho?? Yap! kebetulan Papahku kerja di salah satu sekolah negeri. Walau hanya pegawai rendahan, alhamdulillah diperkenankan menempati rumah dinas ala kadarnya yang ada di komplek sekolahan, walaupun untuk kamar mandi harus rela berbarengan dengan WC siswa yang jaraknya sekitar 50 meter. Lumayan daripada harus ngontrak, penghasilan Papahku mana cukup. Belum lagi harus membiayai aku dan satu adikku yang sedang kuliah. Ditambah masih ada 4 adikku lagi yang masih sekolah di bangku SMA, SMP, dan SD.

Yup! Aku hidup 6 bersaudara dengan aku sebagai anak pertama. Mamahku tak diijinkan bekerja, hanya ngurus rumah dan anak-anak yang bejibun sampai setengah lusin.  Sebenernya sangat tidak rasional dalam hitungan matematika, ayahku yang bekerja hanya sebagai pegawai rendahan dengan gaji kisaran 1,5 juta, mampu menyekolahkan 2 anaknya kuliah, ditambah sisanya masih mengenyam bangku sekolah. Tapi itulah matematika rejeki. Tidak ada yang mampu menghitungnya dan memprediksinya. Hanya bermodal nekat dan cita-cita agar anaknya tidak seperti orang tuanya yang hanya tamatan SD dan SMA, maka kuliah adalah suatu "keharusan" bagi kami, anak-anaknya. Urusan nanti bagaimana biayanya, itu urusan lain. Urusan belakangan. Begitu ucap Papah setiap kali memotivasi anaknya untuk terus sekolah tinggi.

"Mamah disini masak apa adanya, Wib. Cukup makan dengan terasi goreng atau garam juga sering. Adik-adikmu juga doyan tuh", begitu ujar mamah beberapa waktu lalu yang membuat aku serasa menjadi anak durhaka.

Bayangkan, aku disini kuliah bisa makan nasi rames sedangkan kedua orang tuaku dan adik-adikku yang lain di rumah harus rela makan hanya dengan terasi, dengan garam atau seadanya makanan? Oh Gusti Dewata Agung jangan kutuk hamba jadi batu.
----
"Tumben Wib, pagi-pagi udah mau mandi", ucap Mamah saat melihatku bergegas ke kamar mandi.

"Mau jalan-jalan Mah, nyari udara kota yang seger. Bosen di desa melulu" jawabku sambil nyengir.

Selesai mandi, kubangunkan adikku yang paling kecil, Purnomo.

"heh, bangun Pur udah pagi. Ikut jalan-jalan ga?" ku goyangkan tubuh adikku. 

Dia langsung bangun tanpa komentar dan langsung berlari untuk mandi.

Purnomo ini masih kelas 3 SD. Dia sangat senang kalau aku pulang ke rumah. Kadang dia rela bangun malam-malam kalau tau aku mau pulang ke rumah. Maklum, biasanya aku pulang dari perantauan sore hari atau habis magrib dan baru sampai di rumah sudah pada terlelap. Pernah juga dia manyun gara-gara tidak ada yang membangunkan saat aku datang, walaupun dia tau, tiap aku pulang nyaris tak pernah membawa buah tangan.

"Mah, kapan Aa Wibi pulang? Kok ga pulang-pulang sih?" begitu tanya Purnomo pada Mamah kalau aku lama tak juga pulang.

Setelah Purnomo selesai mandi, kusiapkan sepeda. Lalu berboncengan kami meluncur menyusuri jalanan Kota Udang yang masih sepi. Lampu-lampu penerang jalan pun masih menyala.

"ahh, jarang-jarang nih nikmati udara segar perkotaan macam gini", gumamku dalam hati. 

Karena kalau segar udara pagi pedesaan, pegunungan itu sudah terlalu umum.

"A, mau kemana ini?" tanya adikku yang ku bonceng di depan.

"Pokonya jalan aja deh, ngukur jalan" sahutku ngasal sambil ku kayuh sepeda butut ini.

Setelah betis ini nyaris kram karena mengayuh speda tanpa henti, ku putuskan untuk berhenti di pematang sawah dekat rel kereta api. Purnomo senang sekali melihat kereta lewat, seperti umumnya anak-anak. Dari kejauhan nampak sorot lampu kereta yang akan melintas. Purnomo terlihat bersemangat, cengar cengir sendiri.

"A, keretanya bisa difoto ga?" tanyanya yang membuyarkan lamunanku yang tengah rebahan di rumput sambil menikmati udara pagi.

"Yaudah kamu berdiri membelakangi rel sana. Nanti pas kereta lewat, Aa foto", dia langsung bersiap berpose membentangkan kedua tangannya. 

Tau adegan film Titanic yang paling iconic itu? Saat sang dua sejoli berada di ujung anjungan kapal. Nah, kurang lebih seperti itu posenya, tapi ini sendirian. Ku siapkan handphone Sony Erricsson W350i warna ungu dengan kamera VGA yang lumayan keren di jamannya.

Ckreekkk...ckreekk.. Saat kereta tepat melintas di belakangnya. Dengan tertawa mengembang dan rambut serta baju melambai diterpa hembusan angin dari kereta yang lewat.

"Udah yuk pulang, udah siang. Nanti Mamah nyariin", ajakku.

"Ayook, eh tapi itu fotonya jangan dihapus ya A, disempen aja buat kenang-kenangan" katanya pas liat hasil jepretanku tadi.

Sampai di rumah, "Wib, kamu dari mana aja sampe jam segini baru balik? Ngangsu air tuh buat nyuci piring. Air di gentong habis" perintah Mamah.

Jadi, sampai urusan air dan mencuci piring, harus mengambil air dari kran yang ada di WC atau di samping kantor Papah. Maklum, ini rumah hanya sekedar tempat untuk berteduh dan memasak. Tidak ada kamar mandi atau kran air bersih. Terpaksa untuk kebutuhan bersih-bersih macam ngepel dan cuci piring harus ngangkut air menggunakan ember dari WC siswa. Ini yang disebut ngangsu.

"Wib, nanti siang antar Mamah ke Apotek Wahidin ya" pintanya.

"lho mau apa mah?" tanyaku heran karena tak nampak ada yang sakit di rumah ini.

Oh iya, Apotek Wahidin ini bukan sekedar apotek tetapi juga ada poliklinik. Kebetulan dokter langganan buka praktek disitu, makanya kami sekeluarga lebih senang periksa di situ ketimbang di puskesmas atau rumah sakit.

"Gak apa-apa sih. Mamah mau priksa aja, soalnya kadang disini suka agak sakit atau mrengkel" jawabnya sambil menunjuk dada.

"Papah tadi udah daftar antrian lewat telpon, kebagian urutan 5 katanya", ucapnya lagi.

"Yaudah okeh, Mah. Sekitar jam 2an ya berarti?" tanyaku lagi.

"iya".

"Eh, emang ada duit, Mah, buat periksa?"

"Tadi barusan jual rongsokan botol-botol plastik sama kertas-kertas bekas. Lumayan dapet duitnya" begitu Mamah menjelaskan.

Untuk uang tambahan sekedar buat jajan adik-adik atau keperluan lain, Mamah Papah dan adik-adik memang sering mengumpulkan botol-botol plastik bekas minuman. Tinggal di lingkungan sekolahan sangat menguntungkan. Dengan mudah mengumpulkan sampah-sampah seperti itu. Biasanya 2-3 minggu sekali kami menjualnya. 

Pekerjaan iseng-iseng ini lumayan menghasilkan, kadang bisa dapat hasil 250 ribu sekali jual. Kalau lagi malas mengumpulkan rongsokan, paling cuma dapat 50-100 ribu saja. Sudah cukup buat dapur kembali ngebul.

-----

Siang itu cuaca cukup cerah, suasana ruang tunggu di apotek masih belum ramai.

"Bu, mmhh ... Sepertinya saya perlu merujuk ibu untuk cek darah dan laboratorium dulu deh. Biar hasil analisa lebih meyakinkan," ucap Dokter Hary setelah memeriksa Mamah.

"Lho, emang kenapa dok? Kok sampai harus cek lab segala? Emang perkiraannya kenapa?" cerca Mamah agak khawatir dengan ucapan sang dokter. Raut muka yang semula masih selow mendadak tegang.

"Gak kenapa-kenapa Bu. Saya belum bisa menyimpulkan saja dari gejala-gejala ini. Sebagai antisipasi dini dan biar lebih akurat aja hasilnya, jadi saya perlu cek juga hasil pemeriksaan laboratorium. Saya belum tahu ini ada semacam kelenjar apa," Dokter Hary menjelaskan tanpa menyebutkan apa yang menjadi kekhawatirannya juga.

"Ini surat rujukannya ya Bu. Nanti ke rumah sakit atau laboratorium klinik serahkan ini saja, mereka akan tau apa saja yang harus di cek" jelasnya lagi.

Ku lihat Mamah hanya mengangguk lesu. Dalam hatiku juga sebenernya mulai tumbuh kekhawatiran. Biasanya kalau sudah suruh cek darah dan laboratorium, ada masalah yang cukup serius.

Sepanjang perjalanan pulang, Mamah tak bosan bolak balik tanya padaku kira-kira ada apa dengan keluhan sakitnya. Aku hanya bisa berkali-kali angkat bahu sebagai tanda tak tahu jawaban. Suasana menjadi hening di dalam sebuah becak yang melaju santai. Masing-masing sedang sibuk dengan pikirannya. Kulirik Mamah, tatapannya kosong jauh ke depan.

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun