Mohon tunggu...
Wiatmo Nugroho
Wiatmo Nugroho Mohon Tunggu... -

hamemayu hayuning Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan (Kota Para Hantu)

6 Juli 2018   11:04 Diperbarui: 12 Juli 2018   07:11 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nona Senja - WordPress.com

Bis sudah longgar. Aku senang sudah tak ada lagi penumpang yang berdiri. Ya, aku senang. Setidaknya hal itu menunjukkan penumpang mulai sepi. Syukurlah, karena itu berarti tidak banyak lagi orang-orang yang masih harus menanggung perjalanan malam seperti ini. Berat saja aku pikir. Karena aku juga merasakannya.

Dalam beberapa hari di musim hujan, kota ini sepertinya mengalami cuaca yang tidak bersahabat. Entah mengapa, dan juga entah benar atau tidak. Seingatku, dalam beberapa hari berturut-turut, matahari lebih banyak tertutup mendung. Dari pagi, menjelang siang dan kemudian siang hari, yang ada malah hujan. Entah gerimis, entah yang cukup besar, atau malah yang tak tertahan. Dan matahari kadang-kadang hanya muncul beberapa sebentar, panas beberapa saat, kemudian mendung lagi. Bahkan kadang hujan sudah dari semenjak pagi. Sebentar berhenti, kemudian hujan lagi. Bahkan pemerintah sampai mengajak warga untuk waspada terhadap banjir. Aku perhatikan sepertinya musim hujan ada puncaknya. Hujan benar-benar terjadi seharian, dan berhari-hari. Meskipun seingatku tak akan berlangsung sampai dua minggu. Setidaknya itu menambah berat, dari beban hidup di kota yang sudah terlalu macet dan padat ini. Sehingga banyak perempuan pun terpaksa pulang terlalu malam.

Aku perhatikan bapak sopir memperhatikan aku dan perempuan itu dari spionnya. Sama dengan bapak sopir, aku juga memperhatikan perempuan itu. Sedangkan perempuan itu tampak dingin saja, seperti tak tahu, bahkan tak peduli kalau kami memperhatikannya. Kadang ia memandang ke depan dengan santai, sesekali melihat ke samping kanan ke arah jalan dan pemandangan yang sebenarnya biasa, juga kadang ke samping kirinya memperhatikan pemandangan yang kurang lebih sama. Sedang penumpang lain, tak memperhatikannya sama sekali. Ia tak ada di antara mereka, seperti tak terlihat. Tetapi aku, dan bapak sopirku melihat sebaliknya.

Sekelebat tadi aku sempat memperhatikan di televisi di halte itu berita kecelakaan. Beberapa hari lalu, kecelakaan yang lain juga terdengar. Berita-berita seperti itu seringkali membuatku memperhatikan ternyata perempuan banyak menjadi korban. Entah karena kecelakaan biasa, penjambretan, pembegalan, pemerkosaan, penodongan, perampokan. Kejahatan yang seharusnya tidak perlu merenggut nyawa, dan aku pikir bahkan tidak perlu terjadi. Keamanan bagi orang-orang sangat menjadi kebutuhan yang semakin jamak. Karena banyaknya korban itu, dimana pun keamanan terasa menjadi kebutuhan yang hanya diri sendiri bisa berikan, bukan orang lain. Dimana pun kejahatan mengancam, dan bisa terjadi pada  siapa saja, apalagi perempuan sepertiku dan seperti mereka yang aku lihat itu. Terlalu banyak orang lemah seperti aku yang akan dengan mudah menjadi korban. Siang pun terjadi, apalagi di saat-saat malam hari seperti ini.  

Jalan di kota ini memang sedemikian sibuk dan mungkin ribut, bahkan kotanya juga begitu aku pikir. Sehingga jika malam hari aku masih melihat perempuan-perempuan naik di bisku, aku merasa iba. Meskipun aku juga perempuan. Kadang malah aku merasa takut sendiri juga menghadapi kesibukan dan keributan kota, dan gangguan-gangguan yang tak terduga, seperti macet, banjir, sehingga kadang jam pulang menjadi terlambat menjadi larut sehingga lebih rawan terhadap kejahatan. Tanpa ada hujan, tanpa ada macet pun aku sudah khawatir, dan sering merasa rawan, apalagi bagi perempuan. Hal ini kadang mengkhawatirkanku. Bapak sopirku sepertinya tahu dengan kegelisahanku. Hal itu membuatnya sering memperhatikanku. Dan seringkali ia mengungkit-ungkit tentang perasaanku itu. Seperti aku kasihan dengan perempuan-perempuan itu, ia juga kasihan padaku.

Menuju pul akhir, bis sudah sudah sepi, hanya ada beberapa penumpang. Tidak menjadi masalah jika aku mendekati bapak sopir dan berbicara dengannya. Cukup dengan mendekatinya saja, ia sudah tahu bahwa aku siap mendengar setiap perkataannya.

“Kamu takut, Win?” tanyanya.

“Takut? Takut apa, Bos?” jawabku.

Bapak sopirku tersenyum kecil saja.

“Kalau kamu mau, menginap di tempatku saja. Bisa numpang tidur sama si tengah. Daripada kemalaman di jalan, terus besok pagi tergesa-gesa juga.” Tenang pak sopir bilang.

“Ya, baiklah!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun